“Adapun karakter Islam moderat adalah mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM, menghormati sumber hukum yang nonsektarian dan menentang terorisme,”
Oleh: Nazhila
Jakarta | Lapan6Online : Penerapan moderasi beragama (moderasi Islam) di Indonesia seolah menjadi kebanggaan dan keunggulan yang luar biasa di mata negara lain khususnya Barat.
Seperti yang diungkap Wapres RI Ma’ruf Amin pada Senin, 9 November 2020 lalu. “Sekarang dunia mulai melirik ada apa di Indonesia, walaupun berbeda-beda suku dan agama kok bisa rukun, bisa satu. Ya karena kita menggunakan cara beragama yang moderat, moderasi dalam beragama.”
Indonesia pun berharap penerapan moderasi Islam ini dijadikan model oleh dunia dalam kerukunan antar umat beragama. Padahal, di balik itu penerapan moderasi Islam ini dirancang karena ketakutan Barat akan Islam radikal. Mulai dari perubahan kurikulum PAI dan bahasa Arab, UU Pesantren, penetapan Hari Santri dan lainnya menunjukkan dengan jelas upaya memasifkan moderasi Islam.
Upaya yang mereka lakukan tersebut bukanlah hal yang menguntungkan atau pun angin segar bagi penerapan Islam di Indonesia. Tapi sebaliknya, kaum Muslim malah semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya dan semakin mendiskreditkan Islam.
Sebenarnya moderasi Islam bukanlah isu yang baru, muncul setelah isu Islam radikal dan Islam moderat. Moderat/jalan tengah dikenal pada abad pencerahan di Eropa, yang bermula dari konflik antara pihak gerejawan yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dan kaum revolusioner/kelompok filsuf yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan yang menghasilkan sikap kompromi, atau sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik.
Adapun Islam moderat, muncul dari lembaga think tank AS, RAND Corporation yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, yang ditulis Cheryl Benard pada 2003 dan Building Moderate Muslim Network pada 2007. Umat Islam pun dikelompokkan menjadi Islam radikal/fundamentalis, Islam moderat/sekuler, Islam modernis dan Islam tradisionalis.
Adapun karakter Islam moderat adalah mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM, menghormati sumber hukum yang nonsektarian dan menentang terorisme. Sedangkan Islam radikal/fundamentalis dikelompokkan pada sosok intoleran, cenderung radikal, brutal, memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah melalui tegaknya Khilafah Islamiyah, menolak demokrasi berikut derivatnya, termasuk anti-Barat.
Selain itu, tiga kelompok Islam (tradisionalis, moderat, modernis) dibenturkan dengan kelompok fundamentalis yang dinilai buruk, seperti teroris, pemecah belah bangsa, diskriminatif terhadap perempuan, garis keras dan lainnya. Semua strategi ini bertujuan untuk membendung bibit kebangkitan Islam dan persatuan umat Islam.
Presiden Jokowi sendiri menghadiri deklarasi antiradikalisme dan terorisme dari seluruh pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 26/9/2017 lalu. Presiden Jokowi menyambut positif deklarasi perguruan tinggi se-Indonesia untuk melawan radikalisme. Maka semakin jelaslah bahwa moderasi Islam merupakan proyek global untuk melawan radikalisme atau kebangkitan Islam.
Sebenarnya, Islam adalah sebuah agama yang mempunyai ideologi, pemikiran dan paham yang dapat membendung proyek global moderasi Islam. Inilah kekuatan kaum Muslimin. Namun, Barat tahu akan hal itu. Makanya, agar tetap lemah dan tetap dalam hegemoni Barat, kaum Muslim dijauhkan dari Islam ideologis dan Islam politis.
Islam hanya diletakkan di ranah pribadi seputar ibadah dan akhlak saja. Sementara, di ranah politik dijauhkan dari kaum Muslimin. Hasilnya, mereka tak mengenal politik Islam, ekonomi Islam, tata sosial dalam Islam, justru mereka familiar dalam sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis yang ribawi.
Padahal dalam Islam, aktivitas politik sebagai tugas umat Islam yang paling penting dan prioritas utama. Menghadirkan Islam politik di tengah umat hari ini merupakan suatu hal yang mendesak. Keterlibatan individu Muslim dalam politik merupakan suatu kewajiban.
Sabda Rasulullah SAW, “Suatu saat akan datang para pemimpin, mereka melakukan makruf (kebajikan) dan kemungkaran (kejelekan). Siapa yang benci (dalam hati) akan kemungkaran yang dilakukan oleh pemimpin, maka ia sudah bebas dari dosa dan hukuman. Barang siapa mengingkarinya, maka dia selamat. Sedangkan (dosa dan hukuman adalah) bagi yang rida dan mengikutinya.” Kemudian para Sahabat berkata, “Apakah kami boleh memerangi mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Jangan selama mereka mengerjakan salat.” (HR Muslim no. 1854)
Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zalim.” (HR Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadis ini hasan gharib. Ibnu Majah No. 4011, Ahmad No. 18830, dalam riwayat Ahmad tertulis: Kalimatul haq [perkataan yang benar])
Inilah tantangan dakwah kita saat ini. Sebagai pengemban dakwah Islam politik, kita tidak boleh lengah dengan upaya Barat dalam membendung kebangkitan Islam. Di saat Barat memasifkan penerapan moderasi Islam, maka kita pun harus memasifkan dakwah Islam politik. Kesadaran umat akan pentingnya Islam politik tidak akan muncul tanpa adanya dakwah Islam. Narasi-narasi buruk tentang Islam harus dilawan dengan menyebarkan ide-ide Islam yang cemerlang ke tengah-tengah umat. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah di Kota Depok