Perlukah Ramah Terhadap Koruptor?

0
10
Risma Febrianti/Foto : Istimewa

OPINI | POLITIK

“Berbagai fakta di luar nalar manusia terjadi dan bermunculan tiada henti, menggambarkan sebuah negara demokrasi yang ramah terhadap perilaku korupsi,”

Oleh : Risma Febrianti, Guru

IRONI, remisi koruptor atau pengurangan masa narapidana korupsi telah terjadi. Sebagaimana dilansir oleh detikcom sebanyak 23 napi koruptor bebas bersyarat, hal ini disoroti oleh ICW (Indonesia Corruption Watch).

ICW tak habis pikir terhadap 23 koruptor yang mendapat remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu semakin menjadikan tindak kejahatan korupsi sebagai kejahatan biasa.

“Ada pemberian remisi yang itu tentu dari akal sehat kita sebagai masyarakat melihat bahwa korupsi sebenarnya merupakan kejahatan yang serius, kejahatan kerah putih, kejahatan karena jabatan, itu kemudian dianggap sebagai sebuah kejahatan yang biasa,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo di kanal YouTube Populi Center, Rabu (7/9/2022).

Bebas bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya. Dengan ketentuan dua pertiga masa pidana tersebut minimal sembilan bulan. Pengertian ini tertuang dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.

Remisi koruptor bukan kali pertama terjadi, pada 17 Agustus 2021 sebanyak 214 koruptor mendapatkan pengurangan hukuman remisi Tipikor (tindak pidana korupsi).

“Narapidana tipikor yang mendapatkan remisi umum tahun ini adalah 214 orang dari total 3496 narapidana tipikor. Pasal 14 Ayat 1 Huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa narapidana berhak mendapatkan remisi,” ujar Rika sebagaimana ditulis kompas.com, Sabtu (21/8/2021).

Tidak hanya remisi terhadap tindak pidana korupsi, eks atau mantan para napi korupsi juga tidak kehilangan hak dalam mencalonkan sebagai calon legislatif karena tidak adanya larangan khusus akan hal ini. Adapun syarat dan ketentuan caleg DPR yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilihan Umum, seperti dikutip CNBC Indonesia, Senin (22/8/2022).

Aturan tersebut berbunyi tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR atau DPRD.

“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” bunyi Pasal 240 Ayat 1 huruf UU Pemilu.

Dalam negara demokrasi yang menjunjung HAM dan membuat peraturan seakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Berbagai fakta di luar nalar manusia terjadi dan bermunculan tiada henti, menggambarkan sebuah negara demokrasi yang ramah terhadap perilaku korupsi.

Tindakan yang sudah jelas merugikan semua masyarakat negeri, yang semestinya diadili sampai membuat jera koruptor dan dengan hukuman yang membuat para pejabat negeri tidak berani untuk melakukan korupsi. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Guru