Metaverse dan Jerat Ekonomi Kapitalisme

0
3
Efinda Putri N Susanto S.Si. M.Sc, /Foto : ISt.

OPINI | POLITIK

“Sehingga memang, banyak hal yang perlu diperhatikan bahkan ditiadakan dari penggunaannya, ada yang boleh dan ada juga yang tidak,”

Oleh : Efinda Putri N Susanto, S.Si., M.Sc,

TEKNOLOGI dan digital telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia, di mana dengan perkembangan kedua hal ini akan memungkinkan berbagai macam aktivitas berkembang pula melalui eksplorasi hal-hal baru yang tidak ada sebelumnya.

Perkembangan teknologi dan digital akan memicu disrupsi yang saat ini telah muncul dan masih terus dalam pengembangan adalah tentang teknologi metaverse, tidak asing bukan? Nampaknya, teknologi ini akan memberikan dampak yang cukup dahsyat pula bagi dunia teknologi sekaligus kehidupan sosial masyarakat.

Teknologi ini memang sedang men lagi gaung dan menggema di mana-mana. Hampir semua orang di dunia hangat membicarakannya. Sempat viral di tahun 2022, namun jika diamati hingga saat ini pun menyoal teknologi ini masih terus diantisipasi bahkan sangat antusias untuk diikuti oleh berbagai kalangan. Buktinya di Indonesia saja begitu banyak konferensi yang diselenggarakan dengan tema tekonologi ini.

Dilansir oleh Kompas.com, PT Computrade Technology International (CTI Group) telah menggelar konferensi tahunan CTI Information Technology (IT) Infrastructure Summit yang bertemakan “The Metaverse: Why Your Business Needs to Prepare by Now?” di Tribrata Darmawangsa, Jakarta Selatan, pada 9 Maret 2023 (13/03/2023).

Dikutip dari Republika, seolah tak mau ketinggalan bahkan masjid Istiqlal yang notabene merupakan masjid terbesar dan termegah di negeri ini pun turut menerapkan teknologi metaverse dengan meluncurkan Istiqlalverse. Harapannya masyarakat luas dapat melihat secara dekat bentuk bangunan, lekukan-lekukan, hingga kegiatan peribadahan di Masjid Istiqlal secara langsung atau live (23/03/2023).

Lantas apa itu metaverse? Metaverse adalah evolusi dari internet yang saat ini sudah ada. Zuckerberg, CEO perusahaan Meta mendeskripsikan metaverse sebagai seperangkat ruang virtual tempat kita dapat membuat dan menjelajahi orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan kita. Kemudian, metaverse ini akan menghadirkan lingkungan virtual yang seolah bisa dimasuki oleh penggunanya dibanding hanya melihat di layar saja.

Hadirnya ruang baru dalam dunia digital ini sangat memungkinkan munculnya peluang monetisasi dari lahirnya interaksi sosial yang lebih canggih. Letupan teknologi akan membawa pada peningkatan nilai ekonomi yang luar biasa.

Metaverse memungkinkan nilai ekonomi yang jauh lebih eksplosif baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan berbagai kemungkinan inovasi. Coba kita lihat data, dataindonesia.id mewartakan dalam artikelnya bahwa tercatat nilai dari gross-merchandise value (GMV) dari industri digital Indonesia saja sudah tercatat ditaksir sudah mencapai 77 Milyar USD atau sekitar Rp1.198,3 triliun rupiah pada tahun 2022 dan diproyeksikan akan mencapai 146 Milyar USD pada tahun 2025 (28/10/2022).

Nilai yang fantastis, tak khayal jika pemerintah negeri kita pun sedang bersiap untuk menyambut dan mengambil teknologi ini, pun dengan negara-negara lainnya.

Bukan hanya berbagai negara, tetapi berbagai kalangan masyarakat sangat antusias untuk menyambut dan mengantisipasinya. Mulai dari perusahaan hingga individu sangat menggemari dunia virtual ini. Tak hanya generasi Z tetapi generasi X dan Y pun turut berbondong-bondong menyiapkan diri untuk terjun ke dunia virtual ini.

Salah satu alasan yang biasa mereka sampaikan adalah untuk meningkatkan atau memulihkan kondisi ekonomi negeri atau global, terlebih dunia usai dihempas pandemi dan masih harus diwaspadai hingga saat ini.

Lagi-lagi cuan selalu jadi motivasi utama. Namun, benarkah kita semua harus bereuforia atas hadirnya teknologi ini? Atau ada bahkan banyak hal yang harus kita waspadai?

Jerat sempurna kapitalis dalam metaverse
Bukan hanya Meta, saat ini beberapa perusahaan besar telah berperang untuk memenangkan metaverse ini dan salah satunya bahkan dari Indonesia. Siapa sajakah mereka? Epic Games, Niantic, Nvidia, Micosoft, Decentraland, Apple dan WIR group dari Indonesia.

Kenapa mereka berlomba-lomba dan begitu bergairah memenangkan pembuatan metaverse ini? Jawabannya adalah karena memang bagi mereka teknologi ini sangatlah keren dan selanjutnya tak bisa dinafikan bahwa ini merupakan lahan baru tak terbatas untuk menghasilkan cuan sebanyak-banyaknya. Dalam dunia tak terbatas, tercipta ekonomi yang tak terbatas pula.

Sebenarnya di manakah letak ekonomi dari metaverse? Mungkin kisah ‘Ghozali Everyday’ dari Indonesia bisa memberi sedikit gambaran, hanya menjual foto selfie dirinya selama 5 tahun terakhir di depan komputernya hari demi hari sebagai aset Non-Fungible Token (NFT) (NFT ini bisa bertindak sebagai sertifikat kepemilikan barang digital) dan kini fantastis harganya pun mencapai triliunan rupiah.

Dalam skala lebih besar lagi, kisah dari Sam Peurifoy seorang pemuda 27 tahun yang telah meraih gelar PhD dari Columbia University telah meninggalkan pekerjaannya di Goldman Sachs pada masa pandemic yang sedang tinggi-tingginya dan mengambil resiko tersebut untuk mendapatkan peruntungannya di dunia crypto dengan bermain video games yang bernama Axie Infinity, sebuah games yang berbasis block chain dengan mata uang crypto.

Bermodal 500 USD untuk membeli 3 buah monster yang digunakan untuk bertanding dengan monster yang lain, jika menang ia akan mendapat Smooth Love Potion yang bisa dikonversi menjadi uang sesungguhnya. Saat ini dia telah menggait berbagai orang dari Mexico hingga Philipine untuk bekerja membantunya bertanding demi mendapatkan Smooth Love Potion yang bisa digunakan untuk mengembangbiakkan monsternya.

Semakin banyak monster yang dimiliki, semakin banyak monster yang bisa dijual. Akhirnya pundi-pundi cuan pun akan semakin banyak terus mengalir tanpa batas. Sekali lagi, dalam dunia virtual tak terbatas, akan tercipta pula ekonomi tak terbatas.

Di dalam metaverse, kita bisa membangun apapun yang kita inginkan dan bisa menetapkan biaya bagi setiap pengunjung yang datang ke tanah virtual kita.

Semakin ramai tanah kita maka kitapun bisa menyiapkan billboard-bilboard yang bisa dibeli oleh para produsen-produsen besar untuk mengiklankan produk mereka. Maka, bisa terbayang bukan, cuan yang ada di sana akan begitu sangat besar. Hingga hari ini pun akhirnya sudah banyak produsen-produsen besar yang bahkan membeli petak-petak tanah virtual tersebut untuk dibangun ruang baru bagi bisnis mereka.

Ya, ekspansi ruang bisnis virtual telah terjadi. Siapa yang akan paling diuntungkan? Jelas para pemilik tanah atau tuan tanah yang telah membeli petak-petak tanah itu serta para pengusaha yang bekerja semenjak awal. Para tuan tanah masih bisa membeli petak-petak tanah dengan harga yang masih jauh lebih murah.

Saat kelak pengguna metaverse semakin tinggi, maka harga tanah itupun akan semakin mahal. Dalam dunia tanpa batas dan tanpa rule yang jelas, maka pelambungan tinggi harga secara gila-gilaan pun bisa terjadi.

Para pemain baru yang hendak berbisnis di metaverse bisa jadi akan menyewa lapak-lapak yang disediakan oleh tuan tanah tersebut dengan harga yang sulit dinalar.

Tidak hanya itu, para pengusaha yang telah berkecimpung sejak awal, bisa memperkerjakan para pekerja dengan gaji rendah, kenapa? Karena demand melampaui supply. Para pencari kerja banyak sedang lowongan sedikit, untuk mendapatkan pekerjaan itu pun akhirnya mereka rela dengan tawaran gaji yang rendah itu.

Kapitalis pun masih bekerja diruang virtual meski telah berevolusi, konsepnya masih sama ‘Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

Siapa yang paling diuntungkan? Tentu merekalah yang menciptakan dunia metaverse yang dibangunnya itu. Seorang produsen yang adil akan bisa membuat aturan yang adil, tapi agaknya dalam peradaban kapitalis seperti sekarang ini sulit hal itu terjadi. Para produsen biasanya akan membuat rule yang sesuai dengan kepentingan mereka dan yang paling menguntungkan mereka tentunya, the house always win.

Salah satu kepentingan utama mereka adalah memuaskan para investor, artinya para pemilik tanah/modal. Dari sini bisa dipahami maka aturan itu akan lebih banyak berpihak kepada mereka. Meski para kapitol ini sering membuat aturan atau jargon-jargon yang seolah memihak seluruh warganya, tapi fakta lebih banyak berbicara sebaliknya. Lagi dan lagi, hukum kapitalis berlaku, “Si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin.”

Selain itu, untuk meraih keuntungan ekonomi yang lebih besar lagi. Maka para kapitol ini memang sangat lihai dalam memainkan ego dari manusia. Mereka selalu membuat manusia untuk terus – menerus memuaskan dahaga mereka akan kebutuhan-kebutuhannya didalam dunia metaverse, yang mungkin saja ‘tidak perlu’.

Sehingga mereka akan rela dengan suka cita mengeluarkan uang mereka untuk diserahkan kepada kapitol. Tak segan bahkan dompetnya diserahkan secara mudah ke kantong-kantong kaum kapitol untuk diambil secara berkala. Dengan ini maka sempurnalah jerat kapitalisme untuk umat manusia.

Dalam dunia metaverse ‘Libertarian utopia’ sangat mungkin terjadi, teori tersebut memungkinkan setiap orang untuk bisa bertindak dan beraktivitas ekonomi secara bebas. Para kapitol selama ini merasa cukup terganggu dengan intervensi dan manipulasi dari pemerintah.

Maka mereka berharap dengan adanya metaverse yang berbasis block chain (suatu sistem penyimpanan transaksi digital) dan mata uang crypto (mata uang digital yang dapat digunakan untuk membeli barang dan jasa) bisa menghadirkan pasar bebas yang sesungguhnya sebagaimana teori ekonomi Adam Smith.

Ekonomi dikembalikan pada konsep pasar yang murni, hal ini diyakini oleh mereka sebagai konsep ekonomi yang akan menghadirkan keadilan sejati. Siapapun diperlakukan sama dan semua bisa bersaing didalamnya, hanya produk berkualitas tinggi yang bisa menang. Namun, benarkah demikian? Agaknya sangsi.
Siapakah yang memiliki peluang besar untuk membuat produk berkualitas tinggi dengan harga yang mungkin sedikit jauh lebih rendah karena bisa memproduksi secara massal? Yang ada selama ini pemain kecil akan sulit bertahan melawan raksasa-raksasa pelaku ekonomi itu.

Selain itu, ekonomi dalam dunia digital ini sebenarnya sangat riskan. Mengutip dari apa yang disampaikan oleh Prof. Rhenald Khasali dalam kanal Youtubenya, jika teknologi ini di down kan oleh produsen lantas kita sebagai user akan bagaimana? Gigit jari.

Sains dan Teknologi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, teknologi adalah hasil dari sains dan diberikan apresiasi yang tinggi bagi siapa pun yang mempelajari dan mengamalkannya. Banyak penemuan intelektual Muslim telah diukir dalam sejarah sebagai penyumbang peradaban dunia.

Menuntut ilmu adalah ibadah, ilmu dipelajari demi mendekatkan diri pada Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim)

Di antara ilmu yang wajib dipelajari tersebut ada ilmu-ilmu bersifat fardu kifayah, yakni yang berkaitan dengan pengelolaan teknis kehidupan manusia. Kewajiban menuntut ilmu inilah yang kemudian membangkitkan kultur keilmuan di tengah masyarakat, sehingga ibarat kata “satu bangsa pergi sekolah.”

Hal ini kemudian didukung oleh negara yang memfasilitasi pendidikan dengan luas dan dapat diakses oleh siapa pun, juga para konglomerat yang banyak berinvestasi pada pendidikan dan fasilitas pendukungnya.

Al-Qur’an menjadi guideline bagi umat Islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang memotivasi untuk berpikir dan mempelajari alam semesta. Seperti firman Allah SWT,
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Al Baqarah: 164).

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah…” (QS Al Anfal: 60).

Ayat-ayat ini dan yang semisal menjadi motivasi dan tuntutan kaum Muslimin untuk mempelajari alam semesta dan kehidupan. Artinya mereka berusaha untuk menciptakan teknologi baru yang canggih sekaligus bermanfaat sebesar-besar untuk umat dengan motivasi akidahnya.

Umat Islam paham bahwasanya sains dan teknologi bukan hak eksklusif peradaban tertentu. Adakalanya para ilmuwan Muslim tersebut tidak serta merta menemukan semuanya sendiri, melainkan dari luar peradaban Islam.

Hanya saja, mereka sebatas mengambil aspek sains dan teknologi, bukan masalah teologi. Mereka tidak keberatan belajar dari peradaban terdahulu, hanya pada aspek ilmu pengetahuan. Dari mempelajari ilmu pengetahuan terdahulu inilah, umat Islam kemudian mengembangkannya dengan pesat sehingga menjadi penguasa sains dan teknologi pada masanya.

Seringkali, penemuan madaniyah tersebut memiliki tujuan tertentu yang dipengaruhi oleh hadharah. Namun, hal ini tidak berarti penggunaan madaniyah tersebut otomatis menjadi terlarang. Berdasarkan kaidah fikih, “Hukum asal suatu benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Maka, apakah sebuah produk madaniyah menjadi terlarang digunakan tidak ada urusannya dengan untuk apa madaniyah tersebut pertama kali dibuat. Karena madaniyah adalah benda, dan kepadanya dikenakan taklif terhadap benda. Demikianlah bagaimana umat Islam di era kejayaannya menyikapi masalah sains dan teknologi.

Pada dasarnya, perkembangan sains dan teknologi senantiasa ditujukan untuk kepentingan ideologi di mana saintek tersebut ditemukan. Namun, hakikatnya, madaniyah produk saintek itu tetaplah hanya alat, hanya ilmu pengetahuan.

Benda dan pengamatan fenomena alam yang bersifat netral. Sehingga, kuncinya bukanlah dari mana madaniyah tersebut berasal, tetapi siapa yang menguasainya.

Negara Islam harus menjadi negara nomor satu dengan teknologi yang maju, jika ada teknologi baru dari negara di luar kekuasaan Islam, maka hal itu akan dikaji terlebih dahulu.

Apakah sesuai dengan syara’ dan apakah hal tersebut sangat pentng serta dibutuhkan oleh umat dan negara?

Jika memang hal itu yang amat sangat penting untuk dimiliki serta dikuasai, maka negara harus memiliki misi untuk memilikinya sendiri, bukan hanya membebek atau sekadar menjadi pasar atau user. Namun jika membahayakan, maka hal itu akan ditinggal jauh, supaya umat terlindungi dan negara tidak disibukkan dengan perkara yang tidak perlu tentunya.

Menyoal metaverse, maka sebenarnya ini hanyalah teknologi dan memang sangat dipengaruhi oleh peradaban kapitalis yang sedang berkuasa saat ini. Sehingga memang, banyak hal yang perlu diperhatikan bahkan ditiadakan dari penggunaannya, ada yang boleh dan ada juga yang tidak.

Kaum Muslimin harus lebih jeli dan hati-hati lagi sekaligus juga harus memiliki mindset kemandirian.

Jadi bukan hanya sebagai pengguna melainkan pencipta teknologinya. Namun sayangnya pasti hal itu sangat sulit karena ketiadaan negara Islam yang mampu memberi dukungan besar dalam pengembangannya.

Sehingga dengn demikian, kaum Muslimin juga harus memiliki kesadaran politik untuk segera mengembalikan peradaban Islam yang agung ke tengah-tengah umat.

Metaverse, ekonomi dan Islam
Pakar Ekonomi Islam Ustaz Dwi Condro Triono, Ph.D. menyatakan sistem ekonomi kapitalisme sudah mengangkangi dan benar-benar mengendalikan hidup kita saat ini.

Memang tak berlebihan statemen ini, faktanya saat ini apapun akan dinilai berharga jika itu menghasilkan materi, segala sesuatu akan diadakan dan dikembangkan selama menghasilkan pundi-pundi, ya bisa dicuanisasi.

Nafas ekonomi kapitalisme adalah materi, maka wajar jika tujuan penciptaan suatu teknologi dalam peradaban ini pun unsur utama yang mendominasi adalah materi.

Apakah teknologi tersebut bisa memberikan keuntungan yang setinggi-tingginya, tanpa mempedulikan apakah teknologi itu akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat atau tidak. Asal cuan tancap gas.

Selain itu dalam dunia sekuler, pembuatan teknologi tak akan pernah memandang bagaimana pengaturan agama didalamnya, alih-alih memandang melirik saja sepertinya tidak. Jelas, karena memang akidahnya mengharuskan pemisahan antara agama dengan kehidupan.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi Islam dibangun berdasarkan wahyu. Akidah dijadikan sebagai pondasi. Akidah Islam merupakan akidah yang haq karena berasal dari Allah SWT yang dibawa kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah Saw.

Tiga ciri khas yang melekat pada akidah ini yaitu memuaskan akal, menenteramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Ketiga hal tersebut menjadi bukti akan kebenaran dari akidah ini.

Oleh karenanya, peraturan yang terpancar dari akidah Islam, seperti sistem ekonomi Islam, memiliki karakter yang khas dan manusiawi.

Sebagai muslim, tentu kita paham bahwa setiap perbuatan kita harus terikat dengan hukum syariat. Ini sebagaimana kaidah syara’ “al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy” yang maknanya hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.

Dengan demikian, maka seorang muslim tidak boleh melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut yang bersumber dari khittab Syari’ (seruan dari Sang Pembuat Hukum).  Terkait kripto ini, Syekh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar

Rasytah menjelaskan dalam laman facebook pribadi beliau bahwa pihak yang mengeluarkan bitcoin (salah satu jenis kripto, beliau (rahimahullah) bitcoin itu majhul (tidak ada yang menjaminnya) dan berpotensi untuk aktivitas gambling dan penipuan, serta sangat rawan dimanfaatkan untuk menjarah kekayaan masyarakat.

Oleh karenanya tidak boleh memperjual belikannya karena dalil-dalil syara’ memang melarang jual beli semua komoditas yang majhul.

Di antara dalil yang menjadi landasan adalah:
Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Abu Hurairah, ia berkata,
«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ»
“Rasulullah SAW melarang bay’ al-hashâh dan jual beli gharar.”
Imam at-Tirmidzi juga telah mengeluarkannya dari Abu Hurairah … “bay’ al-hashâh” itu seperti orang berkata, “Saya jual kepada Anda pakaian-pakaian ini yang terkena kerikil yang saya lemparkan, atau saya jual kepada Anda tanah ini mulai dari sini sampai berakhirnya kerikil ini….” Jadi, jual beli tersebut majhul dan itu dilarang.

“Bay’ al-gharar” adalah majhul tidak jelas, seperti jual beli ikan di dalam air yang banyak, susu yang masih di dalam ambing, jual beli janin yang masih di dalam perut induknya dan semacamnya. Semua itu jual belinya batil sebab merupakan gharar.

Dari situ jelaslah pengharaman jual beli gharar atau majhul dan ini berlaku pada realitas bitcoin. Bitcoin merupakan uang yang majhul pihak yang mengeluarkannya, tidak ada otoritas resmi yang mengeluarkan dan menjaminnya. Atas dasar ini, tidak boleh memperjual belikannya. Wallahu a’lam.

Refensi:
[1] youtube
[2] bloomberg
[3] theverge.com
[4] matthewball.vc
[5] cnnindonesia.com
[6] kompas.com
[7] cnnindonesia.com
[8] liputan6.com
[9] djkn.kemenkeu.go.id
[10] muslimahnews.com
[11] bbc.com
[12] tekno.kompas.com
[13] straitstimes.com
[14] cnnindonesia.com
[16] telkomuniversity.ac.id
[17] republika.co.id
[18] kompas.com
[19] dataindonesia.id
[20] facebook.com

(*GF/RIN)

*Penulis Adalah Aktivis Muslimah