OPINI | POLITIK
“Patokan untuk seseorang disebut ekstrem adalah dilihat dari tiga hal. Yakni dianggap ekstrem apabila atas nama agama seseorang melanggar nilai luhur dan harkat martabat, melanggar kesepakatan bersama untuk kemashlahatan, dan melanggar hukum yang menjadi aturan di negeri ini,”
Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd
Asal Usul Moderasi
Peperangan antara ideologi di kancah dunia tidak pernah usia. Di abad modern pasca perang dunia kedua, Amerika Serikat (AS) tampil sebagai pemenang. Sejak saat itu perang ideologi berlangsung.
Barat tahu persis bahwa setelah kejatuhan Uni Soviet tahun 1991, dia tetap harus meladeni musuhnya. Energi penyerangan difokuskan kepada ideologi Islam yang hanya terepresentasi melalui kelompok dan individu-individu pemeluknya beserta ajaran Islam yang diemban, tanpa adanya institusi negara yang menaungi. Namun, strategi penyerangan telah berevolusi dari hard power menjadi soft power.
Bila dahulu Barat harus mengeluarkan banyak dana, serdadu, senjata dan hal-hal lain untuk menjaga hegemoni mereka tetap stabil di negeri-negeri jajahan, kini mereka selangkah lebih pintar untuk menguasai suatu negara yaitu dengan ikatan hutang, nasionalisme, dan politik adu domba.
Allah SWT. berfirman,“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka…” (TQS. Al-Baqarah:120). Ketidak relaan kaum kafir ini tampak dari permusuhan kekal mereka kepada umat Islam yang begitu keji.
Dimulai dari peristiwa World Trade Center (WTC) 9/11, AS menggunakan momentum tersebut untuk melancarkan agenda War on Terroris (WOT) yang sejatinya adalah War on Islam. AS memaksa seluruh dunia untuk tunduk kepada keinginan AS, dengan pilihan kontroversial, “You are either with us or against us.”
Alhasil, negara-negara yang berada di balik ketiak AS tidak punya pilihan selain menunjukkan kesetiaan kepada AS (carrot) atau jika tidak mereka harus sanggup mengalahkan pasukan militer AS (stick).
Setelah berhasil menginvasi Irak dan Afghanistan yang menimbulkan jutaan korban jiwa dari rakyat sipil, AS tidak berhenti dan terus maju dengan agenda barunya setelah dirasa WOT tidak efektif memusnahkan Islam. Inilah soft approach yang dimaksud, yakini War On Radicalism (WOR). Lantas apa strategi AS untuk merealisasikannya?
Sebuah lembaga Think Tank AS yang bernama Research And Development (RAND) Corporation dibentuk untuk mengumpulkan data, menganalisanya serta menyiapkan laporan yang berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional Amerika, baik di dalam maupun di luar.
Pada tahun 1999 Rand Corporation menerbitkan buku berjudul “Melawan Terorisme Baru” yang menghasilkan kesimpulan bahwa ancama terorisme baru berpusat di daerah timur tengah, dan dalam perkembangannya nanti akan mengancam kepentingan pemerintah Amerika dan Zionisme.
Pada tahun 2004, Rand Corporation meluncurkan laporan baru dengan judul “Dunia Islam Pasca 11 September” yang kesimpulan pembahasannya adalah peta trend pemikiran dan ideologi yang berkembang di berbagai belahan dunia Islam, dan juga mengupas fenomena pergumulan Sunni-Syiah dan Arab-Non Arab.
Pada tahun 2007, Rand Corporation kembali menerbitkan laporan hasil penelitian yang kemudian dinilai sangat istimewa karena telah melewati 3 tahun dalam pembuatannya dengan usaha yang sangat serius. Laporan tersebut berjudul “Building Moderate Muslim Networks”. Laporan ini terdiri dari 217 halaman, yang memuat 9 bab serta kesimpulan.
Pada bab 5 tertulis, “The Road Map for Moderate Network Building in The Muslim World” (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderasi di Dunia Islam), yang memuat beberap sub judul. Salah satu sub judulnya adalah “Characteristics of Moderate Muslims”.
Umat Islam menurut mereka dapat di definisikan menjadi 4 kelompok yakni, kelompok moderat/toleran, kelompok radikal/fundamental/ekstrem, kelompok sekuler, dan kelompok tradisional. Dari 4 kelompok ini, yang paling berbahaya dan mengancam AS adalah kelompok kedua yakni kelompok radikal/fundamental/ekstrem.
AS menganggap bahwa untuk melawan kelompok tersebut adalah dengan memperkuat kelompok lain yakni kelompok moderat dan sekuler. Hal ini telah tersirat dalam buku Civil Democratic Islam Partners, Resources, and Strategies yang ditulis oleh Cheryl Benard (peneliti di Rand Corporation), dikeluarkan oleh Rand Corp. pada tahun 2003.
Benard menuliskan bahwa, dunia Islam harus dilibatkan dalam pertarungan ideologi Islam VS ideologi kapitalisme dengan menggunakan nilai-nilai (Islam) yang dimilikinya. Untuk itu AS harus menyiapkan mitra, sarana, dan strategi yang bertujuan untuk: 1) mencegah penyebaran Islam politik, 2) menghindari kesan bahwa AS menentang Islam, 3) mencegah agar masalah ekonomi, sosial, dan politik tidak akan menyuburkan radikalisme Islam.
Berjalan di atas tujuan tersebut dan melihat karakteristik setiap kelompok muslim yang telah mereka teliti dan namai, maka muslim moderat dipandang cocok oleh barat untuk mengkampanyekan moderasi. Adapun agenda moderasi yang digencarkan AS bertujuan untuk: 1) Menyebarluaskan dimensi kunci peradaban Demokrasi yakni HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non-sektarian, dan 2) Melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan.
Jelas bahwa, moderasi adalah alat perang yang digunakan AS untuk menyerang Islam. Hanya saja bukan seperti alat perang dalam bentuk benda, namun alat perang ini berbentuk pemikiran. AS memaksa negeri-negeri muslim berkomitmen mensukseskan agenda moderasi ini dalam kebijakan-kebijakan nasional untuk mengatur kehidupan rakyat. Indonesia tidak luput dalam agenda ini bahkan disebut sebagai negara yang akan menjadi poros moderasi beragama di dunia. Komitmen ini sudah disampaikan Presiden RI awal bulan Mei 2018 lalu di KTT Ulama dan Cendikiawan Muslim se-Dunia Wasathiyah Islam yang diselenggarakan di Istana Presiden, Jawa Barat.
Beliau menyampaikan, “Indonesia menyambut gembira menguatnya semangat moderasi dalam gerakan besar dunia Islam. Keterlibatan ulama menjadi sangat penting karena ulama adalah pewaris nabi dan obor keteladanan bagi umat. Jika ulamanya bersatu padu dalam satu barisan untuk membumikan moderasi Islam, poros wasathiyah. Islam dunia akan menjadi arus utama, akan memberikan harapan bagi dunia yang aman, damai, sejahtera dan berkeadilan.” Dari komitmen Presiden ini, mulailah realisasinya dirasakan rakyat Indonesia di tahun-tahun berikutnya.
Arus Moderasi Beragama di Indonesia
Pada awal Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri. Salah satu poin dalam SKB ini adalah mencabut aturan keharusan maupun larangan penggunaan seragam atau atribut keagamaan di lingkungan sekolah negeri jenjang dasar dan menengah.
Satu bulan berikutnya, di awal Maret 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kembali memancing pro dan kontra publik. Pasalnya pada draft Peta Jalan Pendidikan yang memuat visi pendidikan Indonesia tahun 2035, tidak terdapat frasa agama. Meskipun selanjutnya Menteri Nadiem menyebut akan merevisi Draft Peta Jalan Pendidikan tersebut, namun hal ini sudah mengindikasikan adanya upaya untuk memisahkan agama dalam pendidikan di Indonesia secara gamblang.
Sebab, sebagai bentuk pengarus derasan moderasi beragama, dunia pendidikan harus di “treatment” untuk tidak bertolak ukur kepada satu pandangan agama tertentu saja. Namun harus bersikap toleran terhadap keberagaman di Indonesia. Hal ini pula yang tersirat pada fenomena diberhentikannya 51 pegawai KPK setelah tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK.
Diketahui dari sejumlah wawancara kepada para pegawai KPK yang tidak lolos tes TWK ini, soal-soal yang diajukan cenderung bersifat screening idelogy. Diantara contoh soalnya adalah peserta diminta memilih antara Al-Qur’an atau pancasila, pandangan mereka tentang mengucapkan selamat hari natal, dan pandangan mereka tentang LGBT.
Meskipun karakter soal pada TWK KPK ini tidak ada hubungannya dengan konsep profesionalitas dalam kepegawaian KPK, namun ini adalah fakta yang tidak bisa dinafikan, bahwa arus moderasi beragama dilancarkan di segala lini kehidupan. Termasuk di tubuh Kementerian Agama RI. Arus moderasi beragama ini juga terasa dalam imbauan Kemenag kepada satuan kerja di bawahnya untuk memasang spanduk ucapan selamat natal dan tahun baru atas nama toleransi.
Mirisnya, kebijakan ini mendapatkan lampu hijau dari Majlis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Pusan KH. Chalil Nafis, membolehkan mengucapkan natal, karena menurut beliau yang tidak dibolehkan adalah ikut upacara perayaan hari natal.
Mewaspadai Moderasi Beragama
Setidaknya ada 4 hal yang harus dipahami umat Islam dalam menyikapi arus moderasi agama di Indonesia, agar umat Islam tidak terkecoh dengan pendiktiean moderasi yang sesungguhnya semakin menjauhkan mereka dari ajaran Islam yang hakiki:
Pertama, Istilah dan definisi moderat dan radikal bukan istilah ilmiah melainkan istilah politis yang memiliki motif tertentu. Definisi tersebut bukan berasal dari ajaran Islam melainkan dari doktrin Barat yang berusaha merusak pemikiran agama Islam dengan motif mengungkapkan yang bohong dan menyembunyikan hakikat. Barat memiliki kepentingan menjaga hegemoni mereka di negeri-negeri jajahan yang notabenenya adalah tanah kaum muslimin. Sangat berbahaya sekiranya terdapat perlawanan dari umat Islam atas nama persatuan aqidah mereka untuk mengusir barat dari negeri mereka. Oleh sebab itu, Barat menggunakan senjata rahasia berbentuk moderasi agar terkesan tidak keras namun tetap dapat mewujudkan keinginan mereka. Padahal sesungguhnya Barat mengetahui persis bahwa label Islam radikal yang mereka sebut sebagai paham berbahaya adalah sebenar-benarnya pengamalan ajaran Islam sesuai syari’at yang dibawah Rasulullah saw.
Kedua, Soft Power yang barat lancarkan dalam agenda moderasi memaksa menjadikan masyarakat dan sebagian ulama umat Islam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai perspektif akal dan hawa nafsu mereka. Sebagaimana yang terlihat dari term Islam Wasathiyah yang disebut adalah bentuk apik dari Islam moderat berlandaskan kepada Surah Al-Baqarah ayat 143 yang dimana Allah swt. menyebut umat Islam sebagai umat wasathan atau umat pertengahan. Pertengahan yang dimaksud sesungguhnya adalah dalam konsep bersikap adil. Imam Al-Qurthubi di tafsirnya menjelaskan wasath adlaah al-‘Adl (Adl) asalnya. Yang paling terpuji dari sesuatu adalah awsathnya (maknanya) bukan dari wasath yang merupakan pertengahan antara dua hal (kutub). Begitu juga Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Wasath disini adalah Al-Khiyar wa Al-Ajwad (yang terbaik, pilihan, dan paling bagus). Namun, oleh mereka “umat pertengahan” ditafsirkan sebagai umat yang tidak meninggalkan syari’at juga tidak menerapkan syari’at secara keseluruhan. Sembari mengambil nilai-nilai barat dengan ramah tamah. Hal ini dapat dilihat dari adanya upaya untuk menafsirkan ulang ayat tentang mustahik zakat, sehingga dapat diperuntukan kepada korban perempuan dan anak dalam kekerasan seksual karena termasuk orang-orang yang teraniaya.
Ketiga, Agenda moderasi beragama juga telah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah bahkan menggelontorkan dana sebesar 3,2 T untuk memuluskan agenda moderasi seban moderasi beragama dinilai sebagai solusi atas permasalah sosial keagamaan sebagaimana yang diungkapkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Beliau menyebutkan bahwa penguatan moderasi bersama bisa menjadi solusi atas munculnya permasalahan sosial keagamaan. Padahal jika kita mau jujur, permasalahan yang hakiki saat ini justru karena Islam tidak diterapkan secara kaffah. Misalnya permasalahan dikelolanya SDA yang melimpah oleh asing, pejabat yang membangun gurita oligarki, ekonomi yang kerap resesi, korupsi yang marak di semua lini, politik uang yang menjadi tradisi, moral bangsa yang terus teregradasi, kualitas pendidikan yang tidak mumpuni, angka kriminalitas yang terus meninggi, perceraian juga kerap terjadi, kekerasan pada perempuan pun marak terjadi, serta banyak lagi permasalahan yang melanda negeri. Ini adalah akibat dari pemerintah yang salah dalam membaca problem mendasar di negeri ini. Seyognya dana sebesar itu harusnya dialirkan kepada penyelesaian masalah yang secara nyata sangat urgen, seperti permasalahan kemiskinan dan disparitas di papua ataupun masalah sosial lainnya.
Keempat, Moderasi agama sesungguhnya adalah upaya barat untuk mende-ideologi-Islam. Yakni mencabut ranah idelogis pada agama Islam dan membiarkannya hanya dalam pengaturan ibadah ritual. Ini adalah upaya pengkerdilkan ajaran Islam dengan batasan-batasan yang dibuat oleh manusia, berupa harkat mulia manusia, kesepakatan bersama, dan batasan hukum positif. Sebagaimana yang tuliskan Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementrian Agama RI, Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum dalam sebuah artikelnya berjudul Moderasi Beragama. Menurut beliau, patokan untuk seseorang disebut ekstrem adalah dilihat dari tiga hal. Yakni dianggap ekstrem apabila atas nama agama seseorang melanggar nilai luhur dan harkat martabat, melanggar kesepakatan bersama untuk kemashlahatan, dan melanggar hukum yang menjadi aturan di negeri ini.
Ini adalah sejumlah fakta miris yang tidak dapat ditutupi terjadi di negeri ini. Moderasi agama sedang dijalankan secara sistematis, terstruktur, dan masif. Tidak sedikit umat dari kalangan awam hingga para intelektual dan ulama tertipu dan terpedaya dengan narasi racun moderasi beragama. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Islam yang menginginkan jalan lurus nan selamat, harus jeli dalam menyikapi narasi moderasi beragama agar tidak terperosok ke dalam jurang neraka. Cukuplah firman Allah SWT menjadi pengingat kepada kita tentang musuh yang nyata dari kalangan manusia. Allah SWT. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kami menjadikan orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.” (TQS. Ali Imran: 118).
Maka, mari kita lawan opini moderasi beragama yang memecah belah umat Islam di negeri ini dengan opini Islam kaffah yang mengkampanyekan persatuan seluruh umat Islam seluruh dunia, dan mua’lajah musykilah yakni pemecah seluruh problem umat dengan penerapan syari’at dalam bingkai Negara Khilafah Rasyidah ‘ala min Hajj an-Nubuwwah. Wallahu’alam bish showab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah dan Pendidik