*Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati politik dan kebangsaan. (*)
Lapan6online.com : Ketika diangkat menjadi Mendikbud banyak pihak yang menggelengkan kepala karena aneh, kok Jokowi begini cara memilih pembantunya. Keluar dari prinsip “the right man on the right job”. Cara pandangnya terlalu pragmatik.
Mendikbud diberikan kepada anak muda yang tidak memiliki reputasi di bidang pendidikan. Ojek online bidangnya.
Demikian juga saat mengangkat Stafsus Presiden awalnya mungkin mau disebut hebat dengan memberi kepercayaan pada anak muda, akan tetapi lagi-lagi sandarannya pragmatik. Prestasi dan kreasi diukur dengan ruang bisnis. Ruang guru pun dibisniskan.
Akibatnya Belva Devara sang Stafsus mundur. Uang negara berantakan alias “ambrol-ambrolan”. Begitu juga dengan Stafsus Andi Taufan CEO PT Amartha yang mundur juga akibat “main-main” fasilitas.
Nadiem diangkat dengan melecehkan banyak gurubesar, ormas, serta para penggiat pendidikan. Dunia pendidikan dikelola dengan manajemen ojek. Angkut barang dan orang. Bukan orientasi pada “character building” masa depan yang panjang. Pilihan mitra pun menjadi salah. Pendekatan bisnis lagi.
Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendilbud adalah bukti batas kualitas Nadiem.
Dana Rp 600 miliar tidak teralokasi dengan baik. Disinyalir organisasi “abal-abal” dijadikan mitra. Nadiem memang tak mampu melihat dengan jernih dan strategis dalam menjalankan programnya. Ya akibat orientasi pendek itu.
Pilihan mencurigakan juga terindikasi dengan hibah POP dana Rp 20 milar kepada yayasan milik pengusaha besar Tanoto dan Sampoerna. DPR akhirnya turut mempertanyakan.
Bagi kedua yayasan tersebut nilai hibah itu tentu kecil saja, akan tetapi publik kecewa bagaimana bisa sekelas Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation diberi hibah oleh Nadiem. Uang rakyat lagi.
Sebagaimana prediksi, Nadiem akan menjadi model dari menteri yang gagal. Anak muda yang dikarbit di tempat yang salah. Desakan mundur bisa terdengar. Meskipun tentu Nadiem bukan satu-satunya menteri yang gagal. Hampir semua menteri gagal. Bukankah Presiden pernah marah-marah atas kinerja para menterinya?
Periode ini tim presiden memang buruk. Isu resuffle mulai berhembus meski tak jelas realisasinya. Tapi siapapun yang menggantikan menteri yang direshuffle sepanjang manajemen pengelolaan negara tidak profesional, hanya berorienrasi bisnis, proyek yang dijadikan bancakan, serta hukum yang dimain-mainkan, maka jangan harap ada perbaikan, apalagi perbaikan itu signifikan.
Fasenya adalah “decreasing” (menurun) dan “decaying” (membusuk).
Nah, kita teringat ucapan Marcus Tullius Cicero seorang orator, negarawan, filsuf, ahli politik dan hukum di Romawi: “Ikan busuk itu mulai dari kepalanya”. Ia berpidato berapi-api tentang korupsi yang merajalela, para pejabat yang merampas uang rakyat dan moralitas yang terpinggirkan.
Ketika ditanya apa yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi. Dengan lantang tanpa rasa takut Cicero berkata: “potong kepalanya!”. (*)
*Sumber Publish : Gelora.co