OPINI | POLITIK
“Semestinya para ahli hukum prioritas untuk support agar KPK segera dibersihkan dari anasir residu peninggalan jejak perilaku Jokowi yang amat kotor disertai fakta sosial “notoire feiten notorius” atau sepengetahuan umum sosok pribadi “nir adab”
Oleh : Damai Hari Lubis
PENGAMAT hukum dari Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf menyatakan:
“Proses hukum yang akan dihadapi Hasto masih panjang. Ketimbang koar-koar narasi politisasi, sebaiknya PDIP mempersiapkan bukti-bukti yang bisa memenangkan Hasto di persidangan kelak. Kenapa jadi kebakaran jenggot, jangan lah santai aja ya kan”
Selanjutnya, sang pengamat menyatakan PDIP untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Seraya meyakini lembaga antirasuah sudah bekerja profesional dalam mengusut kasus Harun Masiku.
“PDIP harus menghormati KPK, apa yang diputuskan oleh KPK ya harus dihormati. Jangan sebentar-sebentar memberikan tanggapan, yang seakan-akan dikriminalisasi atau dipolitisasi dan lebih bijak dalam bersikap, mengingat status Hasto saat ini masih tersangka belum terdakwa apalagi terpidana.
Sehingga nyata saran sang pengamat cukup aneh picek bahkan nyaris buta, perspektif alasan hukumnya:
- PDIP pastinya sebuah partai, namun diminta kesampingkan unsur politik? Padahal politik tidak terpisah dari hukum (politik hukum);
- Bagiamana bisa KPK dinyatakan profesional, sedangkan saat ini baru mulai mengungkap tuduhan keterlibatan Hasto Sekjen PDIP. dan nyata sidah tetapkan TSK namum sampai saat ini, masih terbebani mencari (penyidikan) alat bukti-bukti untuk dapat dipersembahkan kepada JPU Tipikor;
- Dan pembelaan diri dengan berdasarkan dalil hukum kepada publik kepada media adalah bentuk upaya ekspresi hukum terhadap publikasi KPK yang juga melalui media.
Bahwa profesi pengamat hukum memang harus tajam dan kritis, salah satu kegiatan ilmiah yang halal di negara demokrasi, selebihnya narasi sebagai implementasi kebebasan menyampaikan pendapat dan peran serta masyarakat, juga sumbangsih ilmu pengetahuan hukum tentang sistim hukum namun tidak etis apabila sisi pandangnya skeptis dan (subjektif), dari keharusan tata cara pelaksanannya yang selalu bersandar asas legalitas dan atau legal standing penegak hukum (procedures for implementing the law) bukan atau tidak untuk penyesatan hukum.
Namun, khusus perspektif yang justifikasi pola kinerja KPK yang sering menerapkan sistim hukum dengan metode yang banyak tidak berkesesuaian dengan sistim hukum yang berlaku (ius konstitum) melainkan pola sungsang, mirip metode politik hukum (diskeresi) Jokowi yang riil tebang pilih dan suka-suka (behavioral factors), yang relaitas adanya gejala faktor notorius (keburukan), sebab KPK banyak mempraktikkannya secara transparansi metode proses hukum dengan pola pembiaran (sengaja dibuat stagnasi) terhadap peristiwa proses hukum atas beberapa laporan publik kepada KPK terhadap Gibran, Kaesang, dan Bobby. Hal stagnasi ini dilakukan dengan segala alasan hukum yang mengada-ada, diprediksi adanya unsur-unsur intervensi kepada KPK sebagai wujud obstruksi kepada keluarga dan kongsi (oligarkinya) Jokowi, namun sudah kewajiban KPK untuk menolak segala unsur-unsur intervensi dan atau keberpihakan .
Kenapa seperti sengaja (berkesan politisasi), justru perilaku KPK yang semau udelnya, tidak disentuh oleh pengamat Hudi Yusuf? Terkait tentang KPK yang diketahui publik dan general, malah yang nampak KPK justru sibuk merekayasa bakal cawapres sebelumnya (Gibran dan Kaesang) yang terindikasi korupsi (gratifikasi dan money laundry), sebaliknya KPK berupaya menganulir tanpa dalil, terkait reward WTP ( Wajar Tanpa Pengecualian) terhadap laporan keuangan Anies selaku Gubernur DKI Jakarta, oleh BPK setiap tahunnya (5 kali dalam 5 tahun). Seharusnya hasil audit BPK menjadi rujukan KPK.
Dan terhadap tuduhan KPK soal suap yang diterima Hasto (gratifikasi) walau si pelaku penerima suap sesuai putusan yang inkracht mengaku, “tidak pernah diberikan uang atas nama Harun Masiku”, justru Hasto malah dikenakan pasal obstruksi dengan status resmi Tersangka/ TSK terhadap pasal korupsi?
Berapa faktor nominal kerugian keuangan negara? Berapa nilai suapnya ? Ternyata KPK belum mendapat kepastian total kerugian negara atau total jumlah suap, KPK belum akuntabel sesuai ketentuan undang-undang, baru sekedar estimasi masih obscur, vide Pasal 2 ayat (1) UU KPK. Jo. Pasal 5 angka 4 UU. Nomor 28 Tahun 1999.
Ternyata status TSK Hasto yang diterbitkan KPK unsur-unsur hukumnya tidak terpenuhi (prematur) Jo. KUHAP, faktanya hingga kini KPK masih sibuk mencari alat bukti sebagai dasar penetapan TSK?
Secara sejarah dan sosiologi hukum (masih berjalan) penetapan TSK Hasto rupanya tergesa-gesa, walau KPK tidak serius karena kasusnya sudah 5 tahun, sejak Januari 2020-2025, hingga membuat mantan Presiden ke 5 Ketum PDIP pantas menjadi kesal dan lantang membela Hasto sang Sekjen, sikap Megawati karakteristik menjadi representatif seluruh unsur partai yang ideal melalui seorang Ketua Umum, sebagai bentuk komunikasi publik (presentasi) yang role model dalam bentuk totalitas dan moralitas yang merupakan konsekuensi dan konsistensi seorang yang memiliki jiwa pemimpin.
Lalu andai pengamat dari universitas yang seharusnya ikut menyaksikan banyaknya fenomena berikut gejala-gejala praktik penegakan hukum oleh KPK yang tebang pilih, KPK identik mengkerdilkan sistim hukum yang hakikatnya perilaku KPK adalah merupakan obstruksi dalam bentuk disfungsi terhadap fungsi tujuan dan kewenangan KPK. Lalu mengapa Hudi Yusuf malah sebaliknya men-justifikasi KPK seolah KPK bertindak sesuai koridor hukum.
Kenapa selaku pengamat picek atau buta, tidak update berita, seolah cukup menggunakan kacamata subjektivitas dalam memantau sepak terjang KPK selama ini, oleh karenanya “pengamat buta?”, akan berimplikasi highrisk , akan membahayakan banyak publik bangsa ini.
Namun nice, andai subjektivitas disampaikan secara kritis dengan menggunakan analogi yang dikemas disertai ilustrasi-ilustrasi yang disampaikan secara positif (benar).
Sehingga secara moralitas pengamat “picek” berpotensi melanggar HAM yang dimiliki seseorang, dalam hal ini Hasto Kristiyanto, yang radikal melawan dengan pola tidak apriori, sebaliknya disertai segudang data dan bukti (empirik) dirinya di kriminalisasi atau character assassination yang jika Hasto tidak radikal melawan akan bermuara di sel penjara.
Memenjarakan orang secara melawan hukum adalah pelanggaran berat, karena kerugiannya adalah lahir dan batin. Maka disarankan kepada pengamat Hudi Yusuf jangan lah berkelakar hukum tanpa dalil, hanya dengan argumentatif picisan (subjektif) berupa judge belaka.
Kausalitas pola pengamatan model picek, dipastikan hasilnya akan zonk kualitas, bahkan muncul tuduhan publik bahwa pengamat memiliki kepentingan politik fragmatis, melalui rekayasa politik sekedar mengendor, agar citra partai PDIP dihadapan kader dan para simpatisan serta general dimata publik, termasuk berdampak negatif kepada sosok Megawati dan Para elit politik yang setia kepada PDIP
Pengamat politik dan hukum yang bijak (objektif) yakin tidak akan melupakan sejarah hukum, dalam hubungannya terhadap faktor sosok pribadi pelanggan pelanggar hukum, figur yang yang kesal, dendam dan marah karena sirna kesempatan politiknya untuk mencalonkan diri sebagai Ketum PDI. sosok pribadi obsesi (delusi) yang hendak memangku jabatan 3 periode?
Jika pengamat tak menyadari atau bahkan tak tahu (terhadap) adanya peristiwa wacana makar konstitusi ini dan siapa subjek hukum pelakunya, maka publik yang sarkasme menyatakan sang pengamat ‘sengaja membutakan sejarah politik hukum” dan melupakan betapa patuhnya KPK terhadap sang figur delusional. Karena sejatinya seorang pengamat harus luas wawasan dan melulu objektifitas dan tidak boleh berkesan tidak tahu eksistensi KPK dalam law enforcement (bad behavior KPK) dengan model penegakan hukum yang semu, bahkan telanjang mata bahwa KPK berpolitik praktis atau disfungsi. Serta terdapat bukti pure hukum, kualitas Ketua KPK saat menjabat melakukan pemerasan dan saat ini menjadi TSK namun tak di kurung dalam sel?
Semestinya para ahli hukum prioritas untuk support agar KPK segera dibersihkan dari anasir residu peninggalan jejak perilaku Jokowi yang amat kotor disertai fakta sosial “notoire feiten notorius” atau sepengetahuan umum sosok pribadi “nir adab”.
Saran, hendaknya para pakar (pengamat) hukum (praktisi akademisi dan kaum profesionalisme advokat) dan para aktivis atau masyarakat peduli penegakan hukum untuk mendesak institusi penyelenggara negara (legislatif dan eksekutif) untuk segera melahirkan revolusi hukum terbatas (reformasi) terhadap sistim hukum (UU. Tipikor) dan persyaratan jejak digital calon komisioner KPK diperketat, yang ada diistirahatkan sementara , dibutuhkan correct retest, selanjutnya kelak para sosok komisioner harus yang anti kemunduran mental atau jangan para subjek yang pro revolusi mental ala sungsang Jokowi. (**)
*Penulis Adalah Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)