“Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan menyampaikan pernyataan bahwa angka kematian hampir 500 jiwa ini masih tergolong sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 260 juta lebih. Pernyataan ini mengundang kritik pedas dari kalangan public,”
Oleh: Retnaning Putri, S.S.
Jakarta | Lapan6Online | Di tengah pandemi Covid-19, kondisi rakyat begitu memprihatinkan. Banyak orang kehilangan pekerjaan hingga meregang nyawa untuk memperjuangkan hidup. Hari demi hari, nyawa pun meregang satu per satu, kurva korban meninggal akibat pandemi ini semakin bertambah.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia bertambah 325 orang. Sehingga, total kasus positif di Indonesia menjadi 6.248 kasus. Jumlah kasus sembuh bertambah 24 kasus. Sehingga total pasien yang sembuh di seluruh provinsi Indonesia sebanyak 631 orang. Sedangkan jumlah kasus meninggal dari kasus ini bertambah 15 orang. Sehingga, total jumlah kasus meninggal akibat positif Covid-19 menjadi 535 orang. (Merdeka.com, 18/04/2020)
Masih terngiang beberapa hari yang lalu, saat Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan menyampaikan pernyataan bahwa angka kematian hampir 500 jiwa ini masih tergolong sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 260 juta lebih. Pernyataan ini mengundang kritik pedas dari kalangan publik. Sungguh, amat disayangkan pernyataan tersebut keluar dari jajaran penguasa tanpa sedikit pun menaruh rasa empati kepada segenap rakyat Indonesia yang berjuang hidup di tengah pandemi.
“Buat saya juga jadi tanda tanya sih, kenapa jumlah meninggal sampai hari ini. Maaf sekali lagi, itu kita angkanya enggak sampai 500 (meninggal). Padahal penduduk kita ini kan 270 juta, infected 4.000-an lebih katakan kali sepuluh 50.000,” kata Luhut saat konferensi pers secara virtual. (Kumparan.com, 16/4/2020)
Memang lidah tak bertulang, begitu mudahnya lisan penguasa hari ini fasih memainkan kata-kata. Tak sedikit yang melontarkan kalimat demi kalimat segampang yang mereka mau, tanpa disortir terlebih dahulu. Pernyataan Menteri Kemaritiman dan Investasi jelas telah melukai hati rakyat. Seberapa pun jumlah meninggal karena wabah pandemi ini, hakikatnya itu tetap nyawa manusia.
Sementara peran penguasa harusnya melindungi nyawa rakyatnya. Fakta yang terjadi justru rakyat berjuang sendiri untuk mencukupi kebutuhan pokok hidupnya di tengah kondisi wabah ini. Rakyat dibiarkan lalu lalang tanpa edukasi, sementara kebijakan lockdown masih setengah hati. Lantas tidak cukupkah 500 nyawa meregang karena pandemi?Di mana peran penguasa? Seharusnya penguasa mulai evaluasi dan menata negeri.
Wajar saja kenapa penguasa di bumi pertiwi saat ini tidak serius mengurusi rakyatnya. Sebab mereka menjadi pemimpin bukan untuk menjaga dan melindungi rakyatnya, tapi melindungi tuan-tuan mereka (para kapital) yang lebih menguntungkan bagi mereka. Maka tak heran jika hukum demokrasi masih tetap dijalankan untuk memuluskan kepentingan mereka. Sungguh, hal ini jauh sekali dari pandangan Islam.
Dalam Islam, pemimpin adalah perisai (junnah). Tugas pemimpin adalah melindungi umat dari segala bahaya yang menimpa harta, jiwa, kehormatan, akal dan agamanya. Sungguh, penjagaan pemimpin dalam Islam terhadap nyawa rakyat sangat luar biasa. Jangankan nyawa manusia, nyawa hewan pun dikhawatirkan.
Pernah dikisahkan sahabat Umar bin Khattab tatkala beliau begitu khawatir ada seekor unta yang terperosok karena jalan yang rusak. Tentu, gambaran pemimpin seperti ini tidak akan pernah dijumpai sepanjang sistem demokrasi diterapkan.
Oleh karena itu, di tengah pandemi saat ini, kita merindukan sosok pemimpin yang tak asal bicara saja. Akan tetapi, pemimpin yang mau menjalankan aturan Allah secara kaffah dan bersedia sepenuh hati untuk menjaga harta, jiwa, kehormatan rakyatnya. ****