OPINI
“Kepentingan individu maupun partai diletakkan di atas kepentingan rakyat. Dan perombakan kabinet tetap saja bertujuan untuk menjaga kekuasaan rezim yang ada,”
Oleh : Daimah Fauziah Ningrum
BERHARAP reshuffle bukan sekadar akomodasi politik. “Syaikhu berharap, reshuffle dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan untuk kepentingan akomodasi politik, melainkan untuk membantu kerja presiden dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan.” (republika.co.id 14/04/2021).
Setelah beberapa kali melakukan reshuffle kabinet, presiden kembali merencanakan perombakkan KIM pada Kamis (15/04/2021). Dalam rencana tersebut presiden menyampaikan rencana reshuffle tidak lepas dari konsekuensi penggabungan dua kementerian (Kemendikbud dan Kemenristek) untuk membantu kerja kementerian baru, Kementerian Investasi. Namun, perombakkan wajah reshuffle, apakah sesuai esensinya?
Reshuffle yang merupakan hak prerogratif presiden sekarang menjadi isu diharapkan bukan sekadar akomondasi politik tetapi betul-betul sesuai esensinya, yaitu bagaimana yang terpilih adalah memang orang-orang yang mempunyai kredibilitas yang betul-betul kompeten dan bukan asal sebagai akomondasi politik saja.
Pergantian menteri dalam kabinet kerja sekuler selalu memicu perdebatan balas budi (akomondasi politik) dan kepentingan sekelompok partai penguasa dibandingkan kebutuhan kemaslahatan publik.
Sebagian kalangan menilai, hal ini adalah sesuatu yang wajar saja dalam demokrasi. Kenyataanya safari politik hanya akan mempertemukan kepentingan-kepentingan individu maupun partai politik tempat mereka bernaung.
Circle kekuasaan rezim ini memang bukan hanya dari kalangan partai politik. Sejumlah pengusaha, organisasi masyarakat maupun kalangan profesional pun turut serta dalam pentas ini.
Tahun 2021 diharapkan menjadi annus mirabillis (tahun penuh harapan dan mukjizat) bagi kerja pemerintahan. Karenanya visi presiden harus menjadi navigasi bagi para menteri dalam bekerja, bukan lagi visi individu menteri.
Artinya, visi presiden adalah garis kebijakan yang harus dijalankan oleh seluruh pembantu presiden tanpa kecuali. Apalagi raison de’etre sebuah pemerintahan terletak di dalam aktualisasi pelaksanaan fungsinya.
Iklim ekonomi dan investasi yang sehat harus diatur dalam bentuk regulasi yang dilegalkan pemerintah. Karut marut ekonomi dalam negeri akibat pandemi harus segera dipulihkan. Maka penting kiranya melakukan perombakan kabinet yang juga bertolak pada upaya penyelamatan ekonomi dan penciptaan iklim investasi pasca pandemi.
Dalam reshuffle kabinet, rezim saat ini tentu berusaha mempertimbangkan upaya penyelamatan kekuasaan di tengah suara-suara kritis dan bersifat ideologis yang menyoroti tahun pertama jalannya pemerintahan jilid II Jokowi.
Reshuffle yang akan dilakukan Presiden Jokowi ini menyiratkan politik transaksional adalah konsekuensi dari proses politik demokrasi kapitalistik.
Kepentingan individu maupun partai diletakkan di atas kepentingan rakyat. Dan perombakan kabinet tetap saja bertujuan untuk menjaga kekuasaan rezim yang ada. Untuk itu, rezim harus bisa memastikan bahwa penyokong kekuasaannya adalah mereka yang memiliki loyalitas.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang jabatan adalah amanah. Pemilihan pejabat publik merupakan perkara krusial karena berkaitan dengan nasib masyarakat. Islam memberikan tuntunan yang jelas mengenai pemilihan pejabat publik.
Islam memberikan panduan pokok bagi pemimpin negeri dalam memilih para pembantunya agar terpilih orang-orang yang amanah, kredibel dan sesuai bidangnya. Pemilihan ini tidak didasari atas kepentingan individu apalagi kepentingan partai.
Karena jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak rakyat, maka memilih pejabat publik yang amanah, kapabel dan berakhlak mulia adalah langkah utama untuk menjalankan tugas sebagai pelayan dan pengurus rakyat. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma