“Pemerintah masih berusaha bersikap tenang dengan kalimat-kalimat diplomatis yang dinyatakan demi menenangkan masyarakat agar tidak panik dalam menghadapi kasus Covid-19,”
Oleh: Albayyinah Putri, ST
Jakarta | Lapan6Online : Penyebaran Covid-19 masih terus berlanjut. Pemerintah berusaha untuk mengurangi kenaikan angka dari rakyat yang positif terpapar virus ini, namun tampak belum membuahkan hasil. Buktinya, Sabtu, per-4 April 2020, tercatat total keseluruhan berjumlah 2.092 orang, 191 orang meninggal dunia dan 150 orang dinyatakan sembuh.
Dengan situasi seperti ini, banyak pula keluhan yang disampaikan para pejuang garda terdepan dalam menghadapi Covid-19 ini, yaitu para tim medis yang mengaku kekurangan APD. Bahkan sebagian di antara mereka terpaksa menggunakan jas hujan yang seharga 10.000 demi menjaga diri dari infeksi virus ini.
Namun, masih banyak pula masyarakat dari berbagai kalangan membantu para petugas medis yang kekurangan APD, termasuk penyumbangan dana kepada pemerintah dalam penanganan kasus Covid-19 ini.
Dana yang disumbangkan berasal dari berbagai kalangan, di antaranya salah satu selebgram berhasil mengumpulkan dana 5 M dalam kurun waktu hanya 3 hari. Bahkan pemerintah membuka rekening khusus untuk menampung sumbangan dana dari masyarakat.
Dana yang terkumpul saat ini sudah mencapai 80 M. Fantastis memang, jika kita melihat dari sudut pandang kepedulian sosial masyarakat Indonesia.
Namun, permasalahan kompleks seperti ini, tidak bisa hanya kita lihat dari sudut pandang sosial saja, tapi kita harus melihat dari sudut pandang fungsi pemerintah dalam penanganan kasus Covid-19 yang masih belum terselesaikan.
Selain dana yang terkumpul dari hasil “gotong royong” masyarakat, Indonesia juga mendapatkan sumbangan dana dari Amerika Serikat. Seperti yang dilansir CNN Indonesia, Amerika Serikat telah mengucurkan bantuan kesehatan dan kemanusiaan darurat dalam bentuk investasi awal senilai US$2,3 juta atau sekitar Rp37,6 miliar bagi Indonesia untuk menanggulangi penyebaran virus corona (Covid-19).
Melalui situs kedutaan besar AS di Jakarta, Kementerian Luar Negeri AS menyatakan bantuan senilai puluhan miliar rupiah itu ditujukan untuk “mempersiapkan sistem laboratorium, mengaktifkan penemuan kasus dan pengawasan berbasis kejadian, serta mendukung ahli teknis dalam respons dan kesiapsiagaan” Indonesia dalam menanggulangi pandemi ini.
Sedangkan Cina, “negara sahabat” yang saat ini menjadi negara yang cukup dekat dengan Indonesia juga menyumbangkan peralatan medis demi penanggulangan corona di Indonesia. Peralatan medis dari Cina sudah tiba di Indonesia sejak 28 Maret 2020.
Hal ini lagi-lagi membuktikan tidak berdayanya Indonesia tanpa bantuan atau campur tangan asing dalam menghadapi permasalahan negara ini.
Dimulai dari kasus paramedis yang kekurangan APD, pembukaan rekening demi menerima sumbangan dari rakyat sampai asing yang ikut turun tangan dalam menangani kasus ini.
Beberapa bantuan tersebut secara tidak langsung menunjukan pemerintah sedang “keteteran” dalam menangani kasus Covid-19 ini.
Tapi anehnya, pemerintah masih berusaha bersikap tenang dengan kalimat-kalimat diplomatis yang dinyatakan demi menenangkan masyarakat agar tidak panik dalam menghadapi kasus Covid-19.
Kepedulian pemerintah terhadap rakyat tidak menjadi nomor satu, tapi rakyat dipaksa untuk peduli ketika pemerintahan sedang mengalami kesulitan. Padahal, penanganan Covid-19 ini sebenarnya tanggung jawab negara atau tanggung jawab rakyat?
Pada awal mula mencuatnya berita Covid-19 ini, Indonesia terlalu sesumbar dalam menghadapinya. Masih membiarkan pintu pariwisata internasional terbuka lebar, orang-orang asing masih bebas keluar-masuk Indonesia, TKA Cina masih diterima dengan tangan terbuka di Indonesia padahal kita semua tahu bahwa Cina merupakan negara pertama yang mengumumkan wabah ini.
Lambatnya penanganan diawal ini, akibat sistem sekuler kapitalisme yang mendahulukan materi di atas segala kepentingan. Sehingga sampai pada titik “membludaknya” wabah di Indonesia, baru pemerintah mulai bergerak menanggulanginya.
Sungguh sangat terlambat
Dalam Islam, Rasulullah SAW mengajarkan dalam hadist-nya, “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-Nya dari kalangan manusia. Apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Hal tersebut menunjukan bahwa seharusnya saat diawal wabah belum menyebar luas, negara sudah harus menutup arus keluar dan masuknya pintu pariwisata, tidak mengutamakan aspek pariwisata demi menstabilkan perekonomian negara.
Islam memiliki aturan yang kompleks dalam menghadapi permasalahan umat, termasuk mengatasi pendemi yang terjadi saat ini. Sistem Islam menjadikan pemimpin pemerintahan wajib bertanggung jawab atas tindakan pencegahan, penanggulangan dan kebutuhan masyarakat di tengah wabah Covid-19.
Dalam Islam, negara wajib melarang masuk dan keluarnya masyarakat dari tempat yang dinyatakan terkena wabah. Negara juga harus menyikapi wabah secara mandiri, tidak boleh bergantung pada negara lain . Termasuk bantuan dana dari umat, kecuali dalam keadaan terdesak . Kebutuhan fasilitas kesehatan serta kebutuhan pokok demi meningkatkan daya tahan tubuh rakyat juga merupakan tanggung jawab penuh negara. ****
*Penulis adalah Alumni Politeknik Negeri Jakarta