Pemangkasan Anggaran, Efisiensi atau Sekadar Gimmick Populis

0
6
Siti Masyitah /Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Negara cuma mengelolanya, hasilnya buat kepentingan umum yang berarti untuk seluruh rakyat. Bukan malah dikasih ke perusahaan asing atau konglomerat lokal yang duitnya udah numpuk,”

Oleh : Siti Masyitah

PEMERINTAHAN Prabowo baru mulai, tetapi drama anggaran sudah tayang perdana. Rp306,69 triliun dipangkas dari belanja negara, dengan dalih efisiensi. Kementerian PUPR menjadi korban terbesar berkisar Rp81 triliun dipotong. Bagaimana dengan infrastruktur? Pasti terganggu. Namun jangan khawatir, program Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap aman. Malah dapat tambahan dana Rp100 triliun. (Smartid.co.id)

Sementara, bansos pun tetap aman, pasalnya bansos tidak boleh diganggu gugat dananya. Jelas, ini merupakan alat politik paling efektif buat ngumpulin simpati rakyat. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2025, bansos dan gaji pegawai negara dilabeli “zona suci.”

Lalu, apa alasan pemangkasan anggaran? Kata Hashim Djojohadikusumo, banyak program pemerintah yang “konyol.” Ironisnya, yang dianggap tidak konyol justru program populis seperti MBG, yang bau-bau janji kampanye masih kental terasa.

Efisiensi Cuma Label, Dampaknya Nyesek
Lalu, bagaimana dengan pendidikan? Tentu pendidikan juga terkena imbasnya. Beasiswa Kemenkeu dibatalkan, padahal baru dibuka. Program riset juga dipangkas, seolah-olah kita tidak butuh inovasi buat masa depan. Kemenperin? Defisit 43,3%. Efek domino? PHK makin merajalela, UMKM megap-megap, industri lokal justru terancam.

Kesehatan? Juga terkena pemangkasan Rp19,6 triliun. Padahal, layanan kesehatan kita sudah ngos-ngosan. Mau nambah apa lagi? Iuran BPJS yang tidak jelas manfaatnya? Tarif puskesmas yang makin mahal?

Lucunya, pemerintah selalu bilang, “Tenang, ini demi efisiensi.” Tetapi kok kabinetnya tetap gemuk? Menteri di mana-mana, lengkap dengan staf khusus yang tidak jelas tupoksinya.

Mencari Dana Tambahan, Jalan Pintasnya Utang
Dengan anggaran cekak, pemerintah mulai lirik “dana segar”—alias utang luar negeri atau kerja sama dengan swasta. Namun, utang itu tidak pernah gratis. Ada “pamrih” di baliknya. Entah kebijakan yang harus dikompromikan, entah sumber daya yang perlahan-lahan lepas tangan.

Lebih parahnya, program MBG yang katanya buat rakyat, ujung-ujungnya jadi ladang basah buat korupsi. Vendor swasta pasti juga ikut di dalamnya. Jangan harap mereka cuma cari pahala. Mereka juga cari untung seperti tolak ukur perbuatan ala sistem kapitalisme yaitu manfaat dan keuntungan.

Solusi Islam Bukan Sekadar Pangkas, Namun Ubah Paradigma
Kalau mau cari solusi beneran, coba intip sistem Islam yang memiliki konsep ekonomi Islam terbaik yang berasal dari al-Khalik. Bukan cuma soal halal-haram, tetapi bagaimana mengatur keuangan negara tanpa harus main potong sana-sini.

Pertama, dalam Islan anggaran negara bukan pajak. Pendapatan negara dalam Islam tidak bergantung pada pajak. Ada sumber pendapatan tetap seperti zakat, kharaj, jizyah, dan hasil pengelolaan sumber daya alam secara mandiri oleh negara. Jadi, tidak perlu kejar target pajak kayak kejar deadline skripsi.

Kedua, sumber daya alam merupakan milik rakyat, bukan swasta. Jadi, sumber daya alam seperti tambang emas, minyak, gas, dan segala yang nempel di perut bumi itu milik rakyat. Negara cuma mengelolanya, hasilnya buat kepentingan umum yang berarti untuk seluruh rakyat. Bukan malah dikasih ke perusahaan asing atau konglomerat lokal yang duitnya udah numpuk.

Ketiga, anggaran fokus pada kebutuhan dasar masyarakat. Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban memberi jaminan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Bukan buat bangun proyek mercusuar yang lebih cocok jadi latar foto instagram pejabat.

Keempat, anti utang dan anti riba. Negara yang menganut sistem Islam tidak mengandalkan utang luar negeri buat menutupi defisit anggaran. Kenapa? Karena utang itu membuat negara ketergantungan pada si pemberi utang, plus biasanya ada embel-embel riba yang justru merusak sistem ekonomi.

Kelima, transparansi negara adalah kunci. Dalam Islam, pengelolaan keuangan negara harus transparan. Rakyat punya hak untuk tahu uang atau anggaran negara dipakai buat apa. Bukan cuma diumumin saat sidang paripurna yang isinya seperti ceramah dosen saat kelas jam 7 pagi—tidak ada yang merhatiin dosen. Maka dari itu, kalau bener-bener mau efisien, potong anggaran yang benar.

Kurangi proyek gengsi yang cuma bagus di presentasi PowerPoint. Fokuslah pada kebutuhan dasar rakyat. Dan kalau serius mau reformasi, coba ubah sistemnya dengan sistem Islam, bukan cuma tambal sulam aturan atau kebijakan. Karena efisiensi tanpa visi itu seperti mie instan tanpa bumbu—murah sih, namun hambar. Dengan demikian, sudah saatnya untuk kembali pada sistem Islam kaffah yang benar-benar menyolusi semua masalah kehidupan. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Muslimah

Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.