“Para pejabat dan aparat pemerintahan sibuk memperkaya diri dengan uang yang seharusnya digunakan untuk rakyat. Mereka sibuk mengurus kepentingan pribadi dan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat,”
Oleh : Bella Lutfiyya
PADA Minggu (11/6), Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (TSP) Theofransus Litaay mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibanding 10 tahun yang lalu dimana IPM Papua berapa pada angka 54,45% dan meningkat pada tahun 2022 di angka 61,39%.
IPM Papua Barat pada tahun 2010 ialah 59,60% meningkat menjadi 65,89% di tahun 2022.
Selain itu, beberapa Kabupaten/Kota telah melampaui IPM Nasional pada angka 72,29%. Misalnya saja Kota Jayapura dengan IPM 80,61%, Kabupaten Sorong dengan IPM 78,98%, dan Kabupaten Biak Numfor dengan IPM 72,85%.
Selain peningkatan IPM, angka harapan hidup di Papua juga mengalami peningkatan dibanding 10 tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, angka harapan hidup di Provinsi Papua berada di angka 64,31% dan mengalami peningkatan pada angka 71,85%.
Selain itu, terjadi peningkatan dari 64,59% menjadi 66,46% di Provinsi Papua Barat.
Tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan dibanding 10 tahun lalu dari 25,82% menjadi 21,33% di tahun 2022.
Pada kunjungan presiden di Jayapura pada 21 Maret 2023, Presiden Joko Widodo menyebut pembangunan Indonesia bukanlah Jawa Sentris, namun Indonesia Sentris dan menyebut bahwa Papua menjadi prioritas dari pembangunan dengan sebuah sistem dan desain baru yang lebih efektif agar menghasilkan kemajuan kesejahteraan bagi rakyat Papua.
Berbagai pencapaian tersebut tentunya patut diapresiasi. Hal ini adalah salah satu kemajuan pada pembangunan dan kesejahteraan daerah.
Namun, mengapa perlu waktu begitu lama untuk memperbaiki hal tersebut? Peningkatan IPM, angka harapan hidup, dan penurunan tingkat kemiskinan semuanya mengalami perubahan setelah 10 tahun kemudian, jangka waktu yang sangat lama.
Angka-angka IPM tersebut memang menunjukkan perubahan, namun tidak bisa dipakai patokan karena harus dilihat juga realitas di lapangan. Pada faktanya, masyarakat Papua masih hidup dalam keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, kesehatan yang buruk, kesenjangan, dan pendidikan yang belum memadai.
Hal ini menjadi bukti bobroknya aparat pemerintahan dalam mengatur tata kelola daerah dan sumber daya. Di lain kasus yang baru-baru ini terjadi, dana stunting sebesar 10 Milyar justru sebagian besarnya terpakai untuk perjalanan dinas dan biaya rapat.
Sementara biaya yang dipakai untuk stunting hanya 2 Milyar saja. Presiden pun sempat mengkritik terkait buruknya pengelolaan dana ini.
Seperti inilah sistem pemerintahan dalam dunia kapitalis sekarang. Para pejabat dan aparat pemerintahan sibuk memperkaya diri dengan uang yang seharusnya digunakan untuk rakyat. Mereka sibuk mengurus kepentingan pribadi dan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat.
Sangat berbeda 180 derajat dengan sistem saat ini, sistem Islam tidak mungkin mengabaikan umatnya. Pemimpin tahu betul akan tanggung jawab yang ia pegang sehingga dipastikan tidak ada permasalahan seperti yang saat ini terjadi, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan sebagainya. Sistem Islam mengatur berbagai hal dalam kehidupan, terutama terkait pengurusan negara karena segala hukum diatur oleh Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Hal ini dapat dibuktikan pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana tidak ditemukan adanya kesenjangan ataupun kemiskinan hanya dalam kurun waktu 3 tahun saja.
Begitu hebatnya, bahkan tidak ditemukan orang yang membutuhkan zakat, tidak ada orang miskin, tidak ada lagi orang yang memiliki hutang, tidak ada para pemuda yang belum menkah, dan tidak ada yang memerlukan bantuan dari pemerintah, kecuali Beliau sendiri.
Hal tersebut membuktikan bahwa pemimpin dan aparat pemerintah pada saat itu sangat peduli dengan kepentingan umat, mendahulukan kepentingan umat di atas kepentinagnnya sendiri.
Lalu dengan keadaan saat ini, bagaimana sistem Islam menuntaskan kemiskinan di Papua?
Pertama, dipastikan bahwa tidak akan ada lagi laki-laki yang belum mendapatkan pekerjaan atau menganggur. Seperti yang kita tahu bahwa laki-laki wajib untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan adanya kebijakan ini, maka para laki-laki di Papua dipastikan memiliki nafkah yang cukup untuk keluarga dan dirinya-sendiri sehingga tidak ada lagi kasus kelaparan akibat kurang pangan atau kemiskinan.
Kedua, memastikan setiap individu mendapatkan kebutuhan dasar publik yang sama, diantaranya kebutuhan akan kesehatan, keamanan, dan pendidikan yang diberikan secara gratis atau tidak dipungut biaya dan kualitas yang baik. Sehingga, tidak ada ketimpangan atau perlakuan berbeda yang didapatkan masyarakat. Dana yang didapat berasal dari pos Baitul Maal dimana sumber pemasukannya adalah Sumber Daya Alam (SDA) yang dikelola mandiri, bukan asing.
Menjadi pemimpin bukanlah hal yang mudah, ada beban yang harus dipikul. Ada banyak mata yang memandang dengan penuh harap. Ada janji yang harus dipertanggungjawabkan. Jangan menganggap remeh dan sepele permasalahan umat.
Melayani umat dan bersikap adil adalah kewajiban pemimpin, seperti yang tercantum pada Q.S. Sad (38) ayat 26 berikut,“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (*)
*Penulis adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma