Penulis: M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Lapan6online.com : Pada Jumat pagi tanggal 20 September 2019 Presiden Jokowi bertemu dengan Kepala Hubungan Internasional Polit Biro Partai Komunis Cina, Song Tao di Istana Bogor. Dilanjutkan jamuan makan siang dengan Ketum PDIP Megawati di RM Li Feng Bunderan HI.
Song Tao mengucapkan selamat atas terpilih Jokowi dalam Pilpres “Sebagai sahabat baik untuk Indonesia, saya benar benar merasa bahagia” sambil memuji keberhasilan berbagai proyek. Song Tao yang didampingi Dubes Cina untuk Indonesia Xiao Qian menyampaikan pula bahwa Wakil Presiden Cina Wang Qishan akan hadir dalam acara pelantikan Jokowi bulan Oktober yang akan datang.
Usai pertemuan dengan Ketum PDIP Megawati, Sekjen Hasto Kristiyanto yang mendampingi menyatakan bahwa pertemuan PKC-PDIP membahas kerjasama antara kedua partai politik dan mendukung kerjasama antar kedua bangsa. Menurut Hasto pertemuan siang ini merupakan kelanjutan dari pertemuan Song Tao dengan Presiden Jokowi. Dikemukakan PKC mengundang PDIP untuk mengadakan pertemuan 10 partai Asia pada bulan November 2019.
Pertemuan antar negara atau antar partai merupakan hal yang biasa. Akan tetapi pertemuan Partai Komunis Cina dengan Kepala Negara Republik Indonesia dan Partai Politik pemenang Pemilu cukup memprihatinkan. Kita adalah negara yang bukan saja melarang pengembangan faham komunis tetapi juga mewaspadai potensi pengembangan. Kerjasama dengan Partai Komunis Cina itu mengkhawatirkan dan mungkin membahayakan. Eratnya hubungan antar kedua negara yang menembus pada keeratan antar partai politik ini tengah mendapat sorotan rakyat.
Pertama, menjadi bukti terbentuknya poros Jakarta-Beijing. Fasilitasi bagian negara Indonesia untuk kepentingan “New Silk Road” nya China menggelisahkan rakyat. Dengan investasi dan invasi tenaga kerja maka hegemoni RRC bagai dibuka pintunya.
Kedua, sebagai Negara Komunis dengan diaspora bangsanya yang besar di Indonesia, maka misi ideologi komunis RRC via PKC dapat menunggangi kerjasama bisnis. Tidak dijamin kader-kader komunis tidak ada di berbagai instansi atau partai politik di Indonesia. “Screening” terhadap kemungkinan terpaparnya pegawai atau pejabat sangat longgar bahkan tidak prioritas.
Ketiga, “Duka September ’65” seperti yang diabaikan. Sejarah kelam dicoba dihapus. September 65 adalah bulan intens komunikasi politik Jakarta-Peking. Omar Dhani bolak balik Jakarta-Peking merealisasikan tawaran PM Zou En Lay untuk memberi 100.000 pucuk senjata “Chung” bagi Angkatan Kelima. Berujung pada kudeta yang gagal 30 September.
Keempat, komunisme adalah faham radikal dan intoleran. Jika kebijakan politik menekankan pada program yang disebut “deradikalisasi” maka seharusnya bukan agama yang ditarget, tapi komunisme ini. Partai Komunis Cina bukan teman yang baik. Ia adalah partai radikal tak bertuhan dan tak berperikemanusian.
Sayang Pemerintahan Jokowi kurang atau tidak peka dengan sejarah bangsa Indonesia yang hampir celaka karena kerjasama erat dengan Partai Komunis Cina. Sejarah itu selalu berulang, karenanya kita mesti belajar lebih cerdas dan serius.
Jika kebijakan “menantang” sudah nyata menjalin kerjasama berbahaya dengan Partai Komunis Cina, maka layak rakyat dan bangsa Indonesia waspada dan berteriak : “Galang kekuatan, hancurkan anasir-anasir PKI”. Remember September ! (*)