“Dana sosial seharusnya diberikan kepada rakyat. Nilai bantuan yang tidak seberapa itu masih saja dipangkas untuk pejabat yang tidak memiliki hati nurani,”
Oleh : Asma Ridha
JAKARTA | Lapan6Online : Kinerja politikus kian dipertanyakan rakyat. Apa pasal? Di tengah fenomena pandemi yang membuat masyarakat semakin sulit untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari ditambah persoalan PHK, para politikus berdasi yang telah berjanji dan bersumpah untuk mengayomi rakyat – masih saja berlaku korup untuk memperkaya diri.
Moral politikus adalah cermin sebuah produk hukum yang gagal memanusiakan manusia. Tercabutnya rasa empati, peduli, dan tanggung jawab kian mendominasi.
Belum usai rakyat dibuat ternganga dengan kasus lobster oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, rakyat kembali dipertontonkan tindakan korup seorang Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara.
Di saat pandemi yang membuat beban hidup dan ekonomi rakyat semakin berat ini, sejatinya mereka merangkul dan membantu rakyat untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Nilai suap dengan angka mencapai 17 M bukanlah nominal yang sedikit. Sungguh tindakan ini sangat tidak manusiawi dan mengoyak hati rakyat yang sedang sekarat.
Dana sosial seharusnya diberikan kepada rakyat. Nilai bantuan yang tidak seberapa itu masih saja dipangkas untuk pejabat yang tidak memiliki hati nurani.
Selama sistem demokrasi bercokol di negeri ini, rasanya bermimpi jika korupsi dan mental rakus akan hilang dari jiwa politikus yang menjabat saat ini.
Islam Anti Korupsi
Islam dengan segenap aturan adalah sebuah ideologi yang sempurna. Ketaqwaan individu menjadi pondasi yang paling penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Konon lagi jika diberi amanah menjabat. Harta yang bersifat ghulul, yakni harta yang diperoleh dengan tidak syar’i dan memanfaatkan jabatannya baik sebagai wali/gubernur, Amil/kepala daerah atau bahkan pegawai negara untuk mendapatkan harta, sangat terlarang dalam Islam.
Untuk itu, ada beberapa ketentuan yang dilakukan oleh negara agar para pejabat berwenang tidak tergiur melakukan korupsi.
Pertama, negara memberi gaji yang cukup kepada para pejabat dan pegawai untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Tidak ada istilah hidup dengan biaya yang mahal, dan sulitnya mendapatkan layanan jasa kesehatan, pendidikan, keamanan, dan birokrasi seperti saat ini. Semua itu menjadi kewajiban negara untuk mengurusi persoalan rakyat.
Kedua, syarat amanah adalah penting saat menjabat. Islam sangat menekankan fungsi amanah adalah wajib. Bahkan Rasulullah SAW sangat tegas mencela dengan sebutan “Ciri Munafik” ketika diberi amanah justru berkhianat.
Rasulullah SAW memberikan keteladanan dan memerintahkan untuk menghitung jumlah kekayaan dari para pegawai negara, terbukti Rasulullah SAW menyita harta pegawainya saat memungut zakat, menerima hadiah dari rakyat.
Umar bin Khattab RA, membuat kebijakan untuk menghitung kekayaan sebelum dan sesudah menjabat. Jika didapati jumlah yang sangat besar, maka Umar RA tidak segan menyitanya.
Ketiga, sanksi yang tegas kepada para koruptor. Uqubat/sanksi dalam Islam akan memberi efek jera dan pencegahan agar tidak terulang kembali. Bentuk dan kadar sanksi Islam telah menetapkan kepada ijtihadnya seorang Khalifah melalui qadhinya. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab dengan cara menyita kekayaan pejabat, dipenjarakan atau bahkan hukuman mati.
Sungguh sempurna Islam yang telah Allah SWT turunkan, mampu mensejahterakan umat manusia, dan mengurangi bahkan menghilangkan tabiat rakus para politikus.Wallahu A’lambishhawab. [GF/RIN)