“Amnesty International Indonesia mencatat 181 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat Covid-19. Data tersebut diperkirakan akan terus bertambah dengan akan diselenggarakannya Pilkada serentak 2020,”
Oleh: Daimah
Jakarta | Lapan6Online : Nakes yang selama ini selalu berada di garda terdepan dalam melawan pandemi Covid-19 tumbang perlahan. Seperti yang dilansir katadata.co.id (6/9/2020) bahwa Amnesty International Indonesia mencatat 181 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat Covid-19. Data tersebut diperkirakan akan terus bertambah dengan akan diselenggarakannya Pilkada serentak 2020.
Ratusan dokter meninggal karena virus corona membuat penanganan pandemi dan pelayanan kesehatan di ujung nadir. Karena, untuk mencetak seorang dokter dibutuhkan waktu pendidikan bertahun-tahun, sehingga intervensi di bidang pendidikan kedokteran menjadi layak dipertimbangkan.
Ketua Satgas IDI untuk Covid-19 Zubairi Djoerban menyatakan dalam wawancaranya di laman tirto.id bahwa layanan kesehatan akibat kematian dokter menjadi semakin berat, apalagi jika ke depannya angka kasus wabah ini semakin naik.
Per 17 September 2020, dari 117 dokter yang meninggal, 46 di antaranya merupakan dokter spesialis. Itu artinya, hampir 200.000 penduduk berpotensi kehilangan layanan.
Melihat terus meningkatnya angka positif Covid-19, tentunya akan berdampak negatif bukan hanya pada kesehatan, tapi juga pada perekonomian. Dengan jumlah dokter yang berguguran, akan semakin berat beban para nakes dalam memberikan pelayanan kesehatan secara optimal.
Permasalahan kurangnya jumlah dokter dalam bidang pelayanan kesehatan, sesungguhnya tidak hanya muncul tatkala pandemi melanda. Sebelum pandemi pun, dunia memang telah kekurangan tenaga medis.
Kini, tingginya kematian nakes akibat pandemi menambah permasalahan yang ada. Bila pandemi terus berlangsung dan jumlah kematian nakes terus bertambah, permasalahan baru akan muncul. Kemampuan rumah sakit dan fasilitas kesehatan (faskes) memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien akan terganggu.
Sungguh apa yang terjadi saat ini cukup untuk mengoreksi total sistem kesehatan sekuler kapitalistik yang diterapkan. Sistem ini benar-benar jauh dari kata manusiawi. Semuanya diukur dengan takaran untung rugi. Hal ini memang niscaya, mengingat sistem ini tegak di atas paradigma yang rusak dan akidah sekularisme yang mendasari sistem hidup hari ini benar-benar mengagungkan nilai-nilai material dan kemanfaatan serta menafikan nilai kebaikan alias halal haram.
Cobalah tengok bagaimana Islam mengatur sistem kesehatan. Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur yakni: Pertama, peraturan, baik peraturan berupa syariat Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan yang lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan meliputi dokter, perawat dan tenaga medis lainnya.
Di samping itu, dukungan kebijakan kesehatan dalam sistem Islam diberikan demi terealisasinya sejumlah prinsip. Prinsip tersebut adalah pola baku sikap dan perilaku sehat, lingkungan yang sehat dan kondusif, pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau, serta yang terakhir adalah kontrol efektif terhadap patologi sosial.
Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Aspek promotif untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Semua hal tersebut niscaya akan terealisasi andai saja sistem Islam diberlakukan sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat serta generasi kekhilafahan selanjutnya. Sejarah pun telah mencatat kegemilangan Islam dan bagaimana sistem ini telah bertahan dan sanggup menghadapi tantangan permasalahan hidup manusia, salah satunya bila terjadi sebuah pandemi. Maka, masihkah kita mau bertahan dengan sistem yang ada? [****]
*Penulis Adalah Mahasiswi/Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok