OPINI | EKONOMI
“Kondisi ini menyebabkan pendapatan perusahaan menurun karena arus kasnya terhambat. Inilah penyebab banyak perusahaan terpaksa gulung tikar,”
Oleh : Novita Darmawan Dewi,
SEKRETARIS Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menyebut ada 30 ribuan pekerja tekstil yang dirumahkan karena industri tekstil merasakan dampak resesi di tingkat global. Angka tersebut hanya merupakan data yang terangkum sebagai anggota API.
Kata dia angka itu, belum termasuk dari perusahaan yang bukan anggota API ataupun sekadar tidak memutakhirkan datanya pada asosiasi.
“Saya garis bawahi ya bukan PHK, itu di tekstil dihindari. Tapi dirumahkan, misal begini. Dari kapasitas 100 ton menjadi 50 persennya kan berarti ada mesin yang mati kan. Itu ada operatornya, ada karyawannya. Nah karyawan itu yang dirumahkan sampai menunggu ada order selanjutnya yang bisa dikerjakan. Sehingga mereka bisa dipanggil kembali kerja di pabrik. Nah kalau angka pastinya itu dari anggota kita saja yang sudah tersurvei, itu anggota API maksud saya, itu ada 30 ribuan,” ujar Rizal seperti dikutip KBR (08/11/22).
Kapitalisme Pangkal PHK
Jika banyak perusahaan melakukan PHK, jumlah pengangguran akan makin meningkat. Artinya, jumlah kepala keluarga yang tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya akan makin banyak. Hal ini akan mengancam tatanan sosial di masyarakat sebab tingkat kemiskinan yang tinggi dapat menimbulkan kriminalitas yang tinggi pula.
Bagi perusahaan, PHK pun bagai mimpi buruk karena dapat menurunkan daya beli masyarakat. Kondisi ini menyebabkan pendapatan perusahaan menurun karena arus kasnya terhambat. Inilah penyebab banyak perusahaan terpaksa gulung tikar.
PHK juga berdampak bagi negara. Pemerintah membutuhkan anggaran untuk berbagai masalah yang muncul akibat tingginya pengangguran. Di sisi lain, penerimaan negara (pajak) akan menurun karena objek pajaknya mengalami penurunan kinerja.
Penyebab PHK massal sesungguhnya adalah sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan dunia. Sistem ini telah nyata melemahkan posisi pekerja sekadar sebagai bagian dari faktor produksi. PHK menjadi salah satu bentuk efisiensi bagi perusahaan demi menekan biaya produksi.
Mereka tidak peduli meski harus mengabaikan nasib pekerja dan menutup mata atas kesengsaraan mereka. Makin miris tatkala kita melihat regulasi yang terus “diperbaiki” malah makin memudahkan perusahaan untuk melakukan PHK. Lihat saja UU Omnibus Law Cipta Kerja, sudahlah beleid tersebut menyebabkan PHK makin mudah, upah pun makin murah.
Lebih jauh lagi, sistem ekonomi kapitalisme pada dasarnya tidak memiliki sistem jaminan sosial. Padahal, pekerja membutuhkan sistem kerja yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi mereka. Namun, semua itu tidak dikenal dalam sistem kapitalisme.
Negara-negara Skandinavia, seperti Finlandia, Denmark, Swedia, dan Norwegia, yang memiliki jaminan sosial, pada kenyataannya pemerintahan mereka menarif pajak atas rakyatnya rata-rata lebih dari 50%.
Sistem Ekonomi Islam Solusinya
Sepanjang sejarahnya, hanya Islam yang mampu memimpin dunia tanpa ada krisis keuangan yang berkepanjangan. Ini karena Islam bertumpu pada sektor riil. Sistem moneternya menggunakan sistem mata uang emas sehingga stabil dan jarang krisis.
Akan tetapi setelah sistem moneter internasional diganti dengan sistem pertukaran emas parsial (Bretton Woods) dan pada 1971 ditetapkan mata uang kertas biasa, dunia menjadi sangat rentan dengan resesi.
Ada beberapa musabab sistem mata uang emas bisa menghasilkan ekonomi yang stabil. Pertama, sistem ini stabil karena nilai intrinsik dan nominal yang sama pada mata uang akan menyebabkan tidak adanya manipulasi. Pemerintah tidak akan mencetak uang seenaknya, juga menghilangkan potensi terjadinya inflasi.
Kedua, sistem uang emas memiliki kurs yang stabil antarnegara sehingga dapat mengurangi permasalahan perdagangan internasional. Importir tidak akan khawatir jika barangnya akan lebih mahal karena mata uang negaranya melemah, begitu pun bagi eksportir. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, sistem emas akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki setiap negara. Emas dan perak tidak akan lari dari satu negara ke negara lainnya dan tidak akan berpindah, kecuali menjadi harga bagi barang yang diperbolehkan syariat.
Tiga poin ini setidaknya dapat menggambarkan kepada kita betapa stabilnya sistem mata uang emas dan perak.
Dalam konteks islam, ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan, yakni menghentikan percetakan mata uang kertas, memberlakukan kembali mata uang emas dan perak, menghilangkan berbagai kendala pajak atau cukai terkait emas, serta menghilangkan syarat yang membatasi impor ekspor emas, dll. Inilah yang akan mengantarkan pada stabilitas perekonomian. Wallahu a’alam. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Terbuka Bandung