Oleh : Sumanto Al Qurtuby, (*)
Lapan6online.com : Jokowi sudah mengumumkan nama-nama anggota Kabinet Jilid 2. Saya perhatikan barisan kabinet kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, tantara dan polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi Nahdlatul Ulama (NU)” atau kalangan santri mau pun pesantren.
Ida Fauziyah (Menaker) dan Abdul Halim Iskandar (Menteri PDTT) dianggap sebagai “representasi” Cak Imin (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud MD sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”.
Yang menarik adalah posisi menteri agama yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal Fachrul Razi yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar “meme” di lingkungan NU: “dibutuhkan pembimbing agama untuk menteri agama”.
Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Lalu, mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”.
Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun.
NU-lah yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU jugalah yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang melakukan “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya.
Kenapa NU? Karena NU-lah yang memiliki massa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain tidak ada. Muhammadiyah sekali pun, karena mereka tidak bisa ndalil dan mbaca kitab kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja tidak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi.
Semoga NU tidak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meski pun sudah habis-habisan membela Jokowi. Meski pun sepertinya hanya dijadikan sebagai pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” (menggapai kekuasaan) dan “pion” (melawan “Islamis militan”) saja. Bahkan dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini.
Semoga NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. Saya tidak bisa membayangkan kalau kader-kader NU seperti para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia, (*)
*Penulis: Sumanto Al Qurtuby, Antropolog Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.