OPINI | HUKUM
“Polisi mengepung rumah-rumah warga, memasukinya dan menyerang serta menangkap paksa warga. Puluhan warga ditangkap tanpa sangkaan yang jelas. Bahkan sedihnya polisi memasuki rumah ibadah dan mengganggu warga yang tengah beribadah disana,”
Oleh : Eva Arlini, SE (Blogger)
PADA pagi hari tanggal 8 Februari 2022 suasana Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah mencekam. Ratusan polisi bersenjata lengkap memasuki wilayah itu. Kedatangan mereka bermaksud mengawal pengukuran lahan oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebagai tindak lanjut rencana penambangan untuk Bendungan Bener.
Sejak lama warga Desa Wadas menolak menyerahkan tanah mereka menjadi bagian dari proyek pemerintah itu. Pasalnya warga khawatir proyek tersebut merusak alam desa dan mengancam mata pencaharian mereka. Berdasarkan data LBH Yogyakarta, 307 dari 450 kepala keluarga Desa Wadas menolak penambangan.
Namun untuk kesekian kalinya rakyat kecil kalah dihadapan kekuasaan. Warga Desa Wadas justru diperlakukan secara represif. Polisi mengepung rumah-rumah warga, memasukinya dan menyerang serta menangkap paksa warga. Puluhan warga ditangkap tanpa sangkaan yang jelas. Bahkan sedihnya polisi memasuki rumah ibadah dan mengganggu warga yang tengah beribadah disana.
Sempat muncul isu bahwa warga menggelar aksi dan memicu ricuh sehingga aparat harus bertindak kasar. Padahal video-video yang beredar di akun twitter @Wadas_Melawan menunjukkan, aparatlah yang mulai memanaskan suasana pagi itu.
Setelah kejadian itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyampaikan permintaan maaf pada warga yang mengalami peristiwa tersebut. Ia menyebut bahwa semua itu menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, Ganjar menekankan bahwa rencana penambangan itu sudah sesuai aturan. Artinya, dia merasa tidak ada yang salah dari pemerintah, ketika tetap ingin melakukan penambangan di Desa Wadas, meski sebagian besar warganya tidak setuju.
Sudah sesuai aturan yang dimaksud Ganjar adalah aturan yang dibuat presiden dan dirinya sendiri sebagai gubernur, terkait proyek tersebut. Pembangunan Bendungan Bener telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo, sebagai proyeks strategis nasional pada 2018. Sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun memberi payung hukum pembangunan bendungan dan penambangan.
Ia mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 591/41 Tahun 2018 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo.
Padahal, kajian dari sejumlah kalangan menyebutkan kalau pembangunan Bendungan Bener cacat prosedural dan melanggar aturan lainnya. Diantaranya melanggar undang-undang nomor 17 tahun 2017 tentang Sumber Daya Air. Karena penambangan dapat merusak 27 titik sumber mata air di Desa Wadas.
Begitulah pemerintahan dalam sistem demokrasi. Pemerintahan untuk rakyat hanya klaim. Kenyataannya pemerintah mengangkangi hak rakyat, bahkan melanggar peraturan yang mereka buat sendiri. Dapat diduga kuat bahwa proyek ini pun dilakukan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan korporasi sebagaimana kebijakan pemerintah lainnya.
Kejadian yang menimpa warga Desa Wadas mengingatkan kita pada kisah mahsyur di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab dahulu. Saat itu Wali Mesir (setingkat gubernur), Amr bin al ‘Ash hendak mendirikan masjid. Sebagaimana yang kita ketahui, masjid adalah fasilitas umum. Artinya rencana tersebut untuk kepentingan masyarakat.
Namun pembangunan masjid itu terganjal satu masalah. Tempat dimana masjid akan dibangun terdapat rumah seorang yahudi. Pemerintah pun bermaksud membeli tanah orang yahudi itu dengan harga yang tinggi. Namun kakek tua itu tidak bersedia menjual tanahnya. Dia terus didesak untuk menjual tanahnya. Hingga akhirnya tanah itu terpaksa dilepaskannya.
Dalam keadaan sedih karena merasa dizhalimi, lelaki tua itu menemui Khalifah Umar bin Khaththab guna meminta keadilan. Ia mengadukan masalahnya kepada sang khalifah. Selesai berkisah, Khalifah Umar memberikan yahudi itu sepotong tulang unta kering yang telah digurati dua garis silang memakai pedang khalifah.
Ketika tulang itu sampai ke tangan Amr, bergetarlah ia. Ia menangis sembari beristighfar berkali-kali. Ia memahami makna benda itu, bahwa khalifah sedang mengingatkannya untuk berbuat adil pada rakyatnya. Jika Amr lalai, maka pedang khalifah siap menghukumnya.
Siapapun yang sudah mempelajari sistem politik Islam, akan memahami betapa jauh berbeda sistem politik demorkasi sekuler ala barat dengan aturan Allah swt. Islam menjamin kepemilikan individu. Hak milik rakyat harus dihargai dan dihormati, meski dia non muslim dan orang lemah sekalipun. Tak boleh ada pihak manapun yang mencederai hak milik rakyat termasuk negara. Justru negara-lah yang wajib memberi perlindungan atas hal itu.
Perkara ini dijelaskan dalam Kitab Nizhamul Iqtishadi karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani. Sebaliknya, atas nama proyek pemerintah yang diduga kuat merusak alam dan merugikan rakyat sehingga rakyat menolaknya, tetap saja proyek tersebut dipaksakan berjalan. Disinilah kita menyadari bahwa keadilan hanya bisa diwujudkan oleh sistem Islam. (*)