Mirisnya Nasib Guru Di Sistem Kapitalis

0
40
Ummu Rania/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Dampak dari penyelenggaraan pendidikan yang demikian akan menghasilkan out-put (pribadi-pribadi) kapitalis, yang siap mengkapitalkan semua proses hidup demi kharisma, kebanggaan, kekuasaan, dan dominasi,”

Oleh : Ummu Rania

DALAM laporan BPS mengenai situasi pendidikan di Indonesia pada 2022, jumlah guru pun menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya. Statistik penurunan paling banyak terjadi pada jenjang sekolah dasar karena terdapat 78 ribu guru yang sudah tak terdaftar di Kemendikbudristek.

Padahal, keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Bahkan, isu tentang pentingnya keberadaan seorang guru dalam mendukung proses pembelajaran tercantum dalam salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), yaitu ingin meningkatkan pasokan guru yang berkualitas.

Akan tetapi, kenyataannya, banyak guru yang masih belum mendapat apresiasi layak. Salah satu cerita, Desi (48) yang telah mengabdi menjadi guru honorer di salah satu SDN wilayah Bandung selama 14 tahun, namun upah tertingginya hanya mencapai angka satu jutaan.

Masih bnyak contoh lain yg ada di keliling kita yang gajinya hnya di angka 1 juta-an, dan bahkan di bawah itu. Terlbih gaji guru honorer rendah sekali, berbanding terbalik dengan gaji guru yang sudah PNS dan bersertifikasi. Memang gaji guru honorer sangat rendah hingga sangat terlihat sekali kesenjangannya. Bahkan dengan beban kerja yang sama atau bahkan lebih mereka masih digaji kurang layak.

Jika melihat penjelasan dari pemerintah, mereka berdalih karena guru honorer tidak terikat di instansi manapun dan hanya digaji oleh kepala sekolah saja. Memang benar bahwa guru honorer diangakat oleh kepala sekolah, tetapi seharusnya dari pemerintah daerah khusus-nya bisa membuat anggaran khusus guru honorer.

Praktik pendidikan belakangan ini, disadari atau tidak, telah terjebak dalam dunia kapitalisme. Penyelenggaraan pendidikan adalah bagaimana sekolah dapat menjual kharisma dan kebanggaan sebesar-besarnya sehingga banyak calon siswa membelinya.

Penilaian atas kharisma dan kebanggaan sebuah sekolah sifatnya kapital. Sehingga pendidikan berbiaya mahal seringkali dianggap benar atau dibenarkan. Mahalnya biaya pendidikan di sekolah-sekolah kita belakangan ini (termasuk sekolah negeri), menjadi hal yang menakutkan. Biaya pendidikan yang mahal mengakibatkan semakin jauhnya layanan pendidikan (yang bermutu) dari jangkauan kaum miskin.

Dampaknya akan menciptakan kelas-kelas sosial dan ketidakadilan sosial. Padahal UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kondisi yang demikian berakibat pada kemampuan kaum miskin (yang sebenarnya mereka pun tidak mau menjadi orang miskin) untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaannya sebagai manusia yang bermartabat menjadi sangat berat.

Situasi ini menjadi semakin parah karena penilaian terhadap kemampuan intelektual subjek didik pun sangat ‘capital oriented’. Angka seringkali diciptakan untuk menentukan status intelektual dan kelulusan. Celakanya hal ini dijadikan legitimasi sekolah dengan biaya mahal itu. Dampak dari penyelenggaraan pendidikan yang demikian akan menghasilkan out-put (pribadi-pribadi) kapitalis, yang siap mengkapitalkan semua proses hidup demi kharisma, kebanggaan, kekuasaan, dan dominasi.

Apa yang dapat kita harapkan dari kondisi pendidikan yang ‘capital oriented’ ini, kecuali terjebak dalam hubungan hegemonik. Lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia (humanisasi) atau dalam bahasa Yahudi Cohen sebagai lembaga yang berperan dalam proses pembangunan negara peradaban (civilizational states), melainkan menjadi “lahan basah” bagi para pengelola pendidikan.

Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi (konglemarasi) yang hanya memikirkan profit oriented. Tidak heran, kalau makin hari biaya pendidikan kian melonjak. Di era modern sekarang ini, hampir mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah ke 17 UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1. Profesi guru-lah diantaranya yang tidak dimanusiakan oleh hasil pendidikan kapitalistik ini. Guru-nya tidak sejahtera, karena sekolah dijadikan bisnis di sistem kapitalis saat ini.

Dalam sistem Islam negara memberikan penghargaan tinggi kepada seorang guru karena lewat perantara lisannya ilmu bisa sampai kepada semua generasi bangsa (murid). Sejarah telah mencatat betapa sejahteranya kehidupan guru pada masa kepemimpinan Umar Bin Kahatab.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya ada tiga orang guru di madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp800rb saja, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulan nya sebesar 51.000.000.,)

Subhanallah pemberian gaji ini tidak memandang apakah status pegawai negeri atau bukan, semua yang berprofesi guru akan diberikan hak yang sama. Dalam Islam para guru akan terjamin kesejahteraannya. Ini tentu menjadikan guru bisa memberi perhatian penuh dalam mendidik anak muridnya tanpa dipusingkan lagi untuk mencari tambahan pendapatan, seperti banyak dialami guru honorer hari ini. Wallahu a’lam bishawab. (*)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah & Guru