Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Sekretaris RMI NU DKI Jakarta/Ketua LTN PCNU Jakarta Utara, (*)
JIKA tidak ada aral melintang, Jumat s.d Ahad, 2-4 April 2021 PWNU DKI Jakarta akan mengadakan Konferensi Wilayah (Konferwil) XX untuk memilih rais syuriyah dan Ketua Tanfdiziyah yang baru. Dari pemilihan ini, yang paling disorot dan menjadi perhatian besar adalah pemilihan ketua Tanfidziyah karena menjadi pemimpin eksekutif yang menjalakan roda organisaasi NU.
Ketika rapat panitia konferwil tersebut, saya mengusulkan agar semua bakal calon Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta diberikan ruang untuk memaparkan visi, misi dan programnya, baik melalui talk show atau bentuk acara lainnya agar peserta konferwil mengenal bakal calon lebih baik lagi, tidak seperti memilih kucing dalam karung, untuk kemajuan NU di Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usulan saya dikabulkan: ada talkshow untuk bakal calon dan bakal calon juga turun ke Pengurus Cabang NU (PCNU) di berbagai wilayah di DKI Jakata untuk menyampaikan visi, misi dan programnya.
Dan saya termasuk Nahdliyyin yang beruntung karena bisa menghadiri acara roadshow sebagian bakal calon di wilayah tempat saya tinggal, di Kantor PCNU Jakarta Utara yang kebetulan saya menjabat sebagai Ketua Lembaga Talif wa Nasyr (LTN) PCNU Jakarta Utara.
Saya menyimak beberapa pemaparan visi, misi dan program sebagian bakal calon tersebut yang beragam latar belakangnya: akademisi, aktivis, politisi dan birokrat.
Dalam sejarah perjalanannya, kepemimpinan eksekutif NU di DKI Jakarta tidak pernah jauh dari empat golongan ini: akademisi (ulama saya masukkan ke dalam golongan akademisi), politisi, aktivis dan birokrat ditambah satu golongan lagi, yaitu: pengusaha. Seperti yang saya tulis bersama rekan-rekan saya di buku NU di Jakarta: Sejarah dan Dinamika.
NU Jakarta jelas pernah dipimpin oleh akademisi atau ulama ketika NU pertama kali berdiri dengan status konsul (Konsul NU di Batavia), yaitu di kepemimpinan Guru Marzuqi Cipinang Muara yang dilanjutkan oleh Guru Manshur Jembatan Lima.
NU Jakarta juga pernah dipimpin oleh seorang kyai yang aktivis, seperti KH Zainul Arifin Pohan. NU Jakarta juga pernah dipimpin oleh seorang politisi, yaitu KH Achmad Mursyidi NU Jakarta pernah juga dipimpin oleh pengusaha, seperti H. Ir. Djan Faridz walau beliau juga seorang politisi.
NU Jakarta sering juga dipimpin oleh birokrat, seperti Dr.Ing.H.Fauzi Bowo (Sekda dan Gubernur DKI Jakarta) dan Dr. H. Saefullah, M.Pd, Sekda DKI Jakarta.
Dari contoh mereka yang memimpin NU DKI Jakarta dari kelima golongan ini, mereka bukan tokoh kecil, mereka adalah tokoh-tokoh besar, yang memiliki gaya yang khas dalam membesarkan NU di DKI Jakarta, mereka telah memimpin dengan sepenuh hati. Namun sayang, tidak banyak karya intelektual dan karya sosial yang mereka tinggalkan untuk Nahdliyyin di Jakarta selain kantor PWNU DKI Jakarta yang sekarang lebih bagus dari sebelumnya.
Padahal, PWNU ini berada di Ibu Kota Negara Kesatuan Republika Indonesia, pusat pemerintahan dan bisnis nasional, tapi tidak satu rumah sakit pun dan tidak ada satu pun lembaga pendidikan yang bergengsi yang terbangun atas nama NU DKI Jakarta. Hal dikarenakan mereka tidak mempunyai waktu banyak untuk memperkuat kemitraan dengan pihak lain, menggalang dan membangun NU di dan dari akar rumput: dari anak ranting, ranting, MWC dan PC. Bahkan setingkat Pengurus Cabang NU (PCNU) baru satu wilayah yang punya kantor, yaitu PCNU Jakarta Utara, PC-PC lainnya masih numpang di tempat pengurus atau tempat lainnya.
Akhirnya, setelah saya mendengar paparan visi, misi, dan janji-janji program para bakal calon pimpinan PWNU DKI Jakarta yang akademisi, politis, aktivis dan birokrat itu, saya dan juga mungkin sebagian besar warga Nahdliyyin di Jakarta berharap agar yang terpilih sebagai pemimpin atau Ketua PWNU DKI Jakarta adalah dia yang dapat memimpin dengan sepenuh hati, sepenuh waktu dan setepat janji jika ingin NU di Jakarta maju pesat, tidak jalan di tempat.
Semoga harapan ini didengar oleh para peserta Konferwil XX PWNU DKI Jakarta yang mempunyai hak suara. (*)