“Ada kekeliruan dari sebagian kalangan yang menganggap bahwa hidup di Barat berarti telah mengecap surga dunia. Kemewahan, fasilitas dengan teknologi terkini dan orang-orang yang terdidik dengan baik. Konon pula jika mampu berkarir di lembaga bonafit seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, lengkaplah sudah,”
Oleh: Aisyah, S.H:
Lapan6Online : Setidaknya sepertiga pegawai perempuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaku pernah mengalami pelecehan seksual ketika bekerja di sana dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut terungkap dalam hasil survei pelanggaran pertama yang dilakukan PBB, pada Selasa (15/1, cnnindonesia).
Sebanyak satu dari tiga responden atau 33 persen dari hasil survei mengaku setidaknya pernah mengalami satu kasus pelecehan seksual dalam dua tahun terakhir. Di luar tenggat waktu dua tahun, angka responden yang mengaku mengalami bentuk pelecehan seksual selama mereka bekerja di PBB naik menjadi 38,7 persen.
Jenis pelecehan yang paling umum adalah lelucon atau cerita cabul yang menyinggung serta ucapan ofensif tentang penampilan, tubuh atau aktivitas seksual. Menurut survei, dua dari tiga pelaku pelecehan adalah laki-laki, di mana satu dari empat pelaku pelecehan adalah manajer, dan satu dari 10 pelaku dengan jabatan pemimpin senior. Kendati demikian survei ini memiliki tingkat responden yang cukup rendah, yakni 17 persen, dengan 30.364 responden menjawab dengan identitas yang dirahasiakan secara daring.
Menanggapi survei ini, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan bukti statistik dalam penelitian ini menjadi acuan tentang apa yang perlu diubah untuk memperbaiki kinerja PBB. Guterres juga menambahkan hasil survei tentang pelecehan seksual di PBB sebenarnya masih sebanding dengan organisasi lain. Namun, Guterres menyatakan PBB harus menetapkan standar yang tinggi. Ia berjanji akan menegakkan kebijakan tanpa toleransi untuk pelecehan seksual.
Pada Februari 2018 lalu, PBB menyediakan layanan bantuan 24 jam bagi karyawati untuk melaporkan pelecehan seksual. Melalui layanan ini, PBB menugaskan penyidik untuk menuntaskan setiap keluhan. Bulan lalu, kepala badan UNAIDS, Michael Sidibe, mengundurkan diri setelah dituding tak tegas menyelesaikan sejumlah kasus pelecehan di badan PBB, termasuk pelecehan seksual.
Ada kekeliruan dari sebagian kalangan yang menganggap bahwa hidup di Barat berarti telah mengecap surga dunia. Kemewahan, fasilitas dengan teknologi terkini dan orang-orang yang terdidik dengan baik. Konon pula jika mampu berkarir di lembaga bonafit seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, lengkaplah sudah. Namun ternyata faktanya tak semanis itu, pelecehan dengan berbagai bentuk menjadi horor yang membayangi hari-hari para pegawai perempuan di Perserikatan Bangsa Bangsa.
Fenomena ini tidak hanya menimpa mereka, hampir seluruh perempuan di berbagai belahan dunia mengalami hal yang sama. Pelecehan seksual menjadi satu kejahatan terburuk dan paling keji di dunia. Berturut-turut peringkat tertinggi pelecehan seksual ditempati oleh Afrika Selatan, Botswana, Lesotho, Swedia, Nikaragua dan Grenada.
Menariknya, satu dari enam negara tersebut justru adalah salah satu negara maju di Eropa, yaitu Swedia. Swedia adalah negara dengan liberalisasi perempuan sebagai agenda utama dalam pembangunan sosialnya. Ironisnya, negara ini memiliki sekitar 64 kasus kekerasan seksual per 100.000 penduduk. Satu dari tiga wanita Swedia mendapat perilaku pelecehan seksual saat masih remaja. Ini membuktikan bahwa feminisme dengan segala derivat dan program turunannya telah gagal menghentikan musibah sosial yang menimpa perempuan Swedia dan mengembalikan kemuliaan mereka.
Permasalahan ini bukanlah sengkerut yang tak bisa diurai. Siapapun yang mau jujur akan melihat bahwa musibah ini berangkat dari kerusakan relasi antara laki-laki dan perempuan di Barat. Barat dengan asas sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah menempatkan pola relasi yang khas pada laki-laki dan perempuan. Telah menjadi pemahaman umum bahwa pola interaksi antar gender ini berlangsung tanpa batas atau dengan kata lain pergaulan bebas. Idiologi Kapitalisme yang mereka anut memang menempatkan pola interaksi yang berorientasi pada seksual. Pola ini mengantarkan masyarakatnya pada berbagai upaya untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Maka menjadi lumrah ketika musibah sosial berupa pelecehan seksual mewabah hingga menimpa para pegawai perempuan bahkan di Perserikatan Bangsa-bangsa. Kapitalisme telah menjadikan cara pandang dengan orientasi seksual dimana-mana. Alih-alih dipangkas dan diminimalisir dengan berbagai program yang diluncurkan khususnya melalui pengarusutamaan gender, masalah tak selesai bahkan korban semakin banyak.
Disamping itu, kapitalisme juga memandang Keberadaan perempuan sebagai mesin penghasil uang. Negara telah memaksa para perempuan untuk melepas fitrahnya sebagai ibu dan pencetak generasi dengan propaganda menyesatkan feminisme dan kesetaraan gender. Maka perempuanpun membanjiri ranah publik, mengejar karir lalu tersungkur dalan dilema tak bertepi ketika karir dihadapkan dengan profesi sebagai ibu dan istri.
Diranah publik laki-laki dan perempuan memastikan bahwa penampilan fisik sebagai salah satu aspek penting yang senantiasa ditonjolkan, dianya menjadi penentu kesuksesan. Wanita berakaian seksi pun tumpah ruah, memaksa setiap mata untuk menatap, didukung pola relasi yang longgar, pelecehan seksualpun menjadi sebuah keniscayaan.
Islam adalah agama yang sempurna, temasuk di dalamnya terdapat separangkat hukum Allah terkait pengaturan relasi antara laki-laki dan perempuan. Islam yang mulia mampu menutup celah bahkan yang kecil sekalipun bagi berkembangnya kerusakan. Islam dengan rangkaian sistem sanksi bahkan mampu memutus rantai kerusakan itu sendiri. Model pergaulan Islam inilah yang layak diterapkan untuk mengembalikan kemuliaan dan ketenangan hidup.
Islam memandang bahwa hubungan laki-laki dan perempuan berorientasi pada ketakwaan kepada Allah, maknanya bahwa relasi dijalankan untuk mentaati Allah tanpa menafikan hubungan seksual diantara keduanya. Namun, pemenuhan kebutuhan seksual dipenuhi dengan sejumlah syarat, yaitu hanya dibolehkan bagi suami istri saja. Disamping itu Islam melarang keras upaya mendekati zina. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan, melarang pergaulan bebas, memerintahkan kepada mereka menutup aurat, melarang khalwat dan ikhtilat.
Jika ini dilanggar, telah ada seperangkat sanksi keras baik di dunia maupun diakhirat. Sanksi ini dibedakan penerapannya bagi yang sudah menikah dan yang belum menikah. Ancaman jilid 100 kali bagi yang belum menikah dan dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah tentu menciutkan nyali siapapun. Demikianlah konsep Islam telah terbukti mampu memberikan perlindungan mumpuni bagi terjaganya kemuliaan dan kehormatan manusia. [GF]
*Penulis adalah seorang PNS di Langsa, Aceh