OPINI | POLITIK
“Para kandidat dan partai politik harus memberikan transparansi penuh terkait dana kampanye mereka dan menghindari praktek penyogokan atau penerimaan dana dari sumber yang tidak sah,”
Oleh : Agusto Sulistio
PERKEMBANGAN sidang kasus korupsi BTS menyeret sejumlah nama dari berbagai instansi pemerintah dan swasta. Selain mengungkap nama Menteri Kominfo dan beberapa jajarannya, belakangan dibongkar oleh saksi mahkota adanya keterlibatan oknum BPK.
Sungguh mengejutkan kesaksian Anang Achmad Latif (saksi mahkota) menyebut ada oknum yang meminta uang sejumlah Rp.112 M kepada pihaknya untuk menghentikan kasus BTS yang kini sedang ditangani Mahkamah Agung
Kabar tersebut telah dilansir media online beritamanado.com (28/9/2023) dengan judul “Kejagung disebut minta Rp.112 M untuk setop kasus BTS” dengan link https://beritamanado.com/kejagung-disebut-minta-rp112-m-untuk-setop-kasus-bts/
Saksi mahkota proyek BTS, Anang Achmad Latif yang diminta membayar USD 8 juta oleh Edward Hutahaen untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi BTS 4G di Mahkamah Agung, menunjukkan bukti betapa besarnya korupsi ini. Sekaligus sebagai contoh konkret bahwa praktek korupsi yang meresahkan dan mencoreng nama wibawa penyelenggara negara, khususnya lembaga hukum.
Edward Hutahaean, yang disebut memiliki pengaruh di Kejaksaan Agung, mengindikasikan kemungkinan keterlibatan oknum dalam lembaga penegak hukum. Selain itu ancaman Edward yang akan “meratakan” Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) jika tuntutan suapnya tidak terpenuhi, merupakan bentuk tekanan yang seringkali terjadi pada kasus korupsi.
Beberapa hal penting penyelesaian dari proses hukum ini maka diperlukan adanya jaminan keselamatan saksi dan keluarga, keseriusan pemerintah menyelesaikan kasus korupsi, serta menjadikan civil society sebagai kontrol pemerintah yang kuat.
Pemerintah lemah melindungi saksi korupsi.
Masalah perlindungan saksi masih menjadi tantangan pemerintah, meskipun ada undang-undang yang mengatur perlindungan saksi, namun implementasinya sering kali kurang memadai. Saksi-saksi korupsi sering kali merasa rentan terhadap ancaman, intimidasi, atau penyerangan fisik, ini menghambat mereka dalam memberikan kesaksian yang jujur dan mendetail.
Sebagai contohnya adalah kasus Bank Century, di mana saksi-saksi mahkota mengalami ancaman dan intimidasi, sehingga membuat beberapa saksi takut memberikan kesaksian yang lengkap dan akurat.
Kemudian pada pengungkapan kasus kematian Aktivis HAM Munir. Pemerintah gagal memberikan perlindungan kepada saksi dalam kasus ini.
Kematian Munir di tahun 2004 akibat keracunan saat dalam perjalanan penerbangan internasional. Awalnya, ada dugaan bahwa Munir diracun akibat pekerjaannya sebagai aktivis hak asasi manusia. Namun, dalam pengungkapan kasus ini, beberapa saksi yang memiliki informasi penting takut memberikan kesaksian karena mereka merasa tidak aman, khawatir keselamatannya dan keluarganya terancam jika mereka memberikan kesaksian yang jujur.
Beberapa saksi yang awalnya bersedia bersaksi kemudian menarik kesaksian mereka. Hal ini menghambat proses peradilan dan menghambat pengungkapan fakta sebenarnya di balik kematian Munir.
Kasus ini mencerminkan kegagalan sistem perlindungan saksi di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada Anang sebagai saksi mahkota mega korupsi BTS. Akibatnya pengungkapan dan proses hukumnya akan menjadi suram dan tidak menyentuh pada pelaku utana dan aktor intelektualnya.
Singapura sukses lindungi saksi korupsi.
Singapura tergolong sebagai negara yang berhasil menekan praktek korupsi dengan sistem tata kelola pemerintahan yang sangat efisien dan transparan, termasuk penerapan standar etika tinggi di sektor publik, serta pengawasan yang ketat terhadap perilaku para pejabat.
Sistem hukum yang kuat dan independen yang diberlakukan secara adil, sehingga Singapura mampu menciptakan kerentanan yang rendah terhadap intervensi politik atau pengaruh eksternal dalam proses peradilan.
Program pendidikan anti-korupsi yang kuat, konsisten dan kesadaran yang tinggi terhadap kerusakan yang dapat disebabkan oleh korupsi. Kegiatan kampanye anti-korupsi yang fokus dan luas yang diimbangi dengan pendidikan etika yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah untuk menciptakan pemahaman yang kuat tentang kerugian akibat korupsi.
Salah satu contoh konkrit dari keberhasilan Singapura dalam memberikan perlindungan kepada saksi sehingga mereka berani memberikan keterangan fakta yang sebenarnya adalah dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Singapura, Jenderal Lim Chuan Poh, pada tahun 2006. Kasus ini melibatkan penyuapan seorang perwira angkatan darat agar mempromosikan seorang kontraktor militer.
Dalam kasus ini, seorang saksi penting yang bernama Michael Fay memberikan keterangan yang sangat berharga. Dia adalah seorang perwira muda yang bekerja di proyek tersebut dan memiliki informasi kunci tentang penyuapan yang terjadi. Meskipun ia berisiko menjadi sasaran ancaman dan intimidasi, pemerintah Singapura memberikan perlindungan maksimal kepada saksi.
Michael Fay diberikan perlindungan keamanan fisik yang ketat, termasuk pengawalan oleh petugas keamanan selama proses pengadilan. Identitasnya dijaga kerahasiaannya untuk menghindari ancaman potensial dari pihak-pihak yang terlibat dalam tindak korupsi.
Pengadilan di Singapura memastikan bahwa proses hukum berjalan secara adil dan transparan, tanpa adanya intervensi atau tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Perlindungan yang diberikan kepada Michael Fay memberinya keberanian untuk memberikan keterangan yang akurat dan mendukung kasus tersebut. Hasilnya, keterangan dari Michael Fay menjadi kunci dalam pengungkapan kasus korupsi ini dan membantu mengadili pelaku korupsi dengan adil.
Hal ini menunjukkan bagaimana sistem perlindungan saksi yang efektif di Singapura dapat mendorong saksi untuk berani memberikan kesaksian yang sebenarnya dalam kasus korupsi, yang pada gilirannya meningkatkan integritas dan kepercayaan dalam sistem peradilan di Singapura.
Pilpres dan pengawasan kasus korupsi.
Pemilihan presiden (pilpres) 2024 adalah saat yang sangat penting bagi semua pemangku kepentingan, termasuk kandidat, tim sukses, politisi, aktivis, dan masyarakat sipil, untuk tetap fokus pada prinsip-prinsip integritas dan menjaga proses hukum kasus korupsi, khususnya kasus korupsi BTS agar berjalan secara adil dan transparan.
Para kandidat dan politisi harus berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan publik tentang pentingnya memerangi korupsi dan menjaga independensi sistem peradilan. Kandidat capres harus menjadi contoh dan mempromosikan budaya integritas. Bukan malah mencari aman dan dukungan dari rezim penguasa dan oligarki agar dapat memenangkan Pilpres.
Aktivis dan masyarakat sipil harus terus mengawasi perkembangan kasus korupsi yang sedang berlangsung dan mengingatkan pihak berwenang untuk menjalankan tugas mereka dengan integritas dan independensi.
Tetap terus mendukung dan memperkuat lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan memastikan independensinya adalah langkah penting. Masyarakat dapat memberikan dukungan untuk mempertahankan lembaga-lembaga ini.
Para kandidat dan partai politik harus memberikan transparansi penuh terkait dana kampanye mereka dan menghindari praktek penyogokan atau penerimaan dana dari sumber yang tidak sah, atau oligarki dan kekuatan pemodal yang dapat mengintervensi kebijakannya kelak jika terpilih menjadi presiden.
Melibatkan masyarakat dalam pendidikan tentang bahaya korupsi, peran mereka dalam mengawasi pemerintah, dan pentingnya melibatkan diri dalam proses politik adalah langkah penting untuk menciptakan budaya integritas.
Jika ada kelemahan dalam peraturan hukum yang memengaruhi penanganan kasus korupsi, para politisi dapat memperjuangkan perubahan hukum yang lebih baik untuk memerangi korupsi. Serta mempertegas bahwa dalam sistem hukum yang baik, semua individu, termasuk para pejabat pemerintah, harus tunduk pada supremasi hukum dan tidak ada yang dikecualikan dari pertanggungjawaban. Jakarta, Kalibata, 2 Oktober 2023. (*)
*Penulis Adalah Pegiat Sosmed, Mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR Semarang.