Perempuan Berdaya Dengan Khilafah

0
87
Eva Arlini, SE/Foto : Istimewa
“Hingga tingkat perceraian meningkat tajam dan bermunculan anak – anak kurang perhatian. Inilah penerapan sistem kapitalis sekuler,”

Oleh : Eva Arlini, SE

Lapan6Online | Jakarta : Nur Fadilah merupakan seorang ibu dari dua anak asal Aceh Timur. Setahun lalu kisahnya sempat viral. Pasca melahirkan anak ke dua pada tahun 2011 silam, tubuh Nur mengalami kelumpuhan. Hanya kedua tangannya yang masih berfungsi normal.

Sejak itu suami Nur pergi meninggalkan keluarga, membawa anak pertama mereka. Tak punya pilihan, terpaksa ibu lemah ini menanggung nafkah diri dan anak ke dua-nya. Setiap hari Nur mencetak dua bambu kerupuk dengan penghasilan sekitar Rp40 ribu.

Nur Fadhila adalah satu dari sekian banyak perempuan hari ini yang terus didorong untuk hidup mandiri. Atas nama perjuangan kesetaraan gender, para perempuan harus mengejar kemandirian ekonomi.

Pemberdayaan perempuan tak pandang bulu. Meski tak berdaya secara fisik mereka tetap harus bertahan hidup di kaki sendiri. Meski komersialisasi pendidikan memaksa jutaan anak perempuan tak sekolah, mereka kelak tetap harus mandiri secara ekonomi.

Seolah tak ada tanggung jawab keluarga pada para perempuan dewasa. Pemerintah pun tak merasa memiliki kewajiban untuk memastikan tiap lelaki sebagai pemimpin keluarga memenuhi kebutuhan perempuan sebagai anggota keluarganya.

Sebab cara pandang kapitalisme sekuler yang diadopsi oleh negara memang seperti itu. Semua orang dewasa harus berkompetisi memenangkan kehidupan.

Siapa yang mampu dia berhak mendapat. Jika dia lemah maka hidup susah jadi konsekuensi yang harus ditanggung sendiri. Bilapun ia berhak atas bantuan, harus menerima bantuan seadanya, jauh dari cukup.

Banyak kasus perempuan mati konyol karena tak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.

Diam – diam, para perempuan lemah dalam hal ekonomi dan pendidikan ini pun ‘dimanfaatkan’ demi keuntungan para kapitalis dan pemerintah. Mereka yang terpaksa menjadi buruh kasar di pabrik, diberi gaji murah dan diperlakukan seenaknya.

Seperti pengalaman yang diceritakan buruh Aice, Elitha Tri Novianty yang tetap harus bekerja meski mengalami sakit. Hingga dia harus dioperasi. Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh Aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga Maret 2020 sudah terdapat 15 kasus keguguran dan 6 kasus bayi dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan Aice. (https://theconversation.com/18/03/2020)

Sebagian perempuan lemah lainnya demi menyambung hidup tak punya pilihan selain menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri. Keselamatan diri dan kehormatan mereka dipertaruhkan. Keutuhan rumah tangga pun terancam.

Mereka inilah yang turut menyumbang devisa bagi negara. Namun negara justru tega mengesahkan UU Cipta Kerja yang makin merugikan buruh pada umumnya, termasuk buruh perempuan dan memanjakan para investor. Hasrat menjadikan peran publik perempuan sebagai keuntungan tampak pada slogan Hari Ibu, “Perempuan Berdaya Indonesia Maju”.

Para perempuan lainnya yang beruntung bisa mencicipi pendidikan tinggi hingga menggapai karir bergengsi bukan tanpa resiko. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana rentannya pelecehan seksual yang dialami oleh pegawai perempuan kantoran.

Sudah menggejala pula bahwa karir perempuan kantoran mempengaruhi kualitas hubungan dengan anak dan suaminya. Hingga tingkat perceraian meningkat tajam dan bermunculan anak – anak kurang perhatian. Inilah penerapan sistem kapitalis sekuler, membuat para perempuan tak berdaya hingga jauh dari sejahtera lahir batin.

Berdaya Dengan Khilafah
Khilafah adalah sistem pemerintahan yang manusiawi. Sebab di dalamnya diterapkan aturan Islam secara menyeluruh. Allah swt Sang Pencipta manusia paling tahu cara memanusiakan manusia. Dalam pandangan Islam kedudukan perempuan amat dimuliakan. Sejumlah aturan Islam tentangnya menunjukkan hal demikian.

Pertama, aturan Islam mengenai nafkah oleh kaum lelaki. Islam mewajibkan lelaki untuk menanggung nafkah perempuan.

Segala kebutuhan perempuan menjadi tanggung jawab lelaki. Baik itu ayah, ketika perempuan belum menikah. Atau suami, ketika sudah menikah. Demikian yang tercantum di dalam surah At-Talaq ayat 6.

Jika wali utama yakni ayah atau suami umpamanya telah tiada, maka tanggungjawab nafkah beralih kepada ahli waris baik itu kakek, paman atau saudara lelaki dari perempuan tersebut. Demikian yang disampaikan di akhir surah Al Baqarah ayat 233.

Negara khilafah-lah yang akan memotivasi dan memudahkan para lelaki untuk mencari nafkah. Lewat sistem pendidikan berkualitas dan sistem ekonomi yang berpihak pada umat, akan muncul para lelaki berpendidikan yang mudah memiliki pekerjaan. Siapapun lelaki yang abai pada tanggungjawabnya akan diberi sanksi tegas oleh negara.

Kedua, jika seorang perempuan tidak memiliki keluarga atau keluarganya tidak mampu memenuhi nafkah dirinya, maka tanggung jawab tersebut diambil oleh negara. “…Siapa saja yang meninggalkan utang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku dan menjadi kewajiban.” (HR Ibnu Hibban)

Ketiga, pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Pelayanan publik yang gratis tentu menekan biaya hidup masyarakat, sehingga pengeluaran mereka lebih murah, hanya untuk sandang, pangan dan papan. Hal ini menjadi salah satu implementasi dari hadis Rasulullah saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Keempat, kekayaan alam yang ada di darat maupun di laut sepenuhnya dikelola negara. Dalam hal ini Islam memiliki aturan mengenai pembagian kepemilikan yang jelas yakni harta kepemilikan invidu, kepemilikan umum dan negara. Sementara hasil pengelolaan kepemilikan umum tersebut dipakai untuk membiayai kebutuhan masyarakat dan dakwah Islam.

Kelima, catatan pentingnya, Islam memberi keleluasaan bagi tiap perempuan untuk berkarya. Mereka dipersilahkan menempuh pendidikan setinggi tingginya lalu menekuni bidang tertentu yang ia sukai, dengan tetap memperhatikan aturan Islam demi menjaga iffah dirinya. Islam tidak menjadikan perempuan warga kelas dua seperti tuduhan para feminis. Kedudukan lelaki dan perempuan dalam Islam sama, yang berbeda hanya peran – perannya sesuai fitrah penciptaan mereka.

Andai Nur Fadhila hidup dalam naungan Khilafah, tentu hidupnya akan lebih berdaya dalam lindungan keluarga dan negara yang penuh tanggung jawab. Wallahu a’lam bishawab. *

*Penulis Adalah Anggota Komunitas Revowriter

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini