OPINI
“Para pekerja migrant tentu mengetahui resiko terburuk bekerja di luar negeri dengan banyaknya kasus yang sudah ada. Namun, alasan ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di negeri sendiri memaksa mereka menempuh jalan yang sukar itu,”
Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd
MIRIS nian nasib tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri. Alih-alih mendapat penghidupan yang lebih baik, mereka malah meregang nyawa di tanah orang.
Dilansir laman BBC Indonesia (7/3), pada 2021 lalu terdapat lebih dari 100 jenazah pekerja migran Indonesia yang dipulangkan dari Malaysia ke kampung halaman mereka di NTT.
Dalam Sembilan tahun terakhir ada 704 pekerja migran yang juga dari NTT, pulang dalam keadaan tak bernyawa (data BP2MI). Ironinya sebagian besar dari mereka adalah korban perdagangan orang dan penyelundupan.
Hal ini justru berbanding terbalik dengan nasib Warga Negara Asing (WNA) yang menetap di Indonesia. Seperti pada sejumlah unggahan mendia sosial yang menunjukkan turis asing di Bali bekerja secara illegal dengan menawarkan jasa fotografi, latihan bersepeda motor, berselancar, cukur rambu, sampai jualan sayur.
Ajaibnya para turis ini mengaku bekerja di Bali tanpa visa artinya mereka bekerja secara illegal di negeri ini. Hal ini pun memicu keresahan masyarakat Bali terutama terkait dengan ceruk pendapatan mereka.
Di dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Negara wajib melindung pekerja migrant dari perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Lantas bagaimana dengan nasib para buruh migran korban human trafficking dan penyelundupan? Status pekerja illegal yang mereka sandang akan menjauhkan mereka dari pelindungan Negara. Meskipun sebenarnya tidak sedikit juga pekerja migran yang legal diperlakukan tidak manusiawi di negeri seberang. Pemerintah seharusnya melihat fenomena ini dengan kacamata kemanusiaan serta mengerahkan upaya yang serius dalam memperbaiki masalah ini.
Masih dipilihnya opsi bekerja ke luar negeri oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah cerminan nyata sedikitnya serapan tenaga kerja di negeri tercinta. Biaya ekonomi yang kian tinggi membuat sebagian orang memilih bekerja di luar negeri karena gaji dengan kurs mata uang yang lebih tinggi dari rupiah diharapkan mampu menopang ekonomi keluarga.
Bukan tanpa pertimbangan, para pekerja migrant tentu mengetahui resiko terburuk bekerja di luar negeri dengan banyaknya kasus yang sudah ada. Namun, alasan ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di negeri sendiri memaksa mereka menempuh jalan yang sukar itu.
Hal ini tentu tidak terlepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalis-liberal yang melahirkan problem-problem ekonomi pelik sehingga menimbulkan problematika yang berkepanjangan. Pasalnya pengelolaan ekonomi ala kapitalistik bertabiat rakus ini telah menguras seluruh Sumber Daya Alam yang ada namun dengan jalan lobi-lobi dengan para kapitalis raksasa asing.
Bahkan keran-keran investasi asing dimuluskan dengan liberalisasi undang-undang agar mereka mudah membuka usaha di negeri ini. Rendahnya kualitas SDM di Indonesia sering kali menjadi alasan pemerintah turut “mengimpor” pekerja dari asing. Akibatnya, pembangunan negeri tidak berdampak positif bagi penyerapan tenaga kerja asli pribumi. Maka wajar apabila Negara luar menjadi pilihan pekerja migran untuk bertahan hidup.
Sementara di dalam Islam sistem ekonomi yang diterapkan berbasis politik ekonomi Islam. Syari’at telah menetapkan skema kepemilikan yang dibagi atas kepemilikan individu, umum, dan Negara.
Pengelolaan harta kekayaan Negara juga dijalankan dengan arus pemasukan dan distribusi yang adil dan merata. Lapangan pekerjaan wajib menjadi tanggung jawab Negara, agar setiap kepala keluarga mampu memberi nafkah bagi tanggungannya.
Masyarakat di dalam Daulah tidak perlu mengambil opsi bekerja ke luar negeri, karena terserap dengan baik oleh Negara. Hubungan Negara daulah Negara lain tidak terjalin kecuali hubungan politik perang.
Inilah sedikit gambaran perbedaan mendasar antara negera di dalam sistem kapitalisme-demokrasi dengan sistem Islam. Sudah saatnya umat Islam sadar akan kerusakan sistem kapitalisme hari ini dan beralih kepada perjuangan menerapkan sistem daulah yang akan memuliakan nyawa, harta, dan harkat manusia. Wallahu’alam. (*)