“Tidak dibenarkan keberadaan lembaga-lembaga unit pelaksana teknis fungsi negara seperti rumah sakit ataupun laboratorium dijadikan sumber pemasukan kekayaan negara,”
Oleh : Siti Ningrum, M.Pd
Jakarta | Lapan6Online : Kesehatan merupakan hal yang paling utama dalam kehidupan manusia pada umumnya. Namun terkadang kita melupakan nikmat sehat itu dan menganggapnya sebagai hal yang sepele.
Barulah di tahun 2020 saat wabah corona ini kita semua tersadarkan betapa luar biasa nikmat sehat yang Allah berikan secara cuma-cuma itu.
Terbukti dengan adanya wabah virus corona, setiap orang menjadi takut sakit. Berusaha sekuat tenaga untuk menjaga pertahanan dan imunitas tubuh mulai dari menjaga kebersihan makanan, menjaga wudlu sampai mengatur pola hidup sehat.
Dalam layanan publik, pemerintah sudah semestinya memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Bagi pemerintah, bidang kesehatan ini harus menjadi perhatian khusus karena masyarakat berhak mendapatkan layanan kesehatan dengan baik.
Namun di Indonesia, bidang yang satu ini selalu menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai. Sejak tahun 2013 layanan bidang kesehatan menjadi polemik, di mana pemerintah menetapkan pembiayaan kesehatan masyarakat dengan BPJS.
Masyarakat wajib membayar iuran BPJS dengan besaran dan kategori kelas yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun pelayanan yang diterima oleh masyarakat tidak sesuai dengan harapan.
Rumitnya administrasi, pelayanan yang tidak nyaman sampai defisit anggaran yang tidak terkontrol. Banyak rumah sakit yang belum dibayarkan haknya oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Slogan saling menolong ternyata tidak begitu tidak berdampak dan dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat justeru merasakan kerumitan-kerumitan saat memakai kartu BPJS. Bahkan ada obat-obatan atau penyakit tertentu yang tidak bisa ditanggung oleh BPJS. Sungguh ini menjadi fakta yang sangat menyakiti hati masyarakat.
Masyarakat tetap saja harus mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit.
Akhirnya pihak rumah sakit dan BPJS saling melempar kesalahan.
Mengawali tahun 2020 masyarakat mendapatkan kado pahit. Dimana layanan kesehatan atau BPJS diberlakukan naik, tidak tanggung-tanggung, kenaikannya mencapai 100 persen.
Hal ini tentu saja mendapatkan respon luar biasa dari masyarakat. Di satu sisi, harga kebutuhan pokok kian melambung tinggi dan pembayaran listrik sudah lebih dahulu naik. Begitupun dengan pajak.
Tidak ketinggalan, BPJS ikutan naik. Tak heran, kondisi ini membuat masyarakat semakin gerah dan menjerit.
Berbagai pihak pun kemudian mengajukan judical review ke MA (Mahkamah Agung), di antaranya Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia.
MA mengeluarkan keputusan dan mengabulkan uji materiel Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Keputusan itu sekaligus membatalkan kenaikan iuran BPJS.
“Ini kabar baik bagi masyarakat Indonesia. Sejak awal DPR menolak kenaikan iuran BPJS. Terutama bagi masyarakat kelas menengah kebawah. Kami sangat mengapresiasi putuan MA ini,” kata Nadlifah. (Tribunnews.com 10-03-2020) Keputusan MA membatalkan kenaikan BPJS adalah hal yang sangat tepat.
Mengingat banyak masyarakat yang keberatan jika hal itu terjadi. Tidak terbayangkan jika BPJS tetap naik sesuai dengan keinginan pemerintah.
Mantan Dirut RSU dr Soetomo ini menjamin, standar pelayanan rumah sakit tetap baik. Karena naik atau turunnya iuran BPJS tidak akan mengubah standar pelayanan rumah sakit.
“Intinya di situ, rumah sakit tetap tidak ada pengaruh. Standar pelayanan tetap baik dan tetep ditingkatkan. Apalagi, seluruh rumah sakit sudah terakreditasi”.
Dodo berharap, BPJS segera membayar utang di rumah sakit. Karena, bila berbulan-bulan molor, bisa-bisa rumah sakit kolaps, khususnya rumah sakit swasta yang punya masalah keuangan. (Kronologi.id.10-03-2020)
Lain halnya dengan pihak pemerintah, ketika Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu, menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan keputusan tersebut lantaran dapat memengaruhi ketahanan lembaga asuransi negara.
“Keputusan membatalkan satu pasal saja itu mempengaruhi ketahanan dari BPJS Kesehatan,” kata Sri Mulyani di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Selasa (10/3). (Katadata.co.id)
Dari realita ini dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah mendasari perhitungan untung rugi jika berbicara tentang kewajiban terhadap masyarakat.
Itulah karakter asli kapitalisme sehingga membuat pemerintah abai dalam kaitan tanggung jawab mengurus rakyat. Pemerintah seolah ingin mengambil hak rakyat yang seharusnya diberikan. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang dasar 1945.
Apalagi negara Indonesia yang Sumber Daya Alamnya (SDA) melimpah ruah, mulai dari emas, barang tambang, kekayaan laut juga hasil hutannya. Sudah selayaknya, dengan SDA yang kaya ini, pemerintah memberi bayak hal bagi kesejahteraan rakyat.
Bila saja SDA tersebut dikelola dengan tepat dan proporsional dengan mengambil model islamic rule, maka negara Indonesia tidak perlu mengambil pungutan apa pun dari rakyatnya.
Hal ini pun dijamin oleh Undang-undang dasar 1945 dalam pasal 33 ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun demikian, fakta empiris berbeda tajam bahwa yang menikmati kekayaan alam Indonesia hanya segelintir orang yang bukan pribumi alias asing.
Jaminan kesehatan dalam Islam
Dalam Islam makna jaminan diartikan sesuai teori dan fakta. Jika memang negara wajib menjamin kesehatan rakyat, artinya negara bertanggung jawab penuh memberi jaminan seluruhnya untuk rakyat. Negara tidak akan memungut biaya pada perkara yang sudah disebut dengan ‘jaminan’.
Kesehatan merupakan salah satu layanan yang wajib dipenuhi negara kepada rakyatnya. Ada beberapa perbedaan mendasar antara jaminan kesehatan kapitalisme dan Islam.
Pertama, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan.
Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat mengatakan, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Dalam konteks negara yang mengacu kepada sistem kekhilafahan sebagaimana yang pernah dijalani para Khulafaur Rasyidin, program JKN’BPJS dan program lain dengan tujuan komersialisasi kesehatan itu tidak dibenarkan dengan alasan apapun.
Kedua, negara bukan regulator, akan tetapi pihak yang secara penuh bertanggung jawab langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan publik yang dapat diakses gratis lagi berkualitas.
Muhammad Rasulullah SAW menegaskan, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Artinya, negara bertanggung jawab langsung dan penuh terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas, para dokter ahli berikut obat-obatan, dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan, serta sebarannya hingga ke pelosok negeri.
Ketiga, fasilitas kesehatan baik puskesmas dan rumah sakit pemerintah adalah institusi teknis pelaksana fungsi negara sebagai raa’in atau pelayanan pemenuhan hajat publik terhadap pelayanan kesehatan.
Karenanya wajib dikelola negara secara langsung di atas prinsip pelayanan kepada rakyat. Sebagaimana perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallaam sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah, termasuk masalah pelayanan kesehatan.
Keempat, model pembiayaan kesehatan antidefisit tanpa membebani publik, rumah sakit dan insan kesehatan sepeser pun.
Yaitu model pembiayaan berbasis baitul mal dan bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran sepenuhnya berlandaskan ketentuan syariat. Artinya, tidak dibenarkan keberadaan lembaga-lembaga unit pelaksana teknis fungsi negara seperti rumah sakit ataupun laboratorium dijadikan sumber pemasukan kekayaan negara. Juga tidak dibenarkan penggunaan anggaran berbasis kinerja, apa pun alasannya.
Itulah Sistem Islam yang mulia yang akan memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada rakyatnya.
Islam begitu sempurna dan tidak ada alasan untuk tidak mempraktikan islam secara kaaffah dalam semua aspek kehidupan termasuk bidang kesehatan. Jika Islam sudah mempunyai aturan berarti sudah menjadi keharusan bagi kita untuk tunduk dan mengimplementasikannya.
Allah swt berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 21; “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Allah swt berfirman dalam QS. Al-Ma’idah ayat 50; Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”.Wallohualam Bishowab. GF/RIN/Lapan6 Group
*Penulis adalah Praktisi pendidikan dan pengamat sosial