OPINI | POLITIK
“Inilah realitas nyata sistem demokrasi, alih-alih mengevaluasi atau menghentikan pembangunan yang diprotes oleh masyarakat, justru pemerintah mempertontonkan politik Klenik yang bermakna mengundang adzab sang Khaliq,”
Oleh : Puput Hariyani, S.Si
GELOMBANG penolakan dan proses gugatan masyarakat terhadap kelanjutan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) masih terus berlangsung. Terbaru adanya petisi penolakan pembangunan yang diinisiasi kalangan akademisi di situs change.org.
Petisi yang diinisiatori oleh beberapa tokoh di antaranya eks Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, hingga pensiunan TNI Mayor Jenderal Purnawiranan Deddy Budiman ini mengajak masyarakat untuk menghentikan pemindahan IKN ke Kalimantan karena dinilai tidak tepat di tengah situasi pandemi covid-19 yang belum usai (Tempo.co).
Namun petisi yang bertajuk ‘Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara’ dan telah ditandatangani sekitar 13.611 orang itu tampaknya tidak berpengaruh terhadap kelanjutan proyek IKN. Terbukti pembangunan IKN terus berjalan bahkan di tengah jeritan masyarakat akan melambung nya harga bahan pangan.
Sebelumnya arus penolakan juga datang dari Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur yang menilai bahwa RUU Ibu Kota Negara yang kini telah disahkan cacat secara prosedural.
Selain itu, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Yohana Tiko dalam keterangan tertulisnya melalui laman detikNews.com mengatakan mengatakan pembangunan proyek ibu kota itu akan mengancam keselamatan ruang hidup rakyat. Termasuk ekosistem hewan langka.
Inilah realitas nyata sistem demokrasi, alih-alih mengevaluasi atau menghentikan pembangunan yang diprotes oleh masyarakat, justru pemerintah mempertontonkan politik Klenik yang bermakna mengundang adzab sang Khaliq.
Dalam pelaksanaan ritual ‘Kendi Nusantara’, Juru Bicara Gubernur Kalimantan Timur, HM Syafranuddin mengkonfirmasi bahwa para gubernur diminta membawa tanah dan air dari daerah asalnya masing-masing. Tanah dan air tersebut akan diisikan ke dalam ‘Kendi Nusantara’ untuk disimpan di titik nol IKN Nusantara. Lokasi pengambilan disesuaikan dengan filosofi masing-masing gubernur.
Misalkan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, air dan tanah diambil dari pertemuan sungai Kapuas dan sungai Landak. Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, air dan tanah dikumpulkan dari berbagai lokasi oleh para bupati dan walikota se-NTT.
Gubernur Kalimantan Utara, Zainal A. Paliwang, tanah diambil dari Kesultanan Bulungan, sedangkan air dari sungai Kayan. Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, air dan tanah diambil dari Pulau Penyengat, Tanjungpinang, dll (Kumparan.com).
Menurut Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun kepada Kompas.com, ritual mengisi Kendi Nusantara yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama 34 gubernur se-Indonesia di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) dalam terminologi sosiologi budaya dan sosiologi politik bisa dikatagorikan sebagai politik klenik.
Suatu praktik politik mengimplementasikan kemauan penguasa (IKN) berdasar imajinasi irasionalitasnya yang meyakini semacam adanya mistisisme tertentu.
Lebih lanjut Ubedilah Badrun mengungkapkan bahwa politik klenik itu menunjukkan suatu kemunduran peradaban politik. Praktik itu bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. Sebab politik modern yang menghadirkan pemerintahan modern meniscayakan syarat rasionalitas dalam seluruh implementasi kebijakannya.
Dalam sudut pandang Islam, praktek semacam ini jelas bentuk kesyirikan yang nyata dan merupakan dosa besar sehingga akan diberantas. Mirisnya, cara ini justru dipakai seolah untuk meredam gejolak penolakan publik.
Demikianlah demokrasi, sistem kehidupan yang menjadikan Tuhan hanya boleh mengatur ranah spiritual dan membuang aturan agama sebagai wujud pengimplementasian asas sekularisme sebagai pondasi demokrasi. Demokrasi memberikan kedaulatan kepada akal manusia yang terbatas dan menafikkan kesempurnaan hukum buatan Tuhan sebagai dzat pencipta dan pengatur.
Sebagai seorang muslim, kewajiban amar makruf nahi munkar harus ditegakkan. Atmosfir korektif untuk kebaikan bangsa dan negara harus diwujudkan agar kehidupan yang berkah mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kesyirikan adalah perkara yang sangat berbahaya dalam kehidupan, selain dosa besar ancaman neraka juga akan ditimpakan sebagai balasan. Apalagi jika kesyirikan dilakukan secara kolektif oleh penguasa, jangan sampai kesyirikan ini justru menantang adzab Allah yang membinasakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka saatnya meninggalkan segala bentuk aktifitas yang menyekutukan Allah dan kembali tunduk kepada hukum Islam. Wallahu’alam bi ash-showab. (*)
*Penulis Adalah Pendidik Generasi