PPN Tetap Naik, Suara Rakyat Diabaikan

0
9
Ilustrasi/Ist.

OPINI | POLITIK

“Pemerintah mencoba meredam dampaknya dengan membatasi barang yang dikenakan tarif PPN tinggi dan memberikan subsidi listrik serta bansos kepada kelompok rentan,”

Oleh : Aisyah Nurul Afyna

PADA awal Januari 2025, pemerintah akan tetap memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Langkah ini diambil meski berbagai lapisan masyarakat telah menyuarakan penolakan melalui petisi dan protes publik.

Kebijakan ini, meskipun disertai beberapa batasan pada barang-barang tertentu yang terkena kenaikan, tetap membawa beban berat bagi rakyat. Bahkan dengan adanya program bantuan sosial (bansos) dan subsidi listrik, penderitaan rakyat akibat kenaikan harga barang dan jasa sulit dielakkan.

Kenaikan PPN otomatis mempengaruhi harga barang dan jasa, terutama yang masuk dalam kategori kebutuhan pokok. Pemerintah mencoba meredam dampaknya dengan membatasi barang yang dikenakan tarif PPN tinggi dan memberikan subsidi listrik serta bansos kepada kelompok rentan.

Namun, kebijakan ini belum cukup untuk mengatasi dampak luas pada daya beli masyarakat. Dalam konteks ekonomi yang baru saja pulih dari pandemi Covid-19 dan di tengah meningkatnya angka pengangguran, kebijakan ini hanya memperburuk kondisi sosial-ekonomi rakyat kecil.

Program bansos dan subsidi memang menjadi langkah populis pemerintah untuk meredakan gejolak sosial, tetapi kebijakan tersebut tidak mampu menghapus akar permasalahan. Rakyat yang telah menandatangani petisi penolakan kenaikan PPN merasa aspirasi mereka diabaikan. Kebijakan ini mencerminkan bagaimana penguasa lebih memilih pendekatan otoriter-populis dengan memberikan kompensasi sementara daripada mencari solusi yang lebih berkelanjutan.

Pemerintah merasa cukup dengan memberikan subsidi dan menetapkan pembatasan pada barang tertentu. Padahal, protes rakyat jelas mencerminkan bahwa kebijakan ini membawa penderitaan yang luas. Banyak rakyat merasa bahwa suara mereka tidak dianggap penting dalam pengambilan keputusan yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.

Kondisi ini memperlihatkan jurang antara penguasa dan rakyat. Ketidakadilan struktural terus terjadi ketika kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk mengamankan penerimaan negara daripada melindungi kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem kapitalisme, pajak seperti PPN menjadi andalan utama pendapatan negara, sehingga rakyat terus-menerus dibebani tanpa adanya perubahan mendasar dalam tata kelola sumber daya alam dan ekonomi negara.

Peran Penguasa dalam Islam
Konsep Islam menjadikan penguasa memiliki peran fundamental sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Konsep ini sangat berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai sumber utama pendapatan negara melalui pajak yang memberatkan. Islam mengatur bahwa penguasa wajib memastikan kesejahteraan individu per individu, tanpa terkecuali.

Raa’in berarti penguasa bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam dan kekayaan negara demi kemakmuran rakyat. Kepemilikan umum seperti tambang, hutan, dan laut harus dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta.

Dengan demikian, pemasukan negara berasal dari pengelolaan sumber daya tersebut, bukan dari pajak yang membebani rakyat. Sedangkan junnah berarti penguasa juga wajib melindungi rakyat dari kebijakan yang merugikan. Kebijakan fiskal dalam Islam tidak boleh menyulitkan kehidupan rakyat. Pajak hanya diberlakukan dalam kondisi darurat dan bersifat sementara, dengan syarat dikenakan pada orang kaya saja.

Islam menawarkan solusi mendasar untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Dalam konteks kebijakan ekonomi, Islam mengatur agar penerimaan negara tidak bertumpu pada pajak, tetapi pada pengelolaan kekayaan alam dan zakat. Dengan sistem ini, beban rakyat dapat diminimalkan, dan keadilan sosial dapat tercapai.

Penguasa dalam Islam juga diwajibkan untuk mendengarkan suara rakyat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak menimbulkan penderitaan. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi saat ini, di mana kebijakan seperti kenaikan PPN tetap diberlakukan meskipun rakyat secara tegas menolaknya. (**)

*Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Gunadarma