Pajak Diperas, SDA Bablas!

0
28
“Anak kecil beli permen saja kena pajak. Apalagi yang lain. Miris bukan? Sementara pos-pos sumber daya alam, tak jadi pendapatan. Hanya sekian persen dari melimpah ruahnya SDA yang tersedia. Pengamat energi, Kurtubi menyatakan bahwasanya perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batu bara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi,”

Oleh : Rismayanti Nurjannah

Lapan6Online : Penghuni dunia maya dihebohkan oleh postingan akun Twiter Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang meminta wajib pajak melaporkan telepon genggam atau handphone (HP) ke dalam Surat Pelaporan Harta Tahunan (SPT) pajak. (Kompas.com, 15/09/17)

Bukan hanya telepon genggam, sepeda juga harus turut dilaporkan ke dalam SPT. Beragam kebijakan dibuat, setelah sebelumnya pemerintah memajaki petani tebu, menurunkan batas kena pajak, dan mengharuskan mahasiswa memiliki nomor pokok wajib pajak.

Saat bisnis online bak jamur di musim penghujan, tak luput jadi target objek pajak. April 2019, akan diberlakukan pajak bagi pelaku e-commerce. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-commerce, bahwasanya ada empat model transaksi e-commerce, yakni Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals dan Online Retail. Bagi pelaku e-commerce yang memiliki omset di atas Rp4,8 miliar ditetapkan PPh 1%. Sementara bagi yang omsetnya di bawah Rp4,8 miliar dikenakan PPh final 0,5% per tahun. (cnbcindonesia.com, 30/01/18)

Sebagaimana yang dirilis Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam lamannya, disebutkan bahwasanya dalam postur APBN 2018, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan hibah sebesar Rp1,2 triliun. Itu artinya, pajak menyumbangkan 80% dari pendapatan negara. Jauh lebih banyak dibandingkan PNBP dan hibah.

Pajak digadang-gadangkan menjadi instrumen utama dalam pembangunan negara. Ia bersifat memaksa sebagaimana yang termaktub dalam UU KUP Pasal 1 ayat (1), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun, apakah benar pajak jadi satu-satunya instrumen untuk membangun negara? Sehingga negara bersikukuh “memeras” rakyat atas nama pajak.

“Warga negara yang baik, taat pajak.”, seolah menjadi adagium yang menyugesti masyarakat. Alih-alih mendapat penghidupan yang layak, faktanya tak berbanding lurus dengan realitas yang didapat. Tak ada dampak yang signifikan terhadap perbaikan kehidupan masyarakat. Justru kehidupan kian pelik. Pekerjaan kian sulit. Aspek ekonomi pun makin terhimpit.

SDA Melimpah, Rakyat Tersandera Pajak
Anak kecil beli permen saja kena pajak. Apalagi yang lain. Miris bukan? Sementara pos-pos sumber daya alam, tak jadi pendapatan. Hanya sekian persen dari melimpah ruahnya SDA yang tersedia. Pengamat energi, Kurtubi menyatakan bahwasanya perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batu bara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi. Yang ditemukan di perut bumi, nilainya saat itu mencapai Rp200 ribu triliun. (liputan6.com, 28/1/2014)

Angka yang fantastis. Lebih dari cukup untuk menutupi APBN setiap tahunnya, bukan? Sayangnya, proyeksi tersebut tak mampu terealisasikan. Pasalnya, kedaulatan SDA negeri ini masih dipertanyakan. Aset yang melimpah ruah, hanya jadi santapan asing. Berbagai komoditas yang dimiliki negeri ini dijarah negara Barat atas nama kerja sama internasional. Undang-undang yang ada pun turut mengaminkannya. Tak ayal, korporasi swasta maupun asing seenaknya melenggang bebas karena adanya legitimasi. Indonesia, cukup gigit jari menyaksikan berbagai pertunjukan menyayat hati.

UU PMA, UU Ketenagalistrikan, UU Privatisasi, dsb., sudah menjadi bukti nyata bahwa produk tersebut lahir dari konsep Kapitalisme yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. UU yang sarat dengan berbagai kepentingan. Tak heran, sebelumnya UU Migas, UU SDA menuai kontroversi karena begitu kental dengan kepentingan asing. Bukan tidak mungkin, ke depannya akan lahir kebijakan-kebijakan baru yang menyengsarakan rakyat, tetapi menguntungkan asing. Selama negara ini tetap menggunakan corak pemerintahan Kapitalisme.

Bagaimana Islam Mengelola Sumber Daya Alam?
Sumber daya alam yang seharusnya dapat dinikmati untuk kesejahteraan rakyat, kini hanya sekadar ilusi. Padahal, Islam sudah sangat tegas menentang adanya privatisasi oleh korporasi swasta maupun asing dalam ranah yang mencakup hajat hidup orang banyak. Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang mencakup hajat hidup orang banyak termasuk ke dalam kepemilikan umum. Individu ataupun negara tidak boleh menguasainya. “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Haram hukumnya negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada individu, korporasi swasta maupun asing. Negara wajib mengelolanya dan hasilnya diserahkan kepada rakyat dalam mekanisme langsung maupun tak langsung. Mekanisme tersebut bisa berupa pendidikan gratis, kesehatan gratis, dsb. Alhasil, negara tak perlu lagi memeras rakyat atas nama pajak.

Pajak dalam Islam bukan jadi instrumen utama. Karena ia hanya ditetapkan saat negara dalam kondisi paceklik. Bahkan tidak semua warga negara menjadi sasaran sebagaimana kondisi saat ini. Pajak hanya ditetapkan bagi rakyat yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih. Besarannya pun tidak sampai mencekik rakyat. Sehingga, kemakmuran rakyat tetap terjamin, bukan sekadar ilusi.

Sayangnya, beragam problematika tersebut tak akan terselesaikan selama negara ini masih menggunakan corak Kapitalisme sebagai sistem pemerintahannya. Sudah seharusnya, negara ini kembali kepada seruan-Nya. Mengejawantahkan Islam dalam sistem kehidupan secara holistik. Sehingga, keberkahan negeri yang diharapkan bukan lagi menjadi ilusi semata. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [GF/RIN]

*Penulis adalah anggota Komunitas Revowriter Tangsel

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini