Paradoks Demokrasi Dalam Kasus Novel Baswedan

0
175
Ilustrasi/net
“Komedian Bintang Emon pun menuai fitnah atas dirinya. Ini artinya, ada kekuatan besar di balik kasus Novel yang tentunya memiliki jaringan politik yang luas. Mereka dapat memainkan isu maupun arah kebijakan penguasa, sesuai kepentingan segelintir orang,”

Oleh : Sumitri, S.P

Jakarta | Lapan6Online : Kasus Novel Baswedan menjadi bukti bahwa proses demokrasi di negeri ini mengalami makna pembiasan dalam realisasi. Prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jika rakyat menginginkan, keinginan itu tidak boleh dicegah. Prinsipnya begitu, tapi hal itu hanyalah sebuah ilusi.

Dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel, pelakunya dituntut hanya satu tahun penjara. Alasannya karena tidak sengaja dan hanya ingin memberi pelajaran.

Banyak pihak yang menilai keputusan hukum ini tidak proporsional dan melanggar etika dan prinsip keadilan itu sendiri. Tuntutan satu tahun penjara sangat tidak sebanding dengan cacat permanen yang dialami korban sepanjang hidupnya.

Sumitri, S.P, Penulis/Foto : net

Padahal dalam kasus serupa, putusan pengadilan terhadap pelakunya dengan hukuman 10 -12 tahun penjara. Tapi apa daya, protes yang diajukan itu kandas. Bahkan menuduh balik kecacatan Novel disebabkan dirinya sendiri yang tidak sabar selama menjalani perawatan.

Ada invisible hand atau tangan-tangan tidak kelihatan yang berusaha menentukan arah perjalanan kasus ini.

Bahkan protes yang dilancarkan komedian Bintang Emon pun menuai fitnah atas dirinya. Ini artinya, ada kekuatan besar di balik kasus Novel yang tentunya memiliki jaringan politik yang luas. Mereka dapat memainkan isu maupun arah kebijakan penguasa, sesuai kepentingan segelintir orang.

Hal ini menegaskan bahwa demokrasi yang katanya untuk rakyat tidak pernah terjadi. Karena sebenarnya rakyat tidak berdaulat atas suara sendiri atau kritik yang disampaikan. Tidak ada kedaulatan absolute bagi rakyat. Pada tatanan ini, demokrasi yang digelar gemborkan tidak lebih sebagai lipat servis belaka. Slogan dari, oleh dan untuk rakyat hanya isapan jempol saja.

Faktanya, yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.

Inilah paradoks demokrasi di negeri ini. Warnanya semakin bias dan hanya menjadi ilusi. Saatnya rakyat bertanya kepada diri mereka, sudah tepatkah mereka mengadopsi demokrasi sebagai sistem kehidupan mereka?

Atau ada sistem lain yang mampu mengentaskan ketidakadilan yang terus mereka alami. Saatnya kita berpikir out of the box. GF/Red

*Sumber : Radarindonesianews.com/Media Jaringan Lapan6online.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini