Oleh: Zeng Wei Jian, (*)
Lapan6online.com – Jepang masuk. Rakyat Jawa menilai itu realisasi ramalan Jayabaya. Hanya seminggu, Belanda digebuk dan nyerah.
Tanggal 17 Maret 1942 Kolonel Fujiyama menemui Sukarno di Bukittinggi. Rapat Sukarno, Hatta, Sjahrir segera dilakukan. Temanya soal “Metode Perjuangan”.
Sjahrir menempuh metode Perlawanan Bawah Tanah. Tetap Anti Jepang. Tapi diem-diem. Underground. Jepang nyata lebih kuat dari Belanda.
Sukarno-Hatta milih format “koperatif”. Menurut Hatta, karena “Force Majeure” alias terpaksa.
Sukarno melihat “koperatif” sebagai pilihan paling rasional karena musuh utama adalah kapitalisme barat, bisa leluasa membangkitkan kesadaran rakyat dan mempersiapkan Angkatan Perang PETA-PUTERA.
Faksi PKI dan Murba cibir Sukarno-Hatta. Karena memang mereka bukan pendukung Sukarno-Hatta. Mereka punya agenda sendiri. Tan Malaka ingin gantikan Sukarno sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” atau Presiden.
Tujuh dekade pasca “Koperatif Sukarno”, Pilpres 2019 digelar.
Prabowo-Sandi jadi “Kuda Tunggang” banyak faksi Anti Jokowi. Kemiskinan rakyat adalah sebab utama Prabowo-Sandi ikut kontestasi pilpres. Mereka ingin perbaiki Indonesia.
Dana besar, tenaga, waktu dikeluarkan Paslon Prabowo-Sandi. Mereka all out bela rakyat.
Bulan ramadhan, KPU umumkan Jokowi-Makruf menang. Ketegangan naik.
Pro Prabowo-Sandi turun aksi . Ditunggangi Poros 3; Anti Jokowi dan Ngga Pro Prabowo. Kerusuhan dua hari. Ratusan orang ditangkap.
Pa Prabowo pasang badan. Jamin penangguhan penahanan pengikutnya. Poros 3 mulai tanggalkan topeng.
Keputusan MK menyudahi pertarungan pilpres. Poros 3 mencari Kuda Tunggangan Baru. Mereka menilai Prabowo-Sandi tidak bisa dipake lagi.
Tetapi mereka ngga punya massa. Karena itu, massa 02 harus direbut. Taktiknya delegitimasi Prabowo-Sandi. Supaya keduanya tidak dipercaya dan dibenci. Segala fitnah, ancaman, rasionalisasi dan bualan sok idealis dirilis.
Jubir Andre Rosiade dicaci-maki karena ngetwit seputar silahturahmi. Pengecara Paling Ganteng Habiburokhman dinyinyirin karena ditugasi datang ke KPU dan cium tangan Kyai Makruf Amin.
Poros 3 inginnya perang terus. Padahal mengeluarkan seorang tahanan dari Penjara Polda saja ngga sanggup.
Mereka inginnya menumbangkan Jokowi dengan cara apa pun. Sandiaga diarah-arahkan supaya terus merilis perlawanan. Giliran diserang balik, mereka lepas tangan dan membiarkan Sandiaga jadi martir.
Poros ini bicara seenak dewek. Gombalnya maximal. Sok idealis. Padahal punya mimpi jadi duta besar, staf khusus, komisaris, bila Prabowo-Sandi menang.
Giliran kalah, mereka sok tau. Rilis arahan supaya Prabowo-Sandi begini dan begitu. Bersikap seolah-olah lebih paham hitam putihnya politik daripada Prabowo, Sandi dan para pimpinan partai yang kerap mereka tuding bagi-bagi kursi.
Revolution is not a dinner party. Revolusi bukan perjudian. Kalkulasinya mesti pasti. Revolusi bukan meja rolet di kasino.
Para petualangan Poros 3 tidak memahami teori gerakan. Otak mereka penuh libido kekuasaan dan kursi empuk. Padahal Ketimpangan Ekonomi adalah musuh utama dan Kesejahteraan Rakyat adalah leitmotif perjuangan Prabowo-Sandi. Metode Perjuangan tidak pernah menjadi tujuan.
THE END
*Penulis adalah Aktivis Tionghoa.