Oleh : Rekson Silaban, (MPO KSBSI dan Co Chair L20 Presidensi G20 Indonesia)
BAGAIMANA MENGUATKAN dan memperluas regulasi untuk melindungi pekerja dalam “Hubungan Kerja Terselubung” dengan berkaca pada pengalaman kontemporer Internasional.
Sebagai model bisnis baru, Ekonomi Platform mempunyai kecenderungan terus bertumbuh sebagai kebutuhan yang tidak terelakkan. Bisnis Platform beroperasi dengan unik melalui enam ciri utama yang antara lain, Pembayaran kerja diorganisir melalui platform, Ada keterlibatan tiga pihak yakni platform, konsumen, pekerja.
Bertujuan melakukan tugas spesifik atau masalah spesifik. Bentuk alih daya/kerja kontrak. Pekerjaan dipecah ke dalam satuan tugas (bukan waktu). Jasa dilakukan atas permintaan (on-demand services) seperti dikutip dari Willem Pieter de Groen. et.al. (2018)
Perusahaan aplikasi platform di Indonesia mulai bermunculan sejak didirikannya Gojek pada 2010, disusul oleh Uber (2013) dan Grab (2014), saat ini, khusus platform transportasi sudah lebih dari 50 perusahaan.
Apakah model kemitraan sudah tepat?
Dasar regulasi kemitraan bermula dari PP Kementerian Koperasi dan UKM Nomor 7 tahun 2021 (istilah kemitraan); Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12/2019 (keselamatan berkenderaan); Permenaker Nomor 5 tahun 2021 (BPJS) Dalam praktiknya mengalami banyak masalah dan konflik kerja, Istilah kemitraan tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (platform bukan pemberi kerja)
Kemitraan menciptakan beberapa anomali yang antara lain, Anomali dalam sistem perlindungan pengupahan (tidak ada UMP dan bukan tanggungjawab Kemenaker). Anomali dalam sistem pengawasan ketenagakerjaan (bukan oleh Kemenaker, tapi Komisi Persaingan Usaha).
Anomali dalam perlindungan jaminan sosial (BPJS), mengangap pekerja platform sebagai “pengusaha”. Anomali dalam penyediaan alat produksi (mitra menyediakan sendiri). Prinsip kemitraan tidak terjadi (pemilik platform bisa menetapkan aturan sendiri)
Berdasarkan temuan dan diskusi ada tiga opsi Regulasi untuk Indonesia
Opsi pertama, meneruskan regulasi sistem pola kemitraan saat ini. Dari bukti empirik melahirkan banyak konflik kerja, kemitraan palsu, tidak ada kesetaraan hak dan kewajiban;
Opsi kedua, memperluas defenisi “pekerja” dan “hubungan kerja” kepada pekerja platform. Secara teknis bisa jadi pilihan, tapi dengan mengubah UU Ketenagakerjaan, yang memerlukan waktu relatif panjang. Sementara konflik terus terjadi;
Opsi ketiga, membuat regulasi baru dengan menetapkan baru pekerja platform sebagai “pekerja bebas” (band: dengan defenisi BPS dan ISCO) yaitu: buruh, karyawan, pegawai yang tidak mempunyai majikan tetap.
Berikut beberapa praktik pengalaman internasional, dimulai dari Filipina, UU Labor Advisory No. 14 of 2021 menetapkan dua jenis tenaga kerja paltform; pekerja reguler dan kontraktor bebas.
Pekerja reguler “delivery drivers” dilindungi sesuai UU Ketenagakerjaan. Tetapi kontraktor bebas “delivery workers dan freelancers” dilindungi oleh kontrak kerja masing-masing, dengan memuat setidaknya hak: kompensasi adil yang tidak boleh di bawah upah minimum; perlindungan jaminan sosial; perlindungan K3; pelatihan trafik; penyediaan area khusus untuk menuggu penumpang
Lalu ada India, pada Tahun 2020, India membuat UU jaminan sosial untuk pekerja platform. Dengan kontribusi: pemerintah pusat, pemerintah federasi, dan pemilik platform, 1-2% dari total pendapatan. Pengawasan dilakukan oleh masing-masing wakil platform dan wakil pekerja. Sanaya Sinta, (2020)
Korea selatan, pada Tahun 2019, pemerintah lokal ibu kota Seoul menerima pendaftaran hukum serikat buruh platform Seoul, yang hanya berlaku untuk pekerja di Seoul. Tahun 2019, pemerintah lokal ibu kota Seoul menerima pendaftaran hukum serikat buruh platform Seoul, yang hanya berlaku untuk pekerja di Seoul Federation of Service Worker’s Union” menandatangani Perjanjian Kerja Bersama dengan perusahaan platform “Woowahan Youths, yang mencakup 3,000 orang pekerja.
China, China resmi merubah UU Serikat Pekerja mulai berlakuk Januari 2022, yang memperbolehkan pekerja platform membentuk serikat. Situasi ini akan membuka terjadinya hubungan kerja dengan majikan platform. Sekalipun regulasi sudah menetapkan palrform sebagai kontraktor bebas.
Pemerintah kota Beijing membantu pembentukan serikat buruh pada dua platform transportasi dan barang komersil. Serikat buruh itu tergabung dalam Beijing Municipal Federation of Trade Unions (BMFTU)
Tahun 2021, Spanyol mengeluarkan “Spain’s Riders Law” yang mengakui adanya hubungan kerja untuk platform. Tetapi hanya berlaku kepada pengemudi platform transportasi (tidak ke semua platfom)
California, atas putusan pengadilan, pengemudi Uber and Lyft berhak mendapatkan upah minimum $7.25/hari di Negara bagian California, Amerika Serikat. Janine Berg, et all, (2019)
Kesimpulan dan saran yang bisa petik yakni,
Buruh bukan komoditi! Yang bisa diperjual belikan dengan harga murah. Penetapan status hukum pekerja dalam regulasi ketengakerjaan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam hukum ketenagkerjaan Indonesia, karena status tersebut menjadi akses untuk mendaptakan berbagai perlindungan dasar sebagaimana diamanatkan dalam konsitusi UUD 1945 dan perundangan lainnya.
Saran, Indonesia menetapkan “pekerja bebas” kepada pekerja platform, ketimbang model kemitraan! dengan hak-hak khusus yang diatur dalam regulasi khusus.
Merujuk pada pengalaman internasional, tanpa regulasi tidak mungkin perbaikan kondisi pekerja diserahkan kepada niat baik pengusaha. (*)
*Penulis adalah Presiden KSBSI Periode 2003-2011, Dewan pengarah (Governing Body for International Labor Organization, ILO) Geneva, Swiss 2005-2014 dan Eks Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan 2016 – 2021.