Oleh: M. Fariz, (*)
Lapan6online.com | Saat ini, penjajah atau biasa disebut kolonialis telah mengubah metode penjajahan dari semula menggunakan kekuatan militer menjadi non militer, yang meliputi berbagai aspek mulai ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hingga pertahananan keamanan. Penjajahan melalui pendekatan ekonomi merupakan metode yang paling banyak dilakukan oleh negara besar dalam mengintervensi negara lain.
Tentu, tujuannya adalah penanaman pengaruh hingga penguasaan sumber daya di negara sasaran. Jika dahulunya metode ini hanya dilakukan oleh dua negara super power yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Sovyet semasa Perang Dingin (cold war), saat ini muncul kekuatan baru yang menantang keseimbangan global (the balance of power), seperti China, Rusia, Iran, hingga Turki.
Jika mengamati manuver negara asing dalam melakukan upaya intervensi ke suatu negara, terlihat bahwa bidang ekonomi paling banyak menjadi pintu masuk (entry point). Di antaranya dapat kita lihat melalui bantuan asing yang kerap dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi atau bahkan merubah kebijakan seorang kepala negara.
Melalui bantuan ekonomi, negara donor yang notabene adalah negara maju seolah ingin membantu negara berkembang dengan berbagai dalih, namun sejatinya mereka memiliki misi terselubung. Mereka menjerat negara peminjam dengan suku bunga pinjaman yang tinggi dan cenderung naik setiap tahunnya, sehingga pada akhirnya negara bersangkutan kesulitan melunasi utang dan sebagai bayarannya kedaulatan negara tersebut jadi taruhan.
Sumber daya alam dikuasai, kekuatan politik dikendalikan, bahkan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat dapat berubah secara drastis digantikan dengan budaya negara asing.
Jebakan Utang China
Sebut saja, Zimbabwe yang gagal membayar utang ke China sebesar 40 juta dollar AS hingga akhirnya harus mengganti mata uangnya menjadi Yuan sejak 2016. Ada juga Nigeria yang terjebak model pinjaman jangka panjang yang merugikan. Negara Tirai Bambu mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria. Akibatnya, tentu akan dirasakan rakyat Nigeria, serbuan TKA asal China masuk ke negara tersebut.
Nasib serupa juga dialami Sri Lanka yang membangun infrastruktur melalui utang luar negeri dari China, Sri Lanka sampai harus melepas 70 % sham Pelabuhan Hambatota senilai Rp1,1 triliun untuk dijual kepada BUMN China.
China merupakan salah satu negara yang cukup sukses memainkan diplomasi utang (debt diplomacy) ke sejumlah negara berkembang. Tercatat sejak tahun 2015, ada 50 negara berkembang yang terus menambah utang dari China. Bahkan, dilansir dari laporan CNBC, kucuran utang dari China ke berbagai negara membengkak menjadi lebih dari USD 5 triliun atau Rp 69 ribu triliun (USD 1 = Rp 13.921) selama periode 2000 dan 2017.
Sejumlah pengamat menyatakan bahwa China menjalankan praktik diplomasi jebakan melalui bantuan utang luar negeri untuk membiayai pembangunan infrastruktur di sejumlah negara berkembang, umumnya dilakukan secara langsung kepada BUMN China seperti China Development Bank dan Export-Import Bank of China.
Indonesia menghadapi permasalahan yang tidak jauh berbeda khususnya masalah utang internasional. Dengan kebijakan pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, besaran utang luar negeri Indonesia menjadi sorotan. Artinya, manuver asing melalui utang luar negeri patut diwaspadai sebagai ancaman yang dapat menjebak sewaktu-waktu, apabila ekonomi kita tidak cukup kuat.
Bentuk manuver ekonomi negara asing lainnya dapat melalui investasi yang membutuhkan modal besar seperti pada sektor minyak dan gas bumi. Contoh diantaranya proyek Kilang Minyak atau New Grass Root Refinery (NGRR) di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang merupakan kerjasama antara PT. Pertamina Persero dengan Rosneft, perusahaan migas asal Rusia. Proyek tersebut masuk ke dalam salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), yang menjadi prioritas pemerintah untuk dibangun. Saat ini proses pembebasan lahan proyek tersebut masih ditolak oleh sebagian warga.
Selain itu, pada sektor pariwisata, manuver ekonomi asing dapat terlihat dari penyewaan Pulau Tabuhan di Kabupaten Banyuwangi kepada pihak asing, Paragon Group Singapore. Masyarakat setempat menolak kebijakan Pemda teraebut karena terkesan tidak transparan dan dilakukan di akhir masa kepemimpinan Bupati saat ini yang telah menjabat dua periode serta disewakan dalam kurun waktu yang lama yaitu 20 tahun.
Kejadian serupa yakni isu penyewaan bahkan penjualan pulau kepada pihak asing beberapa kali terjadi di Indonesia. Permasalahan lain seperti Bail Out Bank Century, BLBI, hingga kasus terkini seperti Jiwasraya tidak menutup kemungkinan ada peran asing di dalamnya, yang bertujuan untuk melemahkan ekonomi Indonesia, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang digadang-gadang akan menjadi negara besar dan maju di masa mendatang.
Menghadapi situasi saat ini menjadi penting untuk mengetahui gerakan dan manuver negara asing yang beroperasi di dalam negeri. Manuver ekonomi asing bisa dilakukan melalui perwakilan resmi negara tersebut di kedutaan atau konjen maupin melalui proxy yang mereka bentuk.
Identifikasi terhadap gerakan mereka bukanlah pekerjaan mudah, diperlukan kecakapan khusus yang biasanya dimiliki oleh anggota dinas rahasia atau aparat intelijen. Melalui kegiatan dan operasi intelijen, potensi ancaman dari intelijen asing bisa diketahui untuk selanjutnya dilakukan langkah kontra atau antisipasi.
Kegiatan ini tentu tidak tampak oleh masyarakat awam, sebagaimana kekhasan intelijen yang bekerja dalam senyap, seperti halnya manuver ekonomi asing yang juga serba klandestin dan rahasia. Ia hanya bisa diketahui melalui hasil yang dicapai. Oleh karena itu, negara tidak boleh lengah dan menjadi tugas lembaga intelijen seperti BIN untuk mendeteksi dan melakukan kontra terhadap setiap bentuk ancaman sekecil apapun khususnya dari pihak asing yang berkepentingan menyasar sektor ekonomi kita. (*)
*Penulis adalah pemerhati isu-isu politik ekonomi asal Surabaya.
*Sumber Publish INDONEWS.ID, Judul asli “Kontra Intelijen Manuver Ekonomi Asing Di Indonesia”