OPINI
“Dengan konsep ekonomi kapitalisme ini, tak hanya miras, tapi barang dan jasa haram lainnya juga akan dibiarkan di tengah-tengah umat,”
Oleh : Nabilah S
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Bidang Usaha Penanaman Modal pada 2 Februari 2021. Para politikus saling beda pendapat menanggapi muatan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 ini. Hal yang bikin kontroversi adalah aturan soal minuman keras (miras).
Bukan hanya kalangan politikus, namun kalangan masyarakat umum juga menuai pro kontra. Ada masyarakat yang menentang, ada juga sebagian yang mendukung.
Masyarakat yang kontra meminta perpres yang mengatur soal investasi usaha miras ini ditinjau ulang. Hal ini karena miras membawa lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Para politikus yang menentang pun menilai perpres ini bertentangan dengan keinginan Jokowi untuk membangun sumber daya manusia (SDM). Minuman keras berdampak buruk pada manusia yang hendak dibangun kualitasnya.
Di sisi lain, sebagian masyarakat mendukung pepres ini. Mereka berpendapat daerah-daerah yang dibolehkan mengembangkan industri miras merupakan kawasan wisata yang mayoritas penduduknya berstatus non-Muslim, yakni di provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua.
Para politikus yang pro dengan pepres ini pun menilai aturan terkait usaha miras ini bisa meningkatkan devisa negara dan bisa menyerap tenaga kerja. Tak perlu lagi banyak-banyak impor minuman beralkohol seperti selama ini, karena nanti minuman tersebut bisa diproduksi oleh anak bangsa.
Padahal jika kita telaah, perpres investasi miras ini justru akan memperbesar mudharat, karena bukan hanya melegalkan peredaran tapi juga mendorong mengembangkan sebagai ‘industri’ bidang ekonomi.
Selain itu, meski secara formal disebut hanya akan fokus diterapkan di empat provinsi saja, namun terbuka peluang dijalankan di semua tempat dengan izin kepala daerah.
Miras dianggap sebagai barang yang bernilai ekonomi karena bisa memuaskan kebutuhan. Sementara industri khamr adalah pemberi jasa yang juga memiliki nilai ekonomi karena bisa memuaskan kebutuhan individu.
Karena itu, jika nilai ekonomi miras dianggap bisa menghasilkan peningkatan pendapatan, dipastikan produksi dan konsumsi miras ‘semestinya’ juga meningkat.
Masalahnya, peningkatan produksi dan konsumsi miras juga akan meningkatkan kerugian akibat konsumsi miras dalam berbagai bentuknya dan ini sangat berbahaya.
Dengan konsep ekonomi kapitalisme ini, tak hanya miras, tapi barang dan jasa haram lainnya juga akan dibiarkan di tengah-tengah umat. Produksi dan distribusinya akan difasilitasi karena dianggap bernilai ekonomi.
Studi yang ditulis Montarat Thavorncharoensap dalam 20 riset di 12 negara menyebutkan, beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45-5,44 persen dari PDB. Jika angka kerugian di AS itu diterapkan ke Indonesia—PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp15.434,2 triliun—, saat dikalikan 1,66 persen menghasilkan Rp256 triliun. Bila diasumsikan angka terendahnya 0,45 persen, kerugian yang bisa diderita negeri ini akibat konsumsi miras mencapai Rp69,5 triliun. (republika.co.id, 1/3/2021).
Jelas, angka kerugian terendah ini saja bernilai 10 kali lipat lebih besar dari pendapatan cukai etil alkohol dan miras per tahun tadi. Belum lagi kerugian lain dalam bentuk kejahatan, turunnya produktivitas dan kerugian sosial lainnya.
Maka bisa dilihat perpres terkait investasi miras ini memiliki arah dan batas aturan yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena adanya pemikiran liberal yang lahir dari sistem sekuler-kapitalisme yang diadopsi negeri ini. Asasnya adalah memisahkan agama dengan kehidupan.
Sistem sekuler-kapitalisme ini menjadikan kebebasan (beragama, berpendapat, kepemilikan dan berperilaku) di atas segalanya. Agama tidak berhak mengatur kehidupan manusia di dunia, akhirnya kita bisa bebas memilih hukum bahkan membuat dan menentukan hukum di hidup kita.
Dalam sistem sekuler-kapitalisme ini, faktanya miras tetap diizinkan beredar meski dengan embel-embel dibatasi dan diawasi. Pasalnya, dalam sistem sekuler aturan agama (syariat) dicampakkan.
Selain itu, dalam sistem ini, menentukan benar dan salah serta baik dan buruk tidak pakai aturan Islam, melainkan menggunakan hawa nafsu. Alhasil banyak mudharat yang dihasilkan dengan adanya perpres yang lahir dari pemikiran sekuler-kapitalisme ini.
Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Islam telah memperingatkan miras (khamr) mendatangkan banyak kemudaratan. Allah SWT juga menyifati khamr dan judi dengan rijsun (kotor), perbuatan setan dan sebagainya.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah [05]: 90)
Miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya, tapi juga menciptakan kerusakan bagi orang lain. Mereka yang sudah tertutup akalnya oleh miras berpotensi melakukan beragam kejahatan.
Tak heran jika Rasulullah SAW menyebut khamr sebagai ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan). Rasul saw. juga bersabda, “Khamr adalah induk keburukan. Siapa saja yang meminum khamr, Allah tidak menerima salatnya 40 hari. Jika ia mati, sementara khamr itu ada di dalam perutnya, maka ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR ath-Thabarani, ad-Daraquthni, dan al-Qudha’i).
Islam juga melarang total semua hal yang terkait khamr, mulai dari pabrik dan produsen miras, distributor, penjual hingga konsumen (peminumnya).
“Rasulullah SAW telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan: pemerasnya; yang minta diperaskan; peminumnya; pengantarnya, yang minta diantarkan khamr; penuangnya; penjualnya; yang menikmati harganya; pembelinya; dan yang minta dibelikan.” (HR at-Tirmidzi).
Sementara itu, Islam menetapkan sanksi hukuman bagi orang yang meminum miras berupa cambuk 40 kali atau 80 kali. Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan, “Rasulullah SAW mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim).
Jelas sekali, dalam Islam, miras haram dan harus dilarang secara total. Hal itu hanya bisa terealisasi jika syariat Islam diterapkan secara kaffah.
Negara dalam Islam wajib menjauhkan masyarakat dari miras dengan alasan apapun. Dalam Islam, sumber daya manusia adalah aset dunia dan akhirat.
Dengan segala kebaikannya ini, Islam berperan menjaga akal sekaligus kualitas generasi. Karenanya hanya kembali kepada Islam, maka siapapun ia akan mendapatkan kesejahteraan dan kemuliaan dalam naungan ridha Allah SWT. [*]
*Penulis Adalah Alumni Universitas Indonesia