Polemik Mudik “Meresahkan” Rakyat

0
58
Siti Masliha, S.Pd/Foto : Istimewa
“SE yang lebih detail ini, di satu sisi konsepsi tidak ada mudik tapi ada konsepsi syarat yang disesuaikan dengan Gugus Tugas Penangangan COVID-19. Memang semakin banyak kebingungan di masyarakat, tapi kami yakin semakin baik ke depannya,”

Oleh : Siti Masliha, S.Pd

Jakarta | Lapan6Online : Wabah Corona yang melanda negara kita saat ini berimbas ke segala bidang, salah satunya bidang transportasi. Baru-baru ini warga perkotaan dibuat bingung oleh pernyataan pemerintah terkait mudik.

Warga ibu kota yang mayoritas adalah penduduk urban, setiap tahunnya melaksanakan tradisi mudik dengan sanak keluarga di kampung asal. Biasanya mudik ini dilakukan di akhir bulan Ramadhan atau di idul fitri. Namun menurut Bapak Jokowi pada saat di wawancarai Najwa Shihab pada acara “Mata Najwa”, mengatakan bahwa ada perbedaan antara mudik dan pulang kampung. Pernyataan ini membuat bingung publik dan hal ini mendapatkan reaksi dari warga net.

Seorang warganet bahkan mengatakan “pulang kampung diperbolehkan selama mengartikan tindakannya tersebut bukalah mudik, tapi pulang kampung”.

Namun hal ini berbeda apa yang disampaikan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi. Budi tak menampik terbitnya berbagai surat edaran (SE) terkait operasional transportasi umum membuat kebingungan di tengah masyarakat. “SE yang lebih detail ini, di satu sisi konsepsi tidak ada mudik tapi ada konsepsi syarat yang disesuaikan dengan Gugus Tugas Penangangan COVID-19. Memang semakin banyak kebingungan di masyarakat, tapi kami yakin semakin baik ke depannya,” kata Budi saat rapat virtual dengan Komisi V DPR RI, Senin (11/5/2020).

Meski begitu, Budi menjelaskan pada dasarnya keseluruhan SE sama, yakni mudik tetap dilarang. Namun moda transportasi masih diizinkan melayani penumpang dengan kepentingan tertentu selain mudik.

Dari fakta di atas jelas membuat rakyat semakin bingung. Dua pejabat negara menyatakan kebijakan yang berbeda. Meskipun pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan mudik bagi warga perkotaan. Hal ini terlihat jelas terdapat ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil kebijakan.

Pemerintah masih mempertimbangkan unsur untung rugi dalam mengeluarkan kebijakan, bukan kemaslahatan rakyat yang dipentingkan. Hal ini berimbas kepada rakyat terutama “wong cilik” semakin bingung dan resah.

Masalah mudik rakyat salah satu contohnya. Di satu sisi bus layanan umum diperbolehkan beroperasi namun di satu sisi rakyat tidak boleh pulang kampung. Pertanyaannnya siapa yang akan naik bus layanan umum tersebut jika rakyat tidak diperbolehkan mudik?

Layanan bus umum juga akan mengalami kerugian besar-besaran terkait hal ini. Lagi-lagi rakyat menjadi korban. Kerena ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk rakyat membuat rakyat semakin susah terutama rakyat yang tinggal di perkotaan.

Pemerintah juga abai dalam mengurus kebutuhan rakyat. Rakyat tidak diperbolehkan mudik dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran virus Corona di daerah, tapi di ibu kota tidak dijamin kebutuhannya. Rakyat kehilangan pekerjaan selama berlangsungnya wabah. Namun faktanya Pemerintah tidak melakukan tindakan yang riil untuk rakyat. Hal ini sangat terlihat jelas bahwa pemerintah abai terhadap kebutuhan rakyatnya. Rakyat dibiarkan mati kelaparan di depan mata.

Inilah wajah negara kapitalisme sesungguhnya. Negara hanya sebagai fasilitator dengan pihak swasta atau asing sedangkan pengurusan rakyat dibiarkan begitu saja. Untung rugi menjadi dasar dalam mengurus kepentingan rakyat.

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha. Negara berperan mencegah agar tidak terjadi konflik antara rakyat dan pengusaha. Tapi faktanya, yang dimaksud mencegah konflik itu adalah dengan cara negara lebih mengedepankan kepentingan pengusaha (baca: kaum kapitalis/pemilik modal) daripada kepentingan rakyat.

Ini terjadi karena telah terbentuk relasi antara pengusaha dengan rezim pemegang kekuasaan (penguasa), bahkan sebagian dari pengusaha itu yang kemudian menjadi penguasa. Mahalnya ongkos demokrasi mengharuskan siapa pun yang ingin berkuasa harus punya modal besar.

Kucuran modal para pengusaha adalah stimulus bagi calon pemegang kekuasaan. Rezim yang sudah berkuasa kemudian harus membalas budi kepada pemilik modal dengan mengeluarkan serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuluskan bisnis-bisnis mereka.

Berharap pada sistem kapitalis untuk mengurus kepentingan rakyat hanyalah isapan jempol semata. Sistem kapitalis telah usang dan terbukti tidak dapat mensejahterakan rakyatnya. Hari ini rakyat butuh pemimpin dan sistem yang peduli kepentingan rakyat dan yang akan mensejahterakan rakyat secara marata.

Gambaran Pemimpin dalam Sistem Islam
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Hadits ini jelas menggambarkan betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin. Setiap pemimpin akan mintai pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin, tak terkecuali masalah rakyatnya.

Dalam kasus menghadapi wabah seperti yang terjadi saat ini. Seorang pemimpin dalam Islam tidak memikirkan lagi untung dan rugi, yang menjadi fokus utama adalah keselamatan nyawa rakyatnya.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ketika menghadapi wabah penyakit yang mematikan. Beliau mengambil langkah-langkah strategis untuk memutus mata rantai penyebaran wabah penyakit dan agar tidak menimbulkan masalah yang baru.

Ketika menghadapi wabah penyakit yang mematikan, Rasulullah SAW mengingatkan,”Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).

Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada yang lain. Dengan demikian, penyebaran wabah penyakit menular dapat dicegah dan diminimalisasi.
Rasulullah juga sangat mendorong umatnya untuk mematuhi praktik higienis.

Gaya hidup sehat akan membuat orang tetap sehat dan aman dari infeksi. Karena itu, dikatakan dalam hadis: “Kesucian itu sebagian dari iman.” Di antara cara menjaga kesucian adalah mencuci tangan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
“Barang siapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makanan) dan dia belum mencucinya, lalu dia tertimpa oleh sesuatu, janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.” (HR Abu Daud).

Selain mekakukan langkah-langkah strategis seorang pemimpin dalam Islam juga harus memperhatikan dan menjamin kebutuhan pokok bagi rakyatnya. Dalam situasi wabah yang terjadi seperti sekarang, sebagain rakyat akan berimbas kehilangan pekerjaan. Disinilah tugas dari seorang pemimpin untuk menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.

Dalam memenuhi kebutuhan pokok ini Islam mewajibkan kaum laki-laki untuk bekerja. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang Ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya” (Al Baqarah 233).

Jika laki-laki tidak sanggup maka Islam menetapkan yang menjamin kebutuhan pokok adalah sanak saudaranya. Jika sanak saudara tidak juga sanggup maka kebutuhan pokok diserahkan kepada negara.

Negara menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya agar bisa bekerja. Rasulullah pernah memberikan dua dirham kepada seseorang dan beliau bersabda: “Makanlah dengan satu dirham dan sisanya berikanlah kapak lalu gunakan untuk bekerja”

Selain menjamin kebutuhan pokok warganya dalam sistem Islam masalah administrasi juga tidak di persulit seperti sekarang ini. Kebijakan dalam sistem Islam dipermudah agar urusan rakyat tidak sulit. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah, beliau berdoa untuk pemimpin.

“Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Muslim dan Ahmad). Wallahu a’lam. GF/RIN/Lapan6 Group

*Penulis adalah Aktivis Muslimah Peduli Generasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini