OPINI | POLITIK
“Tapi bagi mereka yang terdidik tinggi yang jumlahnya jutaan tak cukup layak disebut seperti itu. Itu kata yang sangat pahit yang diharapkan bisa menggerakkan karena di tangan mereka sebenarnya wajah bangsa dan nasib rakyat,”
Oleh : Hasbi indra
PENULIS mencoba menjelaskan hal itu dari hasil analisis apa yang terjadi paling tidak dua dekade ini yang bila disebut hasilnya menggambarkan bangsa ini berada di kolam kebodohan kolektif yang bisa diciterakan seperti itu.
Bila itu benar penulis juga bagian dari yang diciterakan semacam itu, apa boleh buat ikut menanggungnya dan tak mengapa asal menjadi kesadaran bersama. Minimal tulisan ini bentuk mengingatkan bagi bangsa yang sudah berbudaya pendidikan, sebaiknya bukan berbudaya koruptip dan bukan budaya menyakiti diri sendiri sebagai manusia di bangsa ini.
Bangsa yang tampak tak bisa mengolah SDA yang dimiliki sehingga tak bisa memaksimalkan kekayaanya untuk rakyat. Selama merdeka di 78 tahun ini bangsa juga merasakan kegagalan SDM yang dimiliki dengan jutaan kaum sarjana yang terkesan tak bisa mengolah ekonominya, melaksanakan hukum dengan rasa keadilan yang dirasakan rakyat dan pelaksanaan demokrasi yang belum menunjukkan bangsa yang demokratis yang rakyatnya masih merasakan ketakutan menyatakan suaranya.
Rakyat tak layak menyaksikan seperti itu yang tercitra di kolam yang naif. Tapi kebodohan di negeri ini bisa kurban dari sikap manusia materialistik dan tipisnya patriotisme anak bangsa dan tipisnya kemanusiaan. Bagi rakyat awam yang dilanda cap itu mungkin itu bisa jadi. Tapi bagi mereka yang terdidik tinggi yang jumlahnya jutaan tak cukup layak disebut seperti itu. Itu kata yang sangat pahit yang diharapkan bisa menggerakkan karena di tangan mereka sebenarnya wajah bangsa dan nasib rakyat.
Di tengah mereka yang punya kepentingan materialustik sehingga tak berfikir sehat tentang layaknya bangsa dan nasib rakyat dan citarasa sang pemimpin bangsa tak mengapa berada dicitarasa mereka yang sedang menguasai asset ekonomi bangsa ini.
Menganalisis siapa yang sedang mengendalikan negeri ini, tak mungkin kaum polisi atau militer tak mungkin politisi, intelektual kampus yang sangat mungkin adalah penguasa uang yang menguasai asset ekonomi bangsa atau rakyat. Inilah yang seharusnya mudah dipahami oleh manusia terdidik tinggi di birokrasi, parlemen di partai ormas, kampus yang lebih tajam melihatnya dan menjadi sikap yang tak berharap wajah bangsa buruk dan nasib rakyatnya yang puluhan juta nestapa serta penyakit lainnya.
Sang pemilik uang atau penguasa uang sedang mengendalikan umumnya media massa dan lembaga survey sejak dulu namun semakin terasa di dua dekade ini. Apa yang terjadi dengan kepemimpinan saat ini yang menghasilkan wajah bangsa yang berhutang di angka 7800 trilyun, 50O trilyun wajib berhutang setiap tahun membayar bunganya, bangsa yang korups ada di angka puluhan trilyun di Asabri dan Jiwasraya dan ada pula di angka 349 trilyun, kesenjangan ekonomi orang kaya miskin bak bumi dengan langit, kaum miskin dan mengganggur ada di angka puluhan juta, penyakit hukum dan demokrasi yang turun indeksnya
Begitu massal riuhnya media massa yang masih hidup saat ini begitu pula angka dari lembaga survey yang mendukung sang pemimpin yang bercitarasa dinasti. Termasuk kaum intelektual, budayawan ikut terpengaruh apakah yang masih hidup atau sudah wafat, yang masih hidup menunjukkan penyesalannya tiada terkira tapi nasi telah menjadi bubur.
Hasil yang dirasakan dari sang pemimpin atas kerja sebagian media massa begitu pula lembaga survey yang kini tengah memainkan peran yang sama. Baiknya hal itu menjadi pelajaran apa yang tengah menjadi idola umumnya media massa dan lembaga survey patut di ingat dan jangan lagi terpengaruh gendang yang mereka tabuh untuk menampilkan sang pemimpin yang hasilnya tak patut dicatat dalam perjalanan sejarah bangsa.
Keluar dari kerangkeng hipnotis mereka baiknya direspons dengan kecerdasan dan apa yang mereka tawarkan bukanlah pemimpin yang ideal yang sangat dibutuhkan bangsa tapi pemimpin ala penguasa uang yang menggerakkannya.
Keluar dari jebakan nereka tak memilih pemimpin yang sebagian besar media massa menampilkan dan umumnya lembaga survey yang memberi angka tinggi dari hasil survey pesanan itu. Survey yang menggerakkan manusia yang butuh uang untuk kehidupan keluarga dan anaknya ada sementara polling hasil teknologi tak bisa manusia mendesainnya. Baiknya manusia cerdas mempercayai polling ketimbang survey yang kini umumnya berada di dua mazhab yang telah menampilkan angkanya dari hasil kucuran uang pemesannya
Bangsa harus lepas dari kolam kebodohan itu. Bangsa ini bangsa cerdas sehingga bisa melepaskan diri dari penjajahan, pendiri bangsa cerdas merumuskan konstitusi negara dan era berikutnya siapa yang tak kenal sosok Habibie, Wijoyo Nitisastro, Emil Salim, Mochtar kuseumatmadja dan lainnya yang memang layak memimpin negeri ini dengan kecerdasan dan kualitasnya.
Kolam kecerdasan dipanggil kembali menggerakkan pemimpin kampus, kaum sarjana, doktor dan professor, ulama, kyai biksu pastur, pendeta yang tak layak lagi menikmati kebodohan ini. Kolam kebodohan harus mengalami perubahan ke kolam kecerdasan begitu pula citarasa sang pemimpinnya bukan memilih yang kaleng-kaleng yang tak memiliki prestasi dan juga tak bisa membanggakan bangsa di dunia internasional. Bangsa ini sudah merdeka mendekati satu abad kolam kecerdasan memiliki pemimpin yang cerdas dan itu sudah di depan mata.
Bangsa yang diharapkan menjadi negeri yang bukan mimpi meraih cita konstitusinya itulah dulu perlu merdeka yakni terwujudnya keadilan, kesetaraan dan kemakmuran rakyat. Tidak memerlukan pemimpin yang meminta tahta dengan cara penciteraan murah yang semua orang bisa melakukan berlari sambil menebar uang ke orang miskin dan penciteraan lainnya dan andalkan angka survey yang tinggi Atau yang berharap kepada sosok yang bisa melakukan abuse of powers melakukan cawe-cawe dan juga andalkan survey tinggi
Tapi pemimpin yang dikehendaki rakyat tanpa ia meminta tahta, ia hanya menampilkan prestasi kerja karenanya ia di bully oleh buzzer berbayar dan tokoh partai tertentu dan ada bentuk penjegalan dan ia yang tak disukai oleh kaum istana karena bercita perubahan, Ia tidak andalkan angka survey yang tinggi ia andalkan massa jutaan yang menyambutnya di berbagai tempat, sosok yang akan membawa kolam ke kecerdasan bangsa. Ini layaknya yang dipilih rakyat agar bangsa ini lepas dari citra kolam ketakcerdasan kolektif bangsa. Silahkan bila cukup berkenan menyebarkan gagasan ini. Bogor, November 2023. (*)
*Penulis Adalah Akademisi di UIKA Bogor