Ngeri-ngeri Sedap, RUU PDP Ada Potensi Kriminalisasi & Ancaman Menghambat Kerja-Kerja Profesi Jurnalis

0
30
Ilustrasi/Net

HUKUM | POLITIK | NUSANTARA

“LBH Pers, AJI Indonesia, dan ICW mendorong agar pemerintah dan DPR mengeluarkan Pasal 4 ayat (2) huruf d, Pasal 15 ayat (1), Pasal 64 ayat (4), Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP yang dianggap bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik yang dijamin Pasal 28 F UUD 1945 dan UU Pers”

Lapan6Online | Jakarta : Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah disahkan menjadi UU, momentum tata kelola pelindungan data pribadi menjadi lebih baik.

Namun, dampaknya perlu dilihat dalam penerapan UU PDP nantinya. Seperti ada potensi kriminalisasi warga negara dan ancaman menghambat kerja-kerja profesi jurnalis saat menjalankan tugas jurnalistiknya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan mendalami materi UU PDP terdapat pertanyaan soal sejauh mana beleid tersebut melindungi data pribadi pejabat atau tokoh publik. Menjadi menarik, sebab dalam banyak kesempatan rekam jejak pejabat publik penting diketahui masyarakat secara luas. Seperti informasi tokoh publik yang sedang mengikuti kontestasi politik pemilu legislatif.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana/Foto : Net

“Pertanyaan sederhananya, bagaimana jika ia pernah pernah mempunyai catatan buruk di masa lalunya? Apakah hal itu melanggar hukum ketika disampaikan secara gamblang kepada masyarakat? Menjadi keliru bila tindakan tersebut berujung kriminialisasi,” ujar Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, pada Selasa (20/9/2022).

Padahal, Pasal 240 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan mantan terpidana agar mendeklarasikan rekam jejak status hukumnya. Menurutnya, UU PDP malah menghalangi publik mengetahui informasi yang patut diketahui masyarakat. Hal tersebut malah bertentangan dengan konstitusi.

Pasal 28 F UUD Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Tak hanya terkait pemilu legislatif, potensi ancaman kriminalisasi masyarakat dalam proses seleksi pimpinan penegak hukum, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menjadi soal bila maraknya calon-calon bermasalah melenggang maju dalam proses pemilihan, tapi masyarakat dipaksa untuk mendiamkan jika mengetahui rekam jejak buruknya.

“Maka dari itu, larangan itu jelas merupakan pembiaran dan ahistoris dengan permasalahan saat ini. Ditambah lagi, konsep semacam itu terang benderang melanggar partisipasi masyarakat sebagaimana diatur Pasal 41 ayat (1) dan (2) huruf b UU Pemberantasan Tipikor,” kata Kurnia Ramadhana.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin mengatakan dalam Pasal 65 ayat (1) UU PDP menyebutkan, “Setiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi. Sedangkan ayat (2)menyebutkan, “Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya”.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade WahyudinFoto : Net

“Bagi masyarakat yang melanggar, ancaman pidana menanti,” kata Ade.

Sementara Pasal 64 ayat (4) UU PDP menyebutkan, “Dalam hal diperlukan untuk melindungi Data Pribadi, proses persidangan dilakukan secara tertutup”. Padahal, dalam Pasal 4 ayat (2) UU PDP menyatakan data pribadi yang dilindungi antara lain berupa catatan kejahatan. Anehnya, kata Ade, Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP mengatur sanksi pidana secara umum tidak memberikan batasan yang pasti serta pengertian setiap unsur secara rinci.

Akibatnya berpotensi pasal tersebut rentan disalahgunakan. Ironisnya, Pasal 4 ayat (2) huruf d dan Pasal 64 ayat (4) UU PDP berpotensi mengancam kerja-kerja jurnalistik dalam meliput suatu sengketa pelanggaran data pribadi di pengadilan.

“Serta dalam melakukan peliputan mengenai catatan kejahatan seseorang terlebih pejabat publik,” ujarnya.

Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 1 angka 1 menyebutkan, “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.

Tapi dengan adanya Pasal 64 ayat (4), 65 ayat (2) dan 67 ayat (2) UU PDP, pekerja pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya bakal mudah dibatasi dan berpotensi dikriminalisasi. Selain itu, penyusunan UU PDP terbukti tidak mempertimbangkan aturan lain yang semestinya disinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan. “Ini juga bukti konktrit pembahasan RUU PDP terlalu terburu-buru,” kritiknya.

Ketua Bidang Data dan Informasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana berharap pers dalam melaksanakan kerja-kerja jurnalistiknya harus sedapat mungkin dikecualikan dalam pengaturan mengenai data pribadi tersebut.

Ketua Bidang Data dan Informasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu WardhanaFoto : Net

Tentunya, dalam rangka menjamin keterbukaan informasi publik serta kemerdekaan pers. Kendati ada pengecualian dalam hak-hak subjek data sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU PDP, tapi tanpa mempertimbangkan kepentingan hak informasi bagi publik.

Pasal 15 ayat (1) UU PDP menyebutkan, “Hak-hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk: a. kepentingan pertahanan dan keamanan nasional; b. kepentingan proses penegakan hukum; c. kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara; d. kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara; atau e. kepentingan statistik dan penelitian ilmiah”.

Malahan aturan itu tidak mengecualikan bagi pekerja pers yang melaksanakan kerja jurnalistiknya Hal ini justru menimbulkan adanya diskriminasi hukum. Padahal, kerja-kerja jurnalistik demi kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara. tapi tidak dikecualikan dalam Pasal 15 ayat (1). Selain itu, pengertian pada frasa “kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara” terlalu luas.

Dengan demikian, penyelenggara negara mesti dapat menafsirkannya begitu luas pula. Di sisi lain, kepentingan umum bagi publik serta kegiatan jurnalistik justru terabaikan. Bahkan tidak diakomodir dalam pengecualian tersebut. Alhasil, kepentingan umum yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf C tidak jelas pengertiannya dan sangat diskriminatif pengaturannya.

“Sebab, terlalu mengakomodir kepentingan penyelenggaraan negara tanpa memikirkan kepentingan masyarakat secara umum dan khususnya untuk kerja-kerja jurnalistik,” tegasnya.

Atas dasar itu, LBH Pers, AJI Indonesia, dan ICW memiliki sikap yang sama mendorong agar pemerintah dan DPR mengeluarkan Pasal 4 ayat (2) huruf d, Pasal 15 ayat (1), Pasal 64 ayat (4), Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP karena bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik yang dijamin Pasal 28 F UUD 1945 dan UU Pers. (*bbs/red)