Pilpres 2024 dan Sejarah Politik Indonesia Pasca Reformasi

0
13
Agusto Sulistio/Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Disisi lain masih perlu adanya pembenahan untuk mengatur kekuasaan, dimana Jokowi sebelumnya telah memainkan perannya sebagai pemegang kekuasaan pasca disharmoni dengan Megawati PDI-P,”

Oleh : Agusto Sulistio

REFORMASI politik yang terjadi pasca-jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998 membawa harapan baru bagi Indonesia. Harapan akan demokratisasi yang lebih luas dan keterbukaan politik yang lebih besar menjadi semangat utama dalam perubahan politik pasca-reformasi. Namun, di tengah perubahan ini, muncul pula tantangan dan dinamika yang perlu dipahami secara mendalam.

Pasca-jatuhnya Soeharto, politik Indonesia mengalami pluralisasi yang signifikan. Munculnya berbagai patron dan poros politik mencerminkan keragaman pandangan dan kepentingan di antara masyarakat. Konflik dan perpecahan sering kali menjadi ciri khas dari politik pasca-reformasi.

Peran Golkar dalam Politik Pasca-Reformasi
Meskipun pada awalnya diperkirakan akan lenyap setelah jatuhnya Soeharto, Golkar tetap mempertahankan posisinya dalam politik Indonesia. Kekuatan struktural dan kaderisasi yang kuat membuat Golkar tetap relevan, meskipun harus bersaing dengan partai-partai lain seperti PDI-P (saat itu masih bernama PDI).

Peristiwa politik pasca-1998, seperti terpilihnya Gus Dur sebagai presiden dengan dukungan koalisi tengah, mencerminkan kompleksitas politik Indonesia saat itu. Meskipun di satu sisi hal itu dianggap sebagai langkah penyelamatan negara, namun di sisi lain, masih terdapat kekhawatiran akan pengaruh sisa Orde Baru dalam demokrasi, yang secara nyata kader Golkar mumpuni dan menghegomoni.

Kaderisasi Golkar dan Dominasi Politik
Kehadiran kader Golkar di berbagai partai politik menunjukkan dominasi dan pengaruh yang dimiliki oleh partai tersebut. Hal ini mencerminkan keberhasilan Golkar dalam mencetak kader yang mendominasi berbagai partai politik di Indonesia, sehingga memberikan pengaruh yang luas dalam politik nasional.

Meski kemudian saat itu terjadi perpecahan dalam Golkar yang kemudian muncul PKP (Partai Keadilan dan Persatuan). Kemudian seiring jalannya waktu kader-kader Golkar membentuk parpol di era reformasi. Meski tak semua parpol bentukan kader Golkar sukses, namun tetap masih ada parpol baru era reformasi yang masih eksis bentukan kader Golkar, seperti Nasdem, dll.

PDI-P dan Kecenderuangan Kekuasaan Absolut
PDI-P telah sukses mengusung Jokowi sebagai presiden pada Pilpres 2014 dan 2019. Kesuksesan ini hampir membawa PDI-P menjadi kekuatan tunggal, di mana ketua parlemen dan eksekutif berasal dari PDI-P.

Namun dengaan berbagai peran dan manuver parpol perjalanan kekuasaan tunggal PDI-P tidak berhasil terwujud. Hal ini bukan saja tidak sejalan dengan reformasi dimana kekuasaan presiden dibatasi oleh 2 periode, namun kesadaran parpol terkait pemahaman demokrasi Dan kekuasaan sudah semakin dapat diandalkan.

Peran Golkar dan kader Golkar melalui parpol barunya telah sukses membentuk poros capres 2024, dimana Nasdem sukses memunculkan kandidat Capres Anies Baswedan, kemudian Gerindra yang diketuai oleh Prabowo (mantan Golkar) memunculkan Prabowo dan PDI-P mengusung Ganjar Pranowo pada pilpres 2024.

Munculnya tiga kandidat capres dalam pilpres 2024 dapat dimaknai terjadinya kekuatan kekuasaan tunggal, yang kemudian muncul ekses politik diberbagai titik, misalnya disharmoni Megawati dan Jokowi, ketika polemik keputusan MK meloloskan Gibran sebagai cawapres Prabowo.

Pilpres 2024, Politik Dinasti dan Peran Golkar
Dalam Pilpres 2024, hasil keputusan KPU bahwa Golkar meraih suara besar sehingga berada diposisi kedua setelah PDI-P, dan Gerindra diurutan ke 3, ini menunjukkan bahwa kekuatan Golkar masih signifikan.

Di tengah dinamika politik pasca-pemilihan 2024, Golkar diharapkan dapat memainkan peran sebagai penengah atau penyeimbang pada periode pemerintah mendatang (Prabowo Subianto-Gibran), jika Golkar mau memposisikan dirinya sebagai poros tengah diantara partai pemegang pemilu 2024 yang menguasai legislatif (PDI-P) dan parpol pemenang pilpres Gerindra, yang menguasai eksekutif untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan pemerintahan.

Namun disisi lain masih perlu adanya pembenahan untuk mengatur kekuasaan, dimana Jokowi sebelumnya telah memainkan perannya sebagai pemegang kekuasaan pasca disharmoni dengan Megawati PDI-P, yang kemudian melakukan cawe-cawe politiknya hingga memunculkan putra sulung menangkan dalam pilpres 2024 bersama Prabowo.

Disini perlu pentingnya pemahaman tentang pembatasan kekuasaan, termasuk kesadaran akan risiko politik dinasti, tidak boleh diabaikan. Kasus kontroversial di mana putra sulung Jokowi diizinkan untuk berpartisipasi dalam politik tanpa memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat menunjukkan bahaya konsentrasi kekuasaan dalam keluarga politisi.

Kesimpulan
Transformasi politik Indonesia pasca-reformasi telah membawa tantangan dan dinamika yang kompleks. Pemahaman yang mendalam tentang sejarah politik, kaderisasi partai, dinamika pemilihan, dan bahaya politik dinasti sangat penting dalam menjaga kesehatan demokrasi dan stabilitas politik di Indonesia. Tol keluar Pekayon Bekasi, Jawa Barat, Sabtu 13 April 2024 – 20:09 Wib. (**)

*Penulis Adalah Pegiat Sosmed