Permendikbud PPKS, Legalisasi Seksual Berbalut Konsensual?

0
103
Puput Hariyani, S.Si/Foto : Ist.

OPINI

“Perguruan Tinggi semestinya menjadi rahim bagi lahirnya insan Kamil, Civitas akademika yang mampu membuat kebijakan Rabbani yang pro terhadap generasi bukan justru menyempurnakan liberalisasi seksual,”

Oleh : Puput Hariyani, S.Si

DI TENGAH maraknya perayaan hari Pahlawan, dunia pendidikan kembali mendapat suguhan yang mengundang perdebatan, yakni diundang-undangkannya Permendikbud No 30 tahun 2021 atau Permendikbud PPKS yang disinyalir banyak pihak sebagai pintu legalisasi perzinahan.

Permendikbud yang diduga kuat memiliki cacat formil juga materiil ini menimbulkan banyak keresahan, kegaduhan dan penolakan karena dinilai bertentangan dengan nilai agama dan norma, budaya, adat ketimuran yang santun, beradab juga bermartabat.

Berbagai elemen masyarakat, Majelis Ormas Islam, Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah, Universitas NO Jogjakarta, Aliansi Indonesia Cinta Keluarga, Persaudaraan Muslimah Indonesia, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Se-Indonesia, Para Dosen dan Akademisi dari berbagai kampus turut mempertanyakan hadirnya Permendikbud No 30 Tahun 2021 ini yang seakan ingin mensolusi maraknya tindak kekerasan seksual namun justru belum mampu menyentuh pada aspek mendasar tindak amoral yang berbentuk seks bebas ataupun LGBT yang sangat mungkin terjadi di lingkungan pendidikan tinggi.

Permendikbud No 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi ini juga dianggap bertentangan dengan UUD No 31 Tahun 1945 yang secara jelas mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satuan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sehingga hal ini sekaligus mengkonfirmasi bawah basis pendidikan kita telah bergeser bukan lagi takwa. Ingin menghilangkan nuansa agama yang kental dalam satuan pendidikan, inilah sekuler radikal.

Aturan ini juga memunculkan keambiguan dan multitafsir. Jika dikembalikan pada pengertian kekerasan seksual yaitu adanya pemaksaan seksual maka jelas disini tidak ada yang namanya persetujuan. Kalau ada persetujuan namanya bukan kekerasan seksual tetapi perzinahan.

Pertanyaannya adalah apakah aturan ini ingin benar-benar mencegah dan melarang praktik kekerasan seksual dengan paksaan ataukah justru mengijinkan seks bebas dengan kesepakatan atau biasa kita dengar istilah suka sama suka?

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, kita tentu sering mendengar istilah pemerkosaan dan ini adalah kedzaliman. Dinamakan pemerkosaan karena adanya pemaksaan seksual yang kemudian disebut kekerasan seksual.

Dalam hal ini jika kita merujuk pada Islam maka yang dijatuhi hukuman adalah pelaku bukan korban karena korban justru harus dilindungi. Sementara pada aktivitas seksual yang dilakukan dengan konsensual makan jatuhnya adalah perzinahan dan kedua pelaku mendapatkan hukuman.

Lebih jauh, jika kita kembali mengkritisi Permendikbud ini. Permendikbud ini mengatur dengan konsensual ataukah tidak? Jawabannya Tidak ada! Sebenarnya apa yang diinginkan? Mengapa begitu besar _effort_ pada pembahasan kekerasan seksual, sementara mengapa pada aktivitas seksual yang melanggar norma tidak demikian?

Termasuk pembahasan yang bersifat etis filosofis. Apakah aktivitas seksual yang dilakukan ketika pelaku saling menghendaki itu bisa dikatakan _gender equal. Karena hari ini serba aneh, ketika anggapan yang muncul bahwa ada dominasi laki-laki terhadap perempuan maka muncullah _gender equal.Meski di kampus banyak kita dapati seksual yang terjadi antara sesama jenis.

Misalkan kekerasan yang terjadi antara laki-laki dengan laki-laki. Ini kan absurd. Umat perlu mempertajam analisanya, kalau hubungan seksual yang tidak dikehendaki dilarang bagaimana dengan hubungan seksual yang dikehendaki oleh dua-duanya?

Apakah boleh? Mereka tentu akan serba salah menjawabnya. Nah, inilah gagasan yang harus menjadi cara pandang seseorang muslim dengan keintelektualitasnya dan ketundukkannya pada syariah.

Ketidaksetujuan terhadap Permendikbud juga ditunjukkan PKS Karena aspek ‘consent’ atau ‘konsensual (persetujuan)’ yang menjadi syarat aktivitas seksual yang menurutnya tidak ada cantolan hukum (detikNews.com).

Produk UU yang terus berulang disusupkan ini perlu dicermati bahwa ada intervensi internasional tentang urusan seksual yang dibatasi dengan istilah ‘persetujuan’. Lebih jamak kita kenal liberalisasi seksual. Inilah goal yang ingin dicapai oleh Barat sebagai pemuja kebebasan yang tumbuh subur dalam habitat kapitalisme.

Perguruan Tinggi semestinya menjadi rahim bagi lahirnya insan Kamil, Civitas akademika yang mampu membuat kebijakan Rabbani yang pro terhadap generasi bukan justru menyempurnakan liberalisasi seksual.

Sudah saatnya seluruh umat bahu membahu, hadir dan mengambil peran dalam upaya memberikan kontribusi pemikiran dan sumbangsih intelektual terhadap berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dengan rasio dominasi Islam. Wallahu’alam bi ash-showab. (*GF/RIN)

*Penulis Adalah Pendidik Generasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini