Pajak Sembako Bikin Rakyat Sengsara

0
19
Ilustrasi/net

PINI

“Pajak juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak. Namun realita narasi manis ini justru menjadikan rakyat sebagai sapi perah bagi negara yang seharusnya me-riayah atau mengurus mereka,”

Oleh : Saffanah Nurul I

MASYARAKAT dihebohkan dengan wacana pemerintah yang akan menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak dan sebagai bagian dari pengubahan skema tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

Disinyalir bahan kebutuhan pokok yang akan dikenakan PPN yakni beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbu dan gula konsumsi.

Padahal, sebelumnya barang-barang tersebut tidak dikenakan PPN karena menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.

Wacana tersebut tentu ditolak oleh masyarakat luas. Jika pajak ini direalisasikan tentu saja akan menambah sulitnya ekonomi rakyat akibat pandemi, ditambah dengan harga-harga kebutuhan pokok makin melangit. Jadi, pajak sembako bikin rakyat sengsara.

Namun, dalam sebuah utas di Twitter, Staf Ahli Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, memberikan penjelasan mengenai PPN.

Menurutnya, aturan ini masih sebatas rancangan yang dipersiapkan di masa pandemi. Penerapan PPN ini merupakan langkah persiapan optimalisasi penerimaan pajak setelah pandemi, karena sebelumnya keuangan bertumpu pada pembiayaan utang karena turunnya penerimaan pajak.

Pemerintah pun mengklaim kebijakan yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ini adalah bentuk dari keadilan.

Sebab dalam aturan ini, barang yang dikonsumsi masyarakat banyak atau menengah bawah harusnya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas dapat dikenai PPN lebih tinggi.

Seperti yang dilansir dari Bisnis.com, opsi yang ditetapkan untuk tarif PPN kebutuhan pokok menjadi 12 persen, di luar skenario multi tarif yang diusulkan sebelumnya.

Menanggapi hal ini, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai wacana penerapan PPN pada sembako ini justru sebaliknya, yakni tidak mencerminkan keadilan.

Buktinya, pemerintah sempat mengenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0 persen pada mobil baru. Tambahnya pula, skema PPN ini justru membuat income masyarakat menengah ke bawah habis, karena selain untuk dikonsumsi juga harus membayar PPN juga.

Selain itu jika PPN ini tetap diberlakukan pada barang konsumsi orang banyak, akan memukul daya beli masyarakat, akan berdampak pula pada indeks keyakinan konsumen yang sedang optimis.

Sesungguhnya, utang dan pajak adalah karakteristik sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Hal ini disebabkan, sistem ini meniscayakan akan kebijakan ekonomi liberal, pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal.

Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak.

Selain itu, pajak juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak. Namun realita narasi manis ini justru menjadikan rakyat sebagai sapi perah bagi negara yang seharusnya me-riayah atau mengurus mereka.

Padahal kekayaan negeri ini begitu melimpah yang sangat mampu untuk mencukupi kebutuhan negara, sayangnya kapitalisme pula telah membuat kekayaan sumber daya alam berpusat di tangan-tangan korporat.

Oleh karena itu, sepanjang sistem kapitalisme masih eksis untuk mengatur sebuah negara, dapat dipastikan tidak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan.

Justru negara makin tergadai dan kehilangan fungsi asasinya sebagai pengurus dan menjaga rakyat. Aturan zalim seperti ini tidak akan ditemukan dan dirasakan oleh rakyat jika mereka diurus dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan pula menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara.

Pajak hanya diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat dan hal ini pun bersifat temporal. Maka negara tidak akan ada penetapan pajak tidak langsung, pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli dan berbagai jenis pajak lainnya.

Sebab hal ini termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah dan rasulnya. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu” (QS a:-Nisa: 29)

Sedangkan Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya para penari atau pemungut pajak di azab di neraka” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Negara Islam juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik seperti biaya kesehatan, pendidikan dan keamanan. Layanan tersebut disediakan secara gratis dengan pelayanan terbaik.

Sebab semua itu merupakan bentuk riayah atau mengurus dari negara kepada rakyatnya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Imam (khalifah) adalah raa’in yakni pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari).

Adapun untuk sumber pendapatan tetap bagi negara untuk mengurus kebutuhan rakyatnya, sistem ekonomi Islam telah menetapkan terdapat tiga jalur pos dalam baitul mal, yaitu:

Pertama, pos kepemilikan negara yang berasal dari pengelolaan harta fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, hima atau harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, hukum syirkah harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan harta orang murtad.

Kedua, pos kepemilikan umum yaitu berasal dari pengelolaan kekayaan alam berupa tambang, kekayaan laut, hutan dan sebagainya.

Ketiga, zakat dan sedekah yaitu berasal dari harta zakat kaum Muslimin, baik zakat fitrah maupun zakat mal ini adalah skema jalur sumber pendapatan bagi negara yang ditetapkan syariat. Terbukti keberhasilannya pada masa Kekhilafahan Abbasiyah Harun ar-rasyid, dalam satu riwayat mengatakan surplus APBN di atas 900 juta Dinar.

Jika dikonversikan dengan harga emas saat ini yakni Rp1.000.000 per gram. Maka, 900000000 Dinar emas setara dengan 3825 triliun rupiah. Jumlah ini lebih besar dari APBN Indonesia pada 2020 sebesar 2613,8 triliun rupiah.

Bahkan pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, wabah penyakit bisa diselesaikan tanpa membebani rakyatnya dengan pungutan pajak tambahan, proses pengobatan masyarakat seluruhnya ditanggung oleh pemerintah.

Dengan demikian, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bentuk sistem pemerintahan Islam yang mampu menyejahterakan rakyat dan tidak akan membebani rakyat dengan berbagai macam bentuk pajak yang sangat menyengsarakan rakyat.

Justru negara menjamin bagaimana rakyat bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka sandang, papan dan pangan. Tentu saja, semua ini merupakan kewajiban negara terhadap rakyatnya. [*]

*Penulis Adalah Pelajar di Kota Depok

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini