PERISTIWA | NUSANTARA
“Janglah meninggalkan Shalat lima waktu tepat pada waktunya dan usahakan Sholat berjamaah, sering-sering membaca Al Qur’an karena bagi seorang Islam Alqur’an sebagai pedoman hidup di dunia untuk ke Akhirat,”
Lapan6OnlineKALBAR | Entikong | Sanggau : Isra Mi’raj adalah dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam.
Sebab, pada peristiwa ini Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.
Dan Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW
John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Seperti yang digelar TPQ AL-Muhajirin Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, yang senantiasa memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, dengan penuh khidmat serta terasa dalam kebersamaan.
Acara religius yang digelar pada Jumat (17/03/2023) ini dihadiri oleh Perwakilan Forkopimcam Entikong, Kapolsek Entikong diwakili oleh Brigadir Muhamad Tholkah, Mantan Kades Entikong Kiki, KUA Entikong Muhammad Japar S.ag, Ustadz Ahmad Mafrudin Pimpinan Pon-Pes Miftahul-Hidayah Balai-Karangan, Ketua MABM Kec.Entikong Abang Syamsumen, Perwakilan Danramil Entikong, Ketua MABM Kab Sintang Murjani, PCNU Kec.Entikong,PSHT ranting Entikong dibawah pimpinan Sardeni.
“Kegiatan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW diadakan di Jalan Lintas Malindo, Gang Wanara, Entikong dimulai pukul 19:30 wib hingga selesai. Tentunya momen penuh makna dalam kebersamaan,” terang Saepul, warga Entikong.
Adapun penceramah dalam acara isra Mi’raj tersebut adalah Ustadz Rohendi dari Sintang, di dalam ceramahnya, bahwa Habib berpesan kepada seluruh tamu undangan untuk tidak meninggalkan Shalat lima waktu tepat pada waktunya dan usahakan Sholat berjamaah, sering-sering membaca Al Qur’an karena bagi seorang Islam Alqur’an sebagai pedoman hidup di dunia untuk ke Akhirat.
Acara ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh TPQ Al Muhajirin metode Usmani Entikong sebagai bentuk apresiasi terhadap anak yang telah menyelesaikan tahap pembelajaran pada TPQ Al Muhajirin metode Utsmani.
Pada malam ini juga pengurus TPQ Al-Muhajirin Entikong mewisuda sebanyak 17 Anak Asuh Angkatan ke – 4.
Dan kegiatan seperti ini diharapkan kepada anak-anak yang belajar membaca Alquran di TPQ Al Muhajirin metode Utsmani Entikong ini agar lebih semangat dalam menuntut ilmu terutama ilmu agama dan dapat menjadi harapan orang tua, Agama, Bangsa dan Negara.
Panitia telah mempersiapkan acara tersebut dengan sebaik-baiknya ini terlihat dari persiapan yang tampak mulai dari penataan panggung, tarub, tempat duduk, dan penyambutan tamu.
Selesai acara masih, dan di tempat yang sama awak media meminta penjelasan dari Ustadz Ali Mustafa, selaku Ketua Pengurus TPQ Al Muhajirin Entikong Metode Utsmani mengatakan,”Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, kami atas nama pengasuh TPQ Al Muhajirin metode Usmani Entikong mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada semuanya, perkenalkan ini adalah wisuda atau tasyakuran Khotmil Qur’an TPQ Al Muhajirin yang berdiri dari mulai tahun 2014,” ujarnya.
Lebih lanjut Ustad Ali Mustafa menyatakan bahwa,”Harapan kami sebagai pengasuh semoga kedepannya Al-Muhajirin sudah bisa berkembang bisa bermanfaat umat banyak dan juga kami membutuhkan kan banyak banyak dukungan dan motivasi kepada kami untuk selalu berinovasi pasti kedepannya supaya tambah baik tambah baik kembang untuk dunia dan akhirat Aamiin,Aamiin,Aamiin Ya Robbal Alamin , assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,” harapnya.
Ia menambahkan,”Pesan bagi anak-anak yang sudah diwisuda ini bukan berarti akhir dari sebuah pendidikan ,tapi ini adalah awal untuk menuju generasi yang berikutnya menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari TPQ Al Muhajirin ini,”tambahnya.
Sementara itu, Kiki, Mantan Kades Entikong serta selaku tamu undangan dari Non Muslim dalam sambutannya mengatakan,”Kami mengucapkan Banyak terima Kasih Kepada panitia Karena Telah Berikan waktu dan Tempat kepada Saya Untuk menyampaikan Kata Sambutan Diatas Panggung Ini. Dan melalui panggung ini Saya memberitahukan Kepada Semua warga Masyarakat Entikong khususnya yang hadir pada malam ini, Ditempat ini, Bahwa saya sudah tidak menjabat Sebagai Kepala Desa Entikong, saya sudah mengundurkan diri. Dikarenakan saya akan mencalonkan diri saya sebagai Anggota Dewan DPRD Kab.Sanggau dan saya pribadi meminta maaf yang sebesar-besarnya atas salah dan khilaf saya yang disengaja atau tidak disengaja selama saya menjadi Kepala Desa Entikong dan tidak lupa saya ucapkan beribu terima kasih Kepada warga Masyarakat Entikong yang sudah membantu saya secara moril dan materil selama saya menjabat jadi Kepala Desa Entikong,” papar Kiki.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi.
Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya.
Pertama, Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.
Kedua, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak mesti secara langsung.
Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da’wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya.
Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini.
Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Dari ajaran langit tersebut, terdapat nilai-nilai signifikan bagi sebuah kepemimpinan.
Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra’ Mi’raj, yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral (revolusi mental) yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan demikian kontinuitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik” (Al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).
Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi’raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-‘adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan — yang menyangkut kepemimpinan – secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu’). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ”pencari Tuhan”). Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ”Kebijakan pemimpin itu akan senantiasa berlandaskan pada kemaslahatan untuk rakyat” (Tasharrufu al-imam ‘ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).
Kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan salat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran salat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan salat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia. (*Saepul/Red)