Mungkinkan Minol Dilarang Dalam Demokrasi?

0
55
Eva Arlini, SE/Foto : Istimewa
“Kita hidup dalam sistem demokrasi, dimana agama bukan satu – satunya standar penentu kebijakan. Bahkan agama cenderung terpinggirkan dalam pengaturan kehidupan,”

Oleh : Eva Arlini, SE

Jakarta | Lapan6Online : Sudah maklum dikalangan umat Islam mengenai keharaman minuman memabukkan (kharm).

Sebagaimana mengertinya umat tentang keharaman memakan babi, kewajiban salat dan perkara lain yang tegas semacam itu. Ketika minuman keras bebas dijual di pasaran, umat Islam yang peduli pada syariah pasti resah.

Ditambah lagi efek buruk peredaran minuman keras (miras), sejak lama sudah dirasakan masyarakat. Tempat – tempat maksiat marak. Lalu terjadi berbagai tindak kriminalitas yang dipicu oleh miras.

Seperti yang disebutkan dalam Indonesia Journal of Criminal Law (IjoCL,red), bahwa hasil penelitian di Kota Makassar membuktikan pengaruh minuman keras terhadap timbulnya suatu kejahatan setiap tahun cenderung meningkat.

Ada pula kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan miras. Salah satunya disebutkan oleh Kapolda Papua Irjen Martuani Sormin, bahwa penyebab kecelakaan lalu lintas di Papua pada umumnya disebabkan minuman beralkohol atau miras yang dikonsumsi sebelum mengendarai kendaraan. (https://mediaindonesia.com/21/02/2019).

Semua itu tentu menambah resah masyarakat. Maka ketika muslim mendapat kesempatan berbuat sesuatu untuk mengatasi persoalan miras ini, dia pun terpanggil untuk berbuat. Panggilan iman inilah yang penulis yakini telah mendorong 21 anggota DPR RI dari tiga fraksi berbeda yakni PPP, PKS dan Gerindra untuk mengusulkan pembahasan Rancangan Undang – Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol).

Dalam situs resmi DPR disebutkan beberapa alasan diusulkannya RUU Minol. Pertama, untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif minol.

Kedua, menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol.

Ketiga, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minol. Pada rapat Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, para pengusul mengutip al quran surat al Maidah ayat 90-91 tentang larangan tegas dari Allah swt untuk mengkonsumsi khamr.

Namun kita menyadari, kita hidup dalam sistem demokrasi, dimana agama bukan satu – satunya standar penentu kebijakan. Bahkan agama cenderung terpinggirkan dalam pengaturan kehidupan. Asas yang diusung dalam demokrasi adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya dipandang sebagai sisi ibadah. Selebihnya aturan hidup harus steril dari agama.

Bilapun ada aturan agama yang diselipkan dalam tataran kehidupan bernegara, pasti dipilih pilih dan diambil mana yang menguntungkan dalam kaca mata manusia. Semisal pengelolaan dana haji yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. https://nasional.kompas.com/read/2017/07/28/18102721/yusril-kritik-jokowi-gunakan-dana-haji-untuk-infrastruktur?page=all.

Alhasil sekulerisme memandulkan potensi Islam sebagai agama yang merupakan aturan dan solusi masalah kehidupan. Hal ini terlihat dari penolakan beberapa pihak terhadap usulan RUU Minol. Mereka menyesalkan pengusulan RUU Minol menggunakan alasan agama. Mereka memandang usulan tersebut tidak sesuai dengan keberagaman. Demikian perkataan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo.

Mereka juga berpendapat jika RUU Minol disahkan maka akan merugikan negara. Memang data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai miras berkontribusi pada perekonomian negara senilai Rp7,3 triliun tahun lalu. (https://www.bbc.com/)

DKI Jakarta sebagai bagian dari pemilik saham produsen bir, PT Delta Djakarta juga mendapatkan keuntungan berupa deviden senilai lebih dari Rp100 miliar dari perusahaan itu. Asosiasi importir minuman beralkohol menilai, jika RUU Minol disahkan, hal itu sama saja dengan membunuh sektor pariwisata.

Tentunya mereka juga merasa dirugikan andai RUU Minol disahkan. Maka pihak yang kontra terhadap RUU Minol mengusulkan lebih baik RUU Minol yang bersifat larangan diubah menjadi pengaturan, pengendalian dan pengawasan distribusi miras.

Perdebatan inilah penyebab RUU larangan Minol belum juga rampung. RUU tersebut pertama kali diusung oleh DPR pada tahun 2009. Tapi tak disahkan hingga dibahas lagi pada periode 2014 dan 2019.

Pembahasan kembali mandek karena alotnya perdebatan antara DPR dan pemerintah. Padahal pada RUU Minol pasal 8 dikatakan bahwa minol diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. (https://tirto.id/f6Vi)

Namun meski RUU Minol memuat pengecualian, satu suara tetap tak tercapai. Mengenai alasan potensi kerugian ekonomi, pihak pengusul RUU Minol berpendapat bahwa pendapatan dari miras tidak begitu signifikan dibanding efek buruk yang ditimbulkan. Kita bisa berpikir keras untuk meningkatkan ekonomi dengan jalan lain selain berharap dari pajak minol. Meski alasan tersebut dikemukakan, satu pandangan masih tak mampu dihasilkan.

Demikianlah konsekuensi penerapan demokrasi. Rencana melahirkan undang – undang akan selalu menimbulkan kontroversi. Sebab tidak ada standar nilai tertentu yang dipegang dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Asas sekulerisme baku dalam demokrasi. Dengannya kebebasan harus dijunjung tinggi, baik kebebasan beragama, berpendapat, berprilaku maupun berekonomi.

Maka satu – satunya standar perbuatan yang dipegang dalam demokrasi adalah kepentingan. Kepentingan siapa yang dimenangkan oleh demokrasi?

Pada tataran teori, disebutkan bahwa demokrasi akan memenangkan suara mayoritas rakyat. Nyatanya para pemilik kekuatan uanglah yang dimenangkan oleh demokrasi.

Sebagai contoh Undang – Undang Cipta Kerja yang kemarin memicu demo rakyat besar – besaran, namun tetap disahkan. Bila umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini tepuk dada tanya iman, pasti kebanyakan akan setuju dengan pelarangan minol yang memang dilarang oleh Allah swt.

Tapi bagaimana mau berharap larangan Allah swt juga akan dilarang oleh kebijakan pemerintah, lah wong kembali ke prinsip demokrasi di negeri ini, dalam membuat aturan negara jangan bawa – bawa agama. Aturan berdasarkan agama sama artinya dengan anti keberagaman. Terjawab sudah, bahwa sangat sulit membayangkan miras akan dilarang di negeri demokrasi sekuler ini.

Lalu bagaimana umat Islam mau berharap syariah kaffah bisa diterapkan dalam sistem demokrasi?

Persoalan penetapan kebijakan akan jauh lebih mudah bila dikembalikan pada Islam sepenuhnya.

Kepentingan ataupun manfaat bukanlah standar berbuat dalam Islam, melainkan halal haram-lah ukurannya. Allah swt berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.” [an-Nisâ’/4:59] Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla perintahkan manusia agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya.

Islam hadir untuk menjaga dan melindungi eksistensi manusia. Salah satu yang dijaga oleh Islam adalah kesehatan akal. Hal itu tampak pada larangan Allah swt untuk meminum khamr (miras). Sistem Islam berupa politik, ekonomi dan pendidikan serta sistem lainnya akan bersatu padu menciptakan masyarakat yang sehat dan sejahtera serta berorientasi hidup ke surga.

Jadi ilusi pelarangan minol melalui legislasi demokrasi harusnya melipatgandakan semangat umat Islam untuk terus berjuang mengembalikan kehidupan Islam secara utuh dalam naungan khilafah. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini