Naskah-naskah tentang Jamu

0
80
Penjual jamu di sebuah pasar di Yogyakarta pada masa antara 1910-1930. (Wikipedia Commons).

Sumber-sumber tertulis yang memuat berbagai resep dan ramuan jamu. Khasiatnya diyakini hingga kini.

Oleh: Risa Herdahita Putri, Jurnalis Historia.id, (*)

Lapan6online.com | Jamu sempat diburu karena dianggap dapat menangkal virus corona (Covid-19). Banyak orang memang meyakini khasiat jamu dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Jejak pengobatan warisan leluhur ini dapat ditelusuri hingga masa prasejarah. Manusia purba sudah memanfaatkan tetumbuhan sebagai obat. Buktinya berupa alat batu pipisan untuk menghaluskan biji-bijian dan tanaman yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.

“Alat ini hampir pasti digunakan untuk perawatan kesehatan sehari-hari dengan ditemukannya sisa bubuk dan ekstrak tanaman padanya,” tulis Susan-Jane Beers dalam Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing.

Pemanfaatan tanaman sebagai obat kemudian ditemukan dalam naskah-naskah kuno masa Hindu-Buddha. Setelah budaya tulis makin kuat, paling tidak sejak abad ke-17, pemanfaatan jamu mulai ditulis dalam manuskrip-manuskrip dan menjadi tradisi turun-temurun.

Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan ilmu pengobatan kuno terekam di sejumlah pustaka. Terutama yang menggunakan unsur sebutan usadha. Misalnya, Usadha Jawa dan Usadha Bali.

Dwi menjelaskan istilah usadha atau kadang ditulis osadha dan husadha mengandung arti obat. “Hingga kini istilah usada, perubahan dari bentuk sebelumnya, masih lazim digunakan sebagai nama apotek, rumah sakit, atau tempat pengobatan lainnya,” kata Dwi.

Selain itu, ada juga manuskrip Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I dan Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II. Menurut Hesti Mulyani, dosen pendidikan bahasa Jawa Universitas Negeri Yogyakarta, naskah-naskah ini memuat uraian racikan jamu asli Jawa, khususnya bagi para bangsawan.

“Sejak zaman dulu, zaman kerajaan, gaya hidup sehat sangat diperhatikan dengan memanfaatkan tanaman obat atau herbal sebagai bahan perawatan kecantikan, kebugaran, dan pengobatan,” tulis Hesti dalam “Pengobatan Tradisional Jawa Terhadap Penyakit Bengkak dalam Manuskrip Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I dan Serat Primbon Racikan Jampi Jawi Jilid II Koleksi Surakarta”, yang terbit di Prosiding Seminar Nasional Meneguhkan Peran Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat dalam Memuliakan Martabat Manusia.

Serat Primbon Jampi Jawi ditulis sekira abad ke-18 pada masa Hamengkubuwono II. Di dalamnya tertulis berbagai macam herbal. Bagian tumbuhan yang berasal dari daun, rimpang, akar, dan kulit kayu dari berbagai jenis tanaman diolah secara tradisional untuk mempertahankan kecantikan dan kebugaran perempuan bangsawan.

Hesti menjelaskan, bagian rimpang misalnya. Di dalam manuskrip Serat Primbon Jampi Jawi disebutkan beberapa janis yang berkhasiat. Di antaranya rimpang jahe, kencur, kunyit, kunci, lempuyang, sunthi, temulawak, bengle, dan dringo.

Bagian umbi tanaman yang biasa digunakan sebagai bahan racikan jamu adalah bawang merah dan bawang putih. Sementara kulit kayu atau kulit batang berasal dari kayu manis, secang, mesoyi, rasuk angin, dan kelembak.

Bahan dari dedaunan adalah pupus anggur, asam jawa (kering), gondhangkasih, inggu prêman, jempinah, pupus kara, karandang, lampes, menirang, bawang cina, pegagan, seruni, saraband, saga (kering), walu, waru, dan trawas.

Jenis bunga, buah, dan biji yang berkhasiat antara lain bunga cengkih dan waru; buah asam, kemukus, labu putih, pala, isi sawo; dan biji adas, jinten, kedhawung, ketumber, dan mungsi.

Bahan pelengkap yang biasa dipakai adalah dupa cina, garam, inggu, tambakau, dan terasi merah. Cairan sebagai campuran bahan ramuan jamu yaitu air jeruk nipis, air jeruk purut, air panas, air tawar, air perasan daun iler, air susu ibu, dan cuka.

Sumber tertulis lainnya adalah Serat Centhini. Karya ini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta.

Dalam Serat Centhini, tumbuhan obat digunakan untuk menjaga kesehatan, mencegah penyakit, mengurangi sakit, penyembuhan, dan mempercantik diri. Menurut serat ini tanaman bahan jamu dapat digunakan untuk mengobati penyakit panas dingin, batuk, mata, bisul, susah kencing, susah kentut, dan masalah stamina pria.

Naskah ini memuat dengan lengkap cara pengobatannya. Dilengkapi dengan uraian jenis bahan tanaman dan cara memakainya. Ada yang cara pengobatannya dengan diminum setelah diambil sarinya, dikunyah, ditempelkan pada dahi (pilis), dioleskan pada perut (tapel), dioleskan pada badan (parem), untuk merendam bagian badan (rendhem), ditempelkan atau diteteskan pada bagian yang sakit, dan disemburkan ke bagian tubuh yang diobati (sembur).

Di luar cara-cara itu, menurut Murdijati Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, Serat Centhini juga menunjukkan bahwa masyarakat Jawa selalu melibatkan Tuhan dalam penyembuhan penyakit. Misalnya dalam membuat obat penyakit telinga yang tuli. Diperlukan bahan seperti tujuh butir merica, akar kelor, empedu ayam hitam, dan minyak wijen. Ramuannya lalu diteteskan pada lubang telinga yang tuli sambil membaca palak binas atau Surat Al-Falaq dan An-Naas tiga kali.

“Berbagai bahan tanaman jamu yang digunakan ada yang masih dapat kita jumpai pada masa sekarang, ada pula yang sudah sulit dijumpai atau bahkan belum pernah didengar namanya,” tulis Murdijati dalam Jamu Pusaka Penjaga Kesehatan Asli Indonesia.

Selain Serat Centhini, dalam Serat Kawruh terdapat 1.166 resep di antaranya 922 resep tentang ramuan bahan alam. Khususnya dalam bab Jampi-Jampi Jawi terdapat 244 resep berupa catatan rajah dan jimat. Isinya adalah gambar-gambar doa, rapal, dan mantra.

“Serat Kawruh disusun pada 1831 atas perintah Pakubuwono V. Isinya kumpulan ramuan obat asli Jawa,” kata Murdijati.

Ada juga buku tentang jamu karya Johanna Maria Carolina Versteegh (setelah menikah menjadi Jans Kloppenburg-Versteegh) yang ditulis pada 1907. Buku berjudul Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tanaman Asli Hindia dan Daya Penyembuhnya) itu berisi uraian singkat mengenai nama daerah asal tumbuhan, nama latin, morfologi, dan bagian dari tanaman yang bisa digunakan. Termuat pula resep pengobatan dan cara memelihara kesehatan yang dilakukan orang Jawa berdasarkan pengamatannya. Terdapat 1.467 petunjuk bagaimana mengatasi gangguan kesehatan menggunakan bahan ramuan jamu Jawa.

“Banyak pasien yang datang ke Kloppenburg-Versteegh, reputasinya sebagai penyembuh menyebar cepat. Publikasi penemuannya adalah suatu warisan berharga sebagai pedoman dalam dunia pengobatan herbal,” kata Murdijati.

Alternatif Mujarab

Agaknya pengobatan tradisional warisan leluhur ini dapat dipercaya khasiatnya. Pasalnya, ada hukuman bagi mereka yang asal-asalan mengobati orang sakit. Khususnya pada masa Majapahit, kegagalan dalam melakukan pengobatan diancam hukuman cukup berat.

Aturan itu tertuang dalam Kitab Undang-Undang Majapahit, Kutaramanawa atau Agama. Dari 275 pasal, ada pasal yang berisi sanksi bagi yang gagap mengobati hingga berujung kematian pada hewan atau manusia.

Apabila gagal mengobati hewan sehingga hewannya mati, maka didenda empat kali tiga atak. Satu atak setara 200 picis, satuan untuk menyebut mata uang tembaga Cina.

Jika yang diobati manusia dan malah mati, maka didenda selaksa atau satu laksa setara 10.000 picis. Apabila yang diobati seorang brahmana dan mati, maka ia diganjar hukuman mati oleh raja.

“Ini mengingatkan kita kepada apa yang sekarang disebut dengan malapraktik,” kata Dwi.

Namun, menurut Dwi, sebagai obat tradisional, khasiat jamu tidak serta merta menyembuhkan penyakit. Lebih sering jamu harus dikonsumsi teratur secara berangsur-angsur. Kendati hanya diposisikan sebagai obat alternatif, jamu tak pernah ditinggalkan oleh para penggunanya.

“Ketika merasa mentok oleh cara medis dan obat-obatan modern,” kata Dwi, “orang masa kini beralih ke pengobatan tradisional, yang boleh jadi lebih memiliki kemujaraban.”

Sumber Publish: Historia.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini