Jakarta | Lapan6online.com | Pemerintah membuat Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebagai upaya meningkatkan investasi. Namun, Ekonom Senior Faisal Basri justru berpendapat rancangan beleid itu hanya memberi keuntungan bagi taipan batu bara.
Apalagi, menurut Faisal, petinggi negeri ini banyak yang memiliki konsesi atau dekat dengan pengusaha batu bara. Hal itu terlihat dari peningkatan produksi dan ekspor batu bara setiap tahun pemilu.
Pada pemilu tahun lalu, produksi batu bara mencapai 615 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Sedangkan nilai ekspornya mencapai US$ 19 miliar.
“Tahun pemilu selalu produksi dan eskpornya naik. Lalu karpet merah digelar lagi dengan diangkatnya revisi UU minerba,” kata Faisal pada Rabu (14/04/2020), dikutip dari Katadata.
Tak sampai di situ, pemerintah juga menerbitkan Omnibus Law untuk memberikan solusi perpanjangan kontrak pertambangan. Apalagi dalam rancangan aturan tersebut, perusahaan yang masa kontraknya habis tidak perlu melalui mekanisme lelang.
Dalam aturan Omnibus Law disebutkan kontrak karya maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan menjadi Perizinan Berusaha Pertambangan Khusus (PBPK) tak perlu melalui mekanisme lelang.
Padahal dalam aturan sebelumnya disebutkan PKP2B yang habis kontrak harus menjadi IUPK. Selain itu, wilayah tambang PKP2B bisa dimiliki oleh BUMN dan atau BUMN dengan cara lelang atau prioritas. Selain itu, Faisal menyebut enam PKP2B generasi pertama masa kontraknya akan berakhir pada tahun ini dan tahun depan.
“Nanti di pasal RUU itu ada pengajuan perpanjangan diubah dua tahun jadi lima tahun. Jadi 2020 bisa diurus perpanjangan. Ini luar biasa sistemik, masif,” ujarnya.
Adapun enam PKP2B itu terdiri dari PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal. Faisal menyebut enam PKP2B tersebut telah menguasai 70 persen produksi nasional batu bara.
Menurut Faisal, hal itu terjadi karena adanya keterlibatan seorang menteri kordinator yang mempunyai perusahaan baru bara. Ditambah keponakan sang menteri juga menjadi ketua asosiasi batu bara yang cukup besar di Indonesia.
“Kebijakannya lobi ESDM harga DMO US$ 70 per metrik ton sebatas enam perusahaan waktu Jonan. Saya tidak tahu menteri sekarang seberapa berada di ketiak perusahaan-perusahaan,” ungkapnya.
Faisal juga menilai pengusaha batu bara mempunyai pengaruh yang cukup besar dan kuat dalam menentukan pejebat tinggi di negeri ini. Bahkan, para taipan tersebut dapat menentukan Presiden, Gubernur, hingga Walikota.
“Demokrasi jalan tapi pengendalinya antara lain kaum taipan batu bara. Itu memperkokoh terjadinya korporatokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (Katadata/Kiblat.net)