“Semakin sedikit pasangan di bawah umur yang mencatatkan pernikahannya, sebab prosedur yang sulit dan panjang. Jika demikian, akan berdampak minimnya kontrol negara pada tanggung jawab pasangan muda tersebut,”
Oleh : Lulu Nugroho
Lapan6Online : Kementrian Agama (Kemenag) Kota Cirebon akhirnya menyosialisasikan Undang-Undang (UU) Perkawinan 16/2019 yang merupakan revisi dari UU 1/1974. Revisi hanya pada pasal 7 ayat 1 terkait usia minimal bagi calon pengantin pria dan wanita. Keduanya kini harus berumur 19 tahun.
Kepala seksi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kantor Kemenag Kota Cirebon, H. Slamet S.Ag seperti dikutip radarcirebon.com (26/10/20190) menyatakan bahwa UU tersebut telah berlaku sejak disahkan tanggal 14 Oktober 2019.
Sehingga sejak 15 Oktober 2019 seluruh Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Cirebon tidak bisa lagi menerima permohonan pencatatan pernikahan di bawah usia 19 tahun.
Adanya UU baru ini menimbulkan pro dan kontra. Sebab banyak pasangan di bawah usia 19 sudah merencanakan untuk menikah. Akhirnya mereka memilih menikah sirri, tanpa pencatatan atau meminta dispensasi ke Pengadilan Agama (PA). Sementara pihak Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Cirebon sendiri tidak memiliki data jumlah pasangan menikah di bawah umur.
Hal yang sama terjadi di Slawi, Kabupaten Tegal, 63 anak baru gede (ABG) mengajukan dispensasi nikah ke PA. Faktor hamil duluan alias hamil di luar nikah menjadi pemicu mereka melangsungkan pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur. Ada juga seperti dikutip laman republika.co.id (21/10/2019), karena kekhawatiran orang tua melihat pergaulan bebas di kalangan remaja.
Jumlah ini tercatat sejak Januari hingga September 2019. Mereka yang mengajukan dispensasi nikah, anak lelaki di antara usia 17-18 tahun. Sedangkan yang wanita berusia antara 14-15 tahun. Berdasarkan UU nomor 1/1974 tentang Perkawinan pasal 7 sebelum revisi adalah, 19 tahun batas minimal usia pria, dan wanita 16 tahun.
Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan. Di satu sisi konten pornografi dan porno aksi dibiarkan bebas tanpa kendali. Pintu perzinahan terbuka lebar, dengan mengumbar syahwat dan aurat. Arus serba boleh menyerang anak negeri dari berbagai penjuru. Sementara di sisi lain, jalan untuk legalisasi hubungan malah dipersulit. Pintu halal dipersempit, bahkan nyaris ditutup. Menjaga keimanan dikembalikan pada individu masing-masing sebab negara lepas tangan. Apalagi dalam UU 16/2019 malah menaikkan batas usia pernikahan bagi wanita menjadi 19 tahun, sama dengan pria.
Maka alhasil akan semakin sedikit pasangan di bawah umur yang mencatatkan pernikahannya, sebab prosedur yang sulit dan panjang. Jika demikian, akan berdampak minimnya kontrol negara pada tanggung jawab pasangan muda tersebut. Tanpa sanksi yang tegas, bukan perkara mudah memberantas kemungkaran. Pada akhirnya keadilan pun sulit ditegakkan.
Hal ini menjadi bukti bahwa arus kebebasan yang mendera generasi muda berdampak buruk bagi mereka. Para pelajar berseragam abu-abu, juga biru, mulai teralihkan dari pemikiran mereka yang lurus. Seharusnya ke arah perjuangan demi tegaknya Islam, kini mereka hanya sibuk berpikir pragmatis demi memuaskan gharizah nau atau naluri biologis saja.
Aktivitas mereka kosong tanpa nilai ruhiyah. Pernikahan bagi mereka juga sekadar legalisasi hubungan. Belum tumbuh kesadaran bahwa mereka bagian dari umat yang memiliki andil dalam perjuangan menegakkan Islam. Sehingga gambaran pernikahan ideologis masih jauh dari harapan. Inilah potret gagalnya pendidikan ala sekularisme.
Sehingga seiring berjalannya waktu, pasangan muda ini akan terseok-seok menghadapi ganasnya kehidupan di dalam penerapan aturan kufur. Tanpa ilmu dan landasan iman yang tangguh, mereka akan tumbang. Gagal memikul tugas dan tanggung jawab sebagai suami, isteri dan orangtua.
Efek domino menimpa generasi selanjutnya, yaitu anak-anak mereka. Sebab berjibaku untuk sejahtera di bawah penerapan sistem yang batil. Lupa, bahwa sejatinya mereka adalah agen perubahan bagi umat. Maka kasus perceraian akhirnya tak terelakkan.
Oleh sebab itu para pasangan muda ini perlu mendapat bantuan. Mereka semestinya mendapat pendampingan dari orang tua dan lingkungan terdekat juga negara, untuk mendapat akses pendidikan yang baik. Memupuk keimanan mereka dengan sebaik-baik penjagaan. Agar kelak mereka menjadi para pemimpin yang beriman dan berilmu.
Sebab di tangan generasi muda inilah, nasib umat diperjuangkan. Maka perlu adanya perubahan sistemik. Tidak cukup hanya dengan menaikkan batas usia pernikahan. Akan tetapi perlu perbaikan di seluruh lini kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum dan lainnya dengan mengembalikan umat pada Islam.
Akidah sahih yang memiliki aturan yang harus diterapkan dalam kehidupan. Dengan Islam, umat akan terlindungi. Generasi akan disiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebab menjaga generasi adalah bentuk penjagaan terhadap negeri. GF
*Muslimah Penulis dari Cirebon