Nasib Praperadilan Hasto Kristiyanto : Antara Putusan NO dan Hak Mengajukan Permohonan Baru

0
3
Dr. Chudry Sitompul, S.H., M.H/Foto : Ist.

OPINI | HUKUM

“Dalam konteks praperadilan, putusan NO bukan berarti menolak substansi permohonan, melainkan menyatakan bahwa permohonan tidak memenuhi syarat formil yang ditentukan oleh hukum,”

Oleh : Dr. Chudry Sitompul, S.H., M.H

PRAPERADILAN adalah mekanisme hukum yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta permintaan ganti rugi atau rehabilitasi bagi seseorang yang merasa haknya dirugikan dalam proses hukum.

Meskipun merupakan bagian dari hukum acara pidana, praperadilan memiliki karakteristik yang berbeda karena mengikuti logika hukum acara perdata dalam aspek proseduralnya.

Dalam kasus Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan yang mengajukan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), permohonannya dinyatakan niet ontvankelijk verklaard (NO) oleh hakim. Putusan NO ini menimbulkan perdebatan hukum, terutama terkait apakah Hasto masih memiliki hak untuk mengajukan praperadilan baru.

Praperadilan dan Putusan NO dalam Perspektif Hukum
Putusan niet ontvankelijk verklaard (NO) dalam hukum acara perdata berarti bahwa gugatan tidak dapat diterima karena terdapat cacat formil dalam permohonan. Dalam konteks praperadilan, putusan NO bukan berarti menolak substansi permohonan, melainkan menyatakan bahwa permohonan tidak memenuhi syarat formil yang ditentukan oleh hukum.

Dalam hukum acara perdata, jika hakim menyatakan gugatan NO, penggugat berhak mengajukan kembali gugatan dengan memperbaiki aspek formalitasnya. Prinsip ini juga berlaku dalam praperadilan, yang meskipun merupakan bagian dari hukum pidana, tetap tunduk pada aturan formalitas yang menyerupai hukum acara perdata. Dengan demikian, jika permohonan praperadilan Hasto dinyatakan NO karena cacat formil, maka ia tetap memiliki hak untuk mengajukan kembali permohonan praperadilan dengan memperbaiki aspek formalitas yang menjadi dasar putusan NO tersebut.

Dasar Hukum untuk Mengajukan Praperadilan Baru
Terdapat beberapa dasar hukum yang memperkuat argumentasi bahwa Hasto masih memiliki hak untuk mengajukan praperadilan baru:

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014
    MK telah memperluas cakupan praperadilan, termasuk dalam hal penetapan tersangka. Jika terdapat cacat formil dalam penetapan tersangka, maka hal tersebut dapat diuji melalui praperadilan. Jika permohonan awal dinyatakan NO karena alasan formalitas, maka pemohon tetap memiliki hak untuk mengajukan permohonan baru dengan perbaikan administrasi dan argumentasi yang lebih kuat.
  2. Asas Fair Trial dan Due Process of Law
    Prinsip fair trial mengharuskan setiap orang mendapatkan kesempatan yang adil untuk menguji keabsahan tindakan hukum yang diambil terhadapnya. Jika praperadilan pertama dinyatakan NO hanya karena aspek formil, maka demi keadilan, pemohon tidak boleh kehilangan haknya untuk mengajukan permohonan ulang dengan perbaikan.
  3. KUHAP dan Logika Hukum Acara Perdata
    Dalam hukum acara perdata, penggugat yang mengalami putusan NO dapat mengajukan kembali gugatannya setelah memperbaiki kekurangan formalitas. Karena praperadilan mengikuti logika hukum perdata dalam aspek proseduralnya, maka hal yang sama juga berlaku dalam konteks ini.

Strategi dalam Pengajuan Praperadilan Baru
Agar permohonan praperadilan berikutnya lebih kuat, beberapa aspek berikut harus diperhatikan:

  1. Perbaikan Formalitas Hukum
    Penyusunan permohonan praperadilan harus memenuhi seluruh ketentuan formil, termasuk kewenangan pengadilan yang menangani, subjek hukum yang mengajukan, serta argumentasi hukum yang disusun secara jelas dan sistematis.
  2. Penguatan Argumentasi Hukum
    Permohonan praperadilan harus dilengkapi dengan argumentasi hukum yang lebih rinci, terutama terkait dengan dugaan pelanggaran prosedural yang dilakukan KPK dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka. Jika ada indikasi bahwa penetapan tersangka tidak memenuhi unsur minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka hal ini harus menjadi fokus utama.
  3. Dukungan Bukti yang Memadai
    Setiap dalil hukum dalam permohonan harus didukung oleh bukti yang kuat, baik berupa dokumen resmi, putusan pengadilan sebelumnya, maupun pendapat ahli hukum yang relevan.

Putusan NO dalam perkara praperadilan Hasto Kristiyanto bukanlah akhir dari upaya hukum yang dapat ditempuh. Secara hukum, ia tetap memiliki hak untuk mengajukan permohonan baru dengan memperbaiki aspek formil yang menjadi dasar putusan NO sebelumnya. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum acara perdata yang memungkinkan gugatan diajukan kembali setelah perbaikan formil, serta sejalan dengan asas fair trial dalam sistem peradilan yang menjamin hak setiap individu untuk menguji keabsahan tindakan hukum yang diambil terhadapnya.

Dengan memperbaiki formalitas permohonan dan memperkuat argumentasi hukum, peluang untuk memperoleh keadilan melalui mekanisme praperadilan tetap terbuka. Ini menjadi ujian bagi sistem hukum Indonesia, apakah benar-benar menjunjung tinggi prinsip due process of law atau justru semakin menunjukkan ketimpangan dalam penegakan hukum. (**)

*Penulis Adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

*Sumber : teropongsenayan.com