“Musibah dan bencana yang terjadi ini seharusnya membuat kita berpikir dan menarik pelajaran untuk mencegah potensi terjadinya bencana dan meminimalkan atau meringankan dampaknya,”
Oleh : Maya Amellia Rosfitriani
MUSIBAH dan bencana beruntun mengepung Indonesia di awal 2021. Mulai dari pandemic Covid-19 yang sampai saat ini belum bisa terselesaikan, datang musibah dan bencana secara beruntun yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa.
Pertama, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182, rute Jakarta (CGK)-Pontianak (PNK) yang hilang kontak setelah 4 menit lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, pada Sabtu (09/01/2021) pukul 14:40 WIB. Pesawat tersebut membawa penumpang sebanyak 62 orang, di antaranya 50 penumpang dan 12 kru.
Kedua, duka kembali menyelimuti masyarakat dengan terjadinya longsor di Sumedang, Jawa Barat. Terjadi dua kali longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung pada Sabtu (09/01/2021) pukul 16:00 WIB dan 19:00 WIB. Longsoran pertama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dengan kondisi tanah yang tidak stabil, sedangkan longsor susulan terjadi saat petugas masih melakukan evakuasi korban di sekitar area longsor pertama. Ada 21 korban meninggal dunia, 19 orang hilang diduga tertimbun reruntuhan dan 25 orang selamat.
Ketiga, BPPTKG melaporkan aktivitas Gunung Merapi yang sempat naik pada Minggu (10/01/2021) pukul 18:00-24:00 WIB, pada periode waktu pengamatan tersebut, teramati 26 kali guguran lava pijar dengan jarak luncur 900 meter ke arah hulu Kali Krasak. Pada Senin (11/01/2021) pukul 00:00-06:00 WIB, aktivitas Gunung Merapi sedikit menurun. Teramati terjadi 19 kali guguran lava pijar dengan jarak luncur maksimal 600 meter ke arah hulu Kali Krasak. Dengan ini potensi radius bahaya berjarak maksimal 5Km dari puncak Gunung Merapi.
Keempat, Gempa di Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat. Gempa berkekuatan 6,2 magnitudo terjadi pada Jumat (15/01/2021) pukul 02:28 WITA. Akibat gempa ini, sejumlah bangunan rusak berat, seperti puskesmas, rumah sakit, sekolah dan kantor Gubernur Sulawesi Barat rubuh.
Kelima, banjir bandang terjadi di Kalimatan Selatan, tepatnya di Kabupaten Tanah Laut. Setelah terjadi cuaca ekstrem berupa hujan lepat disertai kilat dan angin kencang pada 12-15 Januari 2021. Banjir yang melumpuhkan 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan dan merenggut 15 korban jiwa. Dengan jumlah lebih dari 100.000 orang terdampak dan mengungsi, 27 ribuan rumah terendam banjir.
Keenam, banjir dan lonsor menimpa Kota Manado, Sulawesi Utara, yang terjadi pada Minggu (17/01/2021) menyebabkan 17 orang meninggal, 4.220unit rumah rusak.
Selain banjir di Kalimantan Selatan dan Manado, Sulawesi Utara. Banjir juga terjadi di Kabupaten Lamongan dan Sidoarjo, Jawa Timur, Kabupaten Pidie, Aceh, hingga Kota Cirebon, Jawa Barat. Dan paling akhir, Selasa (19/01/2021), banjir terjadi di Kawasan Puncak Bogor.
Berbagai bencana atau musibah yang terjadi, tentunya merupakan ketetapan atau qada Allah SWT (QS at-Taubah: 51). Bencana atau musibah itu tak mungkin kita bisa menolaknya atau mencegahnya. Sikap yang bisa kita lakukan adalah menerima dengan lapang dada, ridha, tawakal dan Istirja’ (mengembalikan semua kepada Allah SWT) serta sabar. Adanya bencana ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat membutuhkan pertolongan Allah SWT.
Musibah dan bencana yang terjadi ini seharusnya membuat kita berpikir dan menarik pelajaran untuk mencegah potensi terjadinya bencana dan meminimalkan atau meringankan dampaknya.
Dalam kasus musibah banjir misalnya, terdapat beberapa faktor penyebab banjir yaitu, curah hujan, air limpahan dari wilayah sekitar, air yang diserao tanah dan ditampung oleh penampung air dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar.
Banjir ini tidak hanya terjadi karena curah hujan yang tinggi, padahal curah hujan tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Sedangkan tiga faktor lainnya dipengaruhi oleh manusia dan termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para penguasa. Oleh karena itu, tidak bisa kita menjadikan curah hujan sebagai kambing hitam atas terjadinya banjir ini.
Menurut analis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tutupan lahan berupa hutan telah hilang di wilayah Kalsel. Akibatnya, ketika hujan deras mengguyur wilayah Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut, DAS Barito tidak mampu lagi menampung air hujan sehingga meluap dan menyebabkan terjadinya banjir bandang.
Secara keseluruhan, jumlah lahan yang menyusut di wilayah tersebut mencapai 322 ribu hektar. Di lain sisi, perluasan area perkebunan terjadi cukup signifikan yaitu seluas 219 ribu hektar (Asiatoday.id, 18/1/2021).
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.
Menurut dia, Kalsel berada dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sebabnya, dari total wilayah seluas 3,7 juta hektar di Kalsel, sebanyak 50 persennya sudah dialihfungsikan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Kisworo menjelaskan, tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Kalsel sudah cukup rusak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan yang tidak memadai. Hal ini didukung data laporan 2020 yang mencatat, terdapat 814 lubang tambang di Provinsi Kalsel milik 157 perusahaan batubara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi (Lokadata.id, 19/1/2021).
Perluasan lahan tambang dan kelapa sawit ini menjadi bukti adanya kepentingan penguasa di dalamnya. Tidak peduli seberapa besar kerusakan lingkungan yang telah mereka ciptakan, asalkan mereka mendapatkan keuntungan, maka mereka akan terus melakukannya.
Semua ini berpangakal pada pengadopsian sistem kapitalisme yang berlandaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Berbagai praktik yang menyebabkan perubahan kondisi lingkungan yang cenderung pada kerusakan lingkungan merupakan kemaksiatan.
Sudah dipastikan kemaksiatan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Semua itu merupakan akibat yang Allah SWT timpakan atas banyaknya kemaksiatan yang telah dilakukan manusia saat ini, dengan tujuan agar manusia segera sadar dan kembali pada aturan-Nya.
Allah SWT berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah SWT).” (TQS ar-Rum [30]: 41)
Dengan demikian, solusi untuk mengakhiri segala musibah yang ada saat ini adalah dengan meninggalkan akar penyebab masalah ini, yaitu sistem sekularisme-kapitalisme. Dan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan lahan/tanah, SDA dan SDM. Tentunya dengan menerapkan sistem yang telah Allah SWT turunkan, yaitu sistem Islam. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma