“Generasi tersebut tidak peduli terhadap masalah-masalah besar, tetapi suka bersantai-santai dan malas, dengan demikian apabila ia melakukan sesuatu, hanya karena ingin popularitas,”
Oleh : Najwa Nazahah
Jakarta | Lapan6Online : Sekolah, kata tersebut telah menjadi image pendidikan. Sudah umum jika berpendidikan haruslah bersekolah formal. Belajar di dalam gedung, berseragam dan bersama teman-teman.
Namun, lain ceritanya di masa pandemi Covid-19 ini. Sekolah harus tutup demi mencegah penularan virus. Para siswa diinstruksikan melakukan pembelajaran online untuk meneruskan pendidikan.
Akan tetapi, tidak semua keluarga mampu memfasilitasi pembelajaran jarak jauh ini. Keterbatasan kuota dan perangkat contohnya.
Pembelajaran via online tersebut pun ternyata tak membuahkan rasa manis. Faktanya, Siswa terbebankan dengan tugas yang lebih banyak dari biasanya.
Bahkan KPAI menerima keluhan kenaikan tensi dari siswa, “Sejak belajar di rumah tugasnya melebihi seperti sekolah, sampai tensi saya naik Pak, Bu 180/100, padahal usia saya masih 16 tahun, tapi anak seumuran saya sudah kena darah tinggi, tensi saya naik karena saya menghadap ke telepon genggam terus selama berjama-jam untuk mengerjakan tugas-tugas.” Itulah salah satu cerita siswa lewat keterangan resmi KPAI, Kamis (19/3/2020).
Tak hanya memberatkan siswa, guru dan orang tua pun ikut terseret. Tak semua guru paham konsep pembelajaran via online yang berakhir hanya pemberian tugas pada murid. Guru juga tidak mendapat fasilitas kuota dan perangkat. Hal tersebut, membuat orang tua mau tak mau harus mengurus lelahnya pembelajaran via online, ditambah biaya sekolah bagi swasta yang ternyata tidak ada penangguhan. Salah satu alasannya listrik yang tetap dinyalakan tiap hari.
Apakah hal tersebut merupakan konsekuensi dari menyekolahkan siswa di swasta? Mari kita ulik Penerimaan Peserta Didik Baru tahun ini. Belum selesai dari masalah zonasi tahun lalu, kini sistem PPDB memprioritaskan usia sebagai syarat utama diterimanya peserta didik ke sekolah negeri. Ditambah, beberapa sekolah yang menekan kuota murid yang ditampung sekolah.
Hal ini memicu banyak keluhan. Contohnya Tri Agustina yang akan memasukkan anaknya ke SMP. Ia pun menyampaikan kekecewaannya karena merasa perjuangan anaknya bahkan sia-sia.
“Dari kelas 4, anak saya sudah les sampai sore agar nilai rapotnya selalu tinggi dan bisa masuk SMP negeri, tahu-tahunya batasan usia yang diprioritaskan. Jadi perjuangan anak saya belajar semaksimal mungkin kayak sia-sia,” ujar Agustina orang tua dari anak berusia 12 tahun.
Hal ini sangat menjatuhkan mental siswa, terlebih yang sudah mati-matian mengejar prestasi atau sudah menargetkan diri agar mudah masuk ke sekolah/perguruan tinggi di jenjang berikutnya.
Jalur akhir ialah swasta, namun itu pun bila keluarganya mampu menyekolahkan ke sekolah swasta. Terlebih, di situasi wabah ini, hampir seluruh keluarga tidak memiliki regulasi keuangan yang baik dan berharap bisa memasukkan anaknya ke sekolah negeri untuk memotong pengeluaran.
Lantas bagaimana nasib keluarga yang tidak mampu? Menganggur setahun/dua tahun apakah jawabannya? Orang tua dan murid yang telah lelah akan buruknya sistem pendidikan terbesit akan sebuah pertanyaan, apakah mungkin ada pendidikan yang berkualitas? Pendidikan bebas biaya, memang bisa?
Apabila kita mengajukan pertanyaan tersebut pada sistem sekarang. Tentu jawabnya TIDAK.
Sekolah sekarang hanyalah bentuk kapitalisme barat. Mereka menghancurkan Islam dengan pendidikan dan meraup keuntungan di dalamnya. Dengan ide sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) inilah mereka mendidik anak-anak kita. Cetakan mereka abstrak, apakah lebih mementingkan intelektual ataukah nilai moral. Haruskah berguna dalam kehidupan atau berpendidikan tinggi.
Maka tidak bisa dipungkiri, predikat pelaku narkoba, HIV, Seks bebas, aborsi, bunuh diri adalah bentuk degradasi moral murid-murid kapitalis. Serangan ide tersebut juga mengenai guru. Guru merasa tidak dihargai, tidak dibayar dengan layak, bekerja di luar kemampuan sehingga merusak fisik dan mental. Hal ini menghancurkan, bahkan membutakan cahaya Islam yang bersinar dengan terangnya selama berabad-abad.
“Kalian telah mempersiapkan suatu generasi yang tidak mengenal hubungan dengan Allah dan tidak mau tahu tentang itu. Kalian harus mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya. Dia tidak usah dimasukkan ke dalam agama Kristen. Kelak akan datang suatu generasi yang mentalnya persis yang dikehendaki penjajah.
Generasi tersebut tidak peduli terhadap masalah-masalah besar, tetapi suka bersantai-santai dan malas, dengan demikian apabila ia melakukan sesuatu, hanya karena ingin popularitas. Jika menduduki posisi tinggi, hanya karena popularitas. Ia akan mengerahkan apa saja demi popularitas.” Inilah yang dikatakan Misionaris Samuel Marinus Zwemer pada teman-temannya dalam konferensi yang diselenggarakan di Al-Quds Islamiyah. (hidayatullah. com)
Sungguh hina sekali, betapa menyedihkan hancurnya Islam melalui sekularisasi pendidikan. Padahal, harapan orang tua kita menyekolahkan anak dengan biaya yang tak murah selama minimal 10 tahun demi menjadi yang terbaik, kandas diterjang ide ide busuk ini. Lantas bagaimana solusi Islam untuk hal ini? Yang bisa mengukir keindahan cahaya pendidikan dalam sejarah.
Islam memandang, aktivitas menuntut ilmu sebagai ibadah dan suatu kewajiban bagi kaum Muslim. Dan negara adalah penanggung jawab yang wajib menyediakan pendidikan GRATIS serta BERKUALITAS bagi masyarakat.
Dalam Islam, seorang pemimpin/khalifah bertanggung jawab dan ditanggung sepenuhnya dalam pembiayaan pendidikan melalui baitul maal. Yang secara garis besar terbagi dua, yaitu untuk gaji dosen/guru/ karyawan dan untuk membiayai sarana dan prasarana pendidikan.
Bila kita melihat contoh di Masa KeKhalifahan Umar bin Khattab, Khalifah Umar memberi gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing masing sebesar 15 dinar, atau bila dirupiahkan menjadi Rp 31.875.000,00. Wah, besar sekali. Pantastik bukan? Inilah sebuah contoh pentingnya pendidikan di mata Islam.
Untuk mencapai hal itu, tentu saja kita perlu negara yang menaungi kita dengan sistem spesial. Sistem yang berasal dari Sang Pencipta, yaitu Sistem kekhilafahan Islam. Sistem inilah yang memuliakan dan memandang rakyatnya sebagai amanah yang perlu dijaga, bahkan sampai pendidikannya.
Maka, untuk menggapainya, mari bersama-sama menyadarkan umat akan rusaknya hari ini. Betapa tidak normalnya kehidupan kita sekarang ketika tiada tegaknya khilafah. Maka dari itu, mulailah dari sekarang kita senantiasa berjuang untuk menegakkannya. Semoga Allah memberi kemudahan dan kelancaran di setiap aktivitas kita. Amiin. ****
*Penulis Adalah Pelajar di Kota Depok