Perda Berantas LGBT, Solusi atau Sekadar Formalitas?

0
9
Nanda Nabila Rahmadiyanti/Foto : Ist.

OPINI

“Akankah solusi tersebut efektif untuk memberantas LGBT?
LGBT merupakan buah dari sistem sekuler yang diterapkan hari ini, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan,”

Oleh : Nanda Nabila Rahmadiyanti

AWAL tahun 2025 dibuka dengan berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat sedang mengkaji pembentukan peraturan daerah (perda) yang diharapkan dapat memberantas penyakit masyarakat terutama LGBT di Ranah Minang.

Menurut Nanda, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumbar, langkah ini bisa menjadi sebuah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat di daerah yang dikenal dengan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang berarti “Adat berdasarkan agama, agama berdasarkan kitab Allah”.

Selain pembentukan peraturan, DPRD juga mendesak pemerintah untuk memasifkan sosialisasi terkait bahayanya perilaku menyimpang seksual khususnya LGBT yang berkaitan erat dengan penyakit menular dan HIV/AIDS. Sosialisasi direncanakan akan disebarkan melalui baliho dan Videotron milik pemerintah.

Akankah solusi tersebut efektif untuk memberantas LGBT?
LGBT merupakan buah dari sistem sekuler yang diterapkan hari ini, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini menumbuh suburkan perilaku menyimpang seksual termasuk di dalamnya LGBT.

Terlebih lagi sistem ini mengaitkan orientasi seksual ini dengan hak asasi manusia yang makin mengukuhkan kebebasan. Mereka bebas berbuat sekehendak hatinya selama tidak mengganggu orang lain, dan tidak boleh ada orang lain untuk mencampurinya, karena dinilai melanggar HAM.

Tentu saja keinginan adanya peraturan daerah untuk memberantas LGBT adalah keinginan yang sangat baik. Namun hal ini tidak akan efektif karena sudah begitu banyak perda syariah yang dibuat daerah tapi terus menerus dipermasalahkan pihak pihak tertentu.

Bahkan ada yang dibatalkan oleh pemerintah pusat karena dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi dalam sistem demokrasi sekuler, bukan Islam yang menjadi acuan, tetapi HAM. Sehingga peraturan pemberantasan LGBT akan dianggap bertentangan dengan HAM.

Dasar pembuatan hukum yang batil tidak akan mampu memberikan solusi tuntas atas permasalahan manusia, terlebih lagi bersumber pada akal manusia yang lemah. Ketika Islam tidak dijadikan standar hukum dan perilaku, maka hawa nafsu menjadi penentu.

Akibatnya, orang berlomba memenuhi kebutuhan naluri dan jasmani sesuka hatinya, menghilangkan ketakwaan individu, serta melegalkan perilaku menyimpang dengan alasan HAM dan kebebasan.

Islam menyatakan dengan tegas bahwa LGBT merupakan suatu keharaman, suatu bentuk kejahatan yang keji (fahisyah). Tak hanya penyimpangan orientasi seksual, namun dampaknya melebar seperti banyaknya penyakit menular seksual dan menyalahi fitrah manusia untuk melestarikan keturunan.

LGBT hanya akan dapat diberantas dengan tuntas ketika Islam diterapkan secara menyeluruh. Islam memiliki hukum tertentu sesuai syariat Allah terkait sistem pergaulan/sistem sosial, yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dan orientasi seksualnya. Islam memiliki mekanisme tiga pilar tegaknya aturan Allah yang akan mencegah adanya LGBT.

Pertama, individu bertaqwa yang memahami perilaku halal dan haram. Sehingga tidak akan mendekati perbuatan keji seperti LGBT.

Kedua, masyarakat yang menerapkan amar ma’ruf nahi munkar, saling mengingatkan dan mencegah munculnya bibit penyimpangan di lingkukannya.

Ketiga, negara yang akan menjadi pelindung dan penjaga umat agar tetap berada dalam ketaatan pada Allah termasuk dalam sistem sosial. Negara akan menutup rapat setiap celah yang akan membuka peluang pelanggaran hukum syara.

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Selain bentuk pencegahan, Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan atas pelanggaran hukum syara termasuk dalam penyimpangan orientasi seksual.

Bisa berupa hukuman ta’zir, hukum cambuk, dan bahkan hukuman mati. Namun, semua ini tidak bisa diterapkan ketika sistem yang dipakai masih sistem sekuler, bukan sistem Islam. Oleh karena itu, untuk menghentikan LGBT ini tidak cukup hanya dengan seruan ataupun kecaman. Pencegahan dan pemberian sanksi akan efektif jika dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem islam. Wallahua’lam bisshawwab. (**)

*Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Indonesia