OPINI | POLITIK
“Ada nilai falsafah tentang perbedaan, ada kebebasan bagi setiap orang untuk mencari sumber kehidupan. Kita harus saling melindungi, saling membela, saling merangkul, dan memperoleh kesempatan yang sama dalam ikatan persaudaraan,”
Oleh : Yusak Yaluwo, S.H.,M.Si
SUNGGUH sebuah kebahagiaan bagi kita semua, Papua Selatan telah menjadi daerah otonomi baru, daerah yang dapat kita kelola untuk kemajuan bersama.
Papua Selatan adalah titik nol pembangunan Indonesia. Di sini kita menciptakan sejarah baru, menunjukan kepada seluruh dunia bahwa di ujung timur Indonesia mercusuar tetap bercahaya.
Kita punya Merauke yang terkenal sejak era kolonial Belanda. 12 Februari 1902 orang-orang berkumpul, mulai Eropa hingga dari China, dan termasuk Indonesia. Mereka bergelut, berburu burung di tengah hutan wilayah selatan Nugini-Papua.
Merauke kala itu menjadi kota inklusif bagi semua pendatang dari berbagai penjuru dunia, sangat populer sebagai pembatas geografi di wilayah paling timur sejak zaman Hindia-Belanda.
Kemudian, daerah kebanggan kita lainnya adalah Boven Digoel, sebuah wilayah yang memiliki nilai historis paling masyhur; menjadi tempat pengasingan bagi sebagian aktivis muda sebelum kemerdekaan. Hatta dan Syahrir merupakan bukti sejarah pengasingan.
Di Boven Digoel, ada Tanah Merah sebagai pusat ibukota paling unik sebagai sentral aktivitas yang relatif modern dan ramai kala itu, berbaur bersama dengan suku asli seperti Mandobo, Wambon, Muyu, dan Auyu.
Demikian juga dengan Kabupaten Mappi yang awalnya merupakan wilayah kabupaten Merauke. Daerah ini sangat menjanjikan untuk masa depan Papua Selatan di sektor kelautan dan perikanan.
Memiliki lima pulau kecil dengan luas 300 km dari garis pantai, tempat berkembangnya habitat laut. Untuk mengembangkan usaha di bidang kelautan dan perikanan akan selangkah lebih cepat maju untuk kesejahteraan masyarakat.
Berlanjut Kabupaten Asmat. Wilayah ini sudah lama terkenal di seluruh dunia sejak 1900-an. Di sana banyak objek wisata yang dapat dijumpai, baik budaya dan wisata alam. Terdapat banyak benda atau situs bersejarah yang terawat rapi seperti ukiran patung: panel, salawaku, perisai, mbis, perahu adat, panah, terompet, kapak batu dan masih banyak jenis lainnya. Bahkan mereka memiliki rumah adat sebagai warisan leluhur yang merupakan tempat sakral untuk ritual adat.
Kini Papua Selatan terus ditempati berbagai suku, agama, ras, yang datang berakulturasi dan menyatu. Ada nilai dan karakter solidaritas yang mengakar kuat serta tradisi yang dijunjung tinggi. Terbentuknya Papua Selatan adalah ide yang brilian.
Saya melihat banyak orang berbagai suku dengan bahasa dan kepercayaan yang berbeda-beda hidup dalam kedamaian. Saya bangga, sejak dahulu kala kita sudah menyambut orang-orang dari seluruh belahan bumi.
Keberagaman di Papua Selatan mencorakkan nilai pluralisme dan ke-Indonesiaan yang sesungguhnya. Ada nilai falsafah tentang perbedaan, ada kebebasan bagi setiap orang untuk mencari sumber kehidupan. Kita harus saling melindungi, saling membela, saling merangkul, dan memperoleh kesempatan yang sama dalam ikatan persaudaraan.
Meski demikian, kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang patut kita selesaikan, yakni problem kesejahteraan. Angka kemiskinan per Maret 2024 berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional berada pada level 17,44 persen.
Di daerah perkotaan, jumlah populasi yang tergolong miskin mencapai 5,97 ribu orang, sedangkan daerah perdesaan berada pada angka yang sangat tinggi, 86,23 ribu orang.
Artinya, kategori penduduk miskin masih cukup besar yang hidup di Papua Selatan. Masalah ketimpangan harus segera dipangkas dengan pola kebijakan yang terukur, baik secara jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Memang tidak semata-mata persoalan serius ini diselesaikan dalam waktu singkat.
Tentunya tidak mudah, tetapi bukan juga hal yang mustahil diselesaikan. Karena itu, tidak boleh ada batasan sistemik karena pola kerja atas nama kepentingan politik, harus ada komitmen pengambilan kebijakan tepat sasaran.
Bahkan hemat saya, Papua Selatan sebagai Rumah Besar bagi semua golongan harus dilibatkan untuk bersuara, dilibatkan dalam setiap perundingan, dan menyatakan semua suka duka yang dirasakan. Kemiskinan bukan hanya soal siapa yang tidak memiliki kekayaan materi, melainkan kemiskinan sejatinya adalah tentang siapa yang tidak mau berkomitmen untuk peduli.
Dari sisi eksekutif, kebijakan yang dibuat harus membuka jalan kesejahteraan bagi semua lapisan. Dari sisi legislatif, fungsi kontrol, anggaran, dan berbagai aturan yang dibuat harus menguntungkan rakyat kecil. Sebab, kita tidak menghendaki Rumah Besar Kita, Papua Selatan, terwariskan oleh masalah ketimpangan yang sulit diurai.
Papua Selatan adalah Rumah Besar Kita, sebuah rumah yang dibangun oleh kasih, kedamaian, dan cinta yang terpatri. Kita harus berani untuk saling mengoreksi, saling mengimbangi, agar kelak tidak ada marginalisasi. Kemiskinan hari ini adalah kenyataan, kesejahteraan masih jadi harapan, apa yang kita lakukan nanti harus saling memanusiakan. Sebab rakyat sejatinya adalah pemegang kedaulatan. Kita harus berhenti sampai di sini, memutus rantai kemiskinan.
Papua Selatan Rumah Kita: difondasi oleh kekayaan, berdinding kesejahteraan, beratap kemajuan, dan berisi kedamaian. Jangan sampai kita hanya terdiam berada di halaman, meratap kemiskinan dan menjadi kaum tertindas yang mudah dipecah-belahkan. (**)
*Penulis Adalah Bakal Calon Gubernur Papua Selatan