Predator bentukan pasar bebas hanya mengenal rasa lapar, tapi tak mengenal rasa kenyang, sangat serakah, ahli menimbun. Perut dan ususnya bagaikan karet yang sangat elastis, siap menampung milyaran hingga triliunan berbagai jenis makanan yang dimangsanya dari berbagai benua dan negara.
Penulis: Haris Rusly Moti, (*)
Lapan6online.com : TANPA terasa dan tanpa kesiapan, kita kini telah benar-benar seutuhnya masuk ke dalam hutan rimba belantara, pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang secara bersamaan bertemu dengan revolusi digital.
Hidup di dalam medan pasar bebas dan revolusi digital bagaikan hidup di tengah hutan belantara yang menyatukan seluruh jenis spesies, binatang dan serangga, dalam satu hamparan tanpa batas. Hanya mengenal satu hukum tertinggi, hukum menurut teori evolusi Darwin, hukum ‘survival of the fittest’, yang paling kuat, paling licik dan yang mampu menyesuaikan diri yang bisa bertahan dan menang dalam seleksi kehidupan.
Hanya mereka yang paling kuat seperti harimau, paling licik seperti ular piton serta mampu menyesuaikan diri yang akan bisa bertahan hidup melewati seleksi kehidupan yang sangat ganas. Jika tidak kuat, tidak licik dan tidak mampu menyesuaikan diri, maka akan bernasib menjadi kambing guling atau bernasib seperti kerbau yang walaupun bisa bertahan hidup tapi hidungnya dicucuk, hanya bisa mengembik.
Berada di tengah hutan rimba, dalam situasi borderless atau tanpa batas dan sekat, menempatkan menempatkan kehidupan kita senantiasa dihadapkan dan dikelilingi oleh berbagai bentuk ancaman dari berbagai jenis predator yang siap memangsa diri kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas sebuah bangsa. “Predator dalam ilmu biologi adalah jenis binatang atau serangga yang memangsa jenis binatang atau serangga lain”.
Sebagaimana manusia, para predator tersebut juga mengenal rasa lapar dan kenyang. Predator bentukan alam, seperti harimau, ular, buaya, burung rajawali, dan lainnya, hanya menjalankan kodrat alamiahnya untuk memangsa.
Hasrat memangsa jenis predator bentukan alam akan muncul hanya di saat mereka lapar. Predator bentukan alam juga hanya memakan satu hingga tiga mangsa, cukup, tak lebih. Berhenti memangsa ketika kenyang. Mereka, para predator bentukan alam memang sangat ganas, berbahaya dan berbisa, namun tidak serakah, tidak menimbun makanan. Itulah sebabnya keseimbangan alam senantiasa terjaga, walaupun ada jutaan predator di dalam hutan rimba sana.
Sementara jenis predator yang lahir dan dibentuk oleh alam pasar bebas justru tak tampak berbahaya, kadang hadir dengan wajah malaikat, kelihatannya membawa pertolongan dan harapan baru menuju kehidupan modern, racunnya terasa manis seperti madu.
Predator bentukan pasar bebas hanya mengenal rasa lapar, tapi tak mengenal rasa kenyang, sangat serakah, ahli menimbun. Perut dan ususnya bagaikan karet yang sangat elastis, siap menampung milyaran hingga triliunan berbagai jenis makanan yang dimangsanya dari berbagai benua dan negara.
Jika predator bentukan alam hanya mempunyai satu bentuk wajah, ular pasti berkepala ular. Maka predator bentukan pasar bebas mempunyai banyak bentuk dan jenis muka, mirip Rahwana yang punya satu badan dengan minimal sepuluh muka (dasamuka), mempunyai tangan lebih dari delapan yang bagaikan gurita mencengkeram berbagai negara, ada ular berkepala kelinci, ada juga buaya berkepala kuda, tentu untuk maksud mengelabui calon mangsanya.
Jenis predator bentukan pasar bebas adalah jenis predator yang menyangkal atau mengingkari kodrat illahi-nya sebagai manusia yang dibekali akal dan budi, akhlak dan nilai-nilai luhur illahiah.
Predator bentukan pasar bebas juga tak memilih-milih mangsa berdasarkan jenis kelamin dan asal usul agama, negara, kesukuan, paham dan golongan, tak mengenal profesi, tak mengenal sipil ataupun militer, semuanya pasti dimangsa.
Itulah sebabnya, walaupun predator bentukan pasar bebas tak banyak jenisnya, jika dibandingkan dengan milyaran populasi manusia. Namun akibat keserakahannya telah merusak keseimbangan kehidupan umat manusia, yang melahirkan konflik, perang dan krisis, baik krisis kesejahteraan, krisis ekonomi maupun krisis sosial dan politik.
Keadaan tersebut yang menyebabkan Bung Karno pernah menyindir bangsa-bangsa Eropa dengan menyebut mereka sebagai “Nyi Blorong”, yaitu seekor ular predator yang ukurannya sangat panjang, perutnya ada di Eropa, namun ekor dan mulutnya bergerak dari Afrika ke Asia, melilit dan menelan apa saja kekayaan sumber daya alam yang ada di kedua benua tersebut.
Ketika zaman imperialisme kolonialisme masih dalam bentuk dan wajah yang lama, negara penjajah sebagai predator hadir menggunakan tentara untuk menguasai sebuah wilayah, mereka membagi-bagi wilayah jajahan di berbagai benua bagaikan membagi-bagi kapling tanah untuk pembangunan komplek perumahan, lalu sumber daya alamnya dirampok, rakyatnya diperbudak dan diperlakukan lebih rendah dari binatang.
Jika kita perhatikan pembagian wilayah jajahan di benua Afrika, maka kelihatan garis batas wilayah antar satu negara dengan negara lain berupa garis lurus, berbentuk persegi panjang atau trapesium, persis para taipan dalam negeri mengkapling-kapling tanah untuk pembangunan komplek perumahan, apartemen atau perkebunan.
Demikian juga di benua Asia, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia, datang silih berganti bangsa-bangsa penjajah sebagai predator mengkapling-kapling dan membagi wilayah jajahan untuk mengeruk dan merampok (memangsa) sumber daya alam sambil memperbudak rakyat di tanah jajahan tersebut.
Jika pada episode imperialisme kolonialisme bentuk dan wajah yang lama, yaitu negara penjajah hadir langsung sebagai predator, dengan bendera, bentuk dan wajah yang jelas, menggunakan tentara untuk menguasai sebuah wilayah, membagi-bagi, mengkapling dan menciptakan batas antara wilayah jajahan satu dengan yang lain.
Maka, pada episode penjajahan bentuk baru, atau meminjam istilah Bung Karno neokolonialisme-imperialisme (nekolim), kapling, pondasi, tembok atau batas antara satu negara dengan negara lain dirobohkan.
Untuk memuluskan dominasi ekonomi dan penguasaan pasar, para predator menciptakan sistem pasar bebas, tanpa hambatan regulasi dan tarif, tanpa tembok dan dinding yang membatasi setiap negara.
Datang predator dari berbagai penjuru dunia dengan banyak wajah (dasamuka), dalam berbagai bentuk, bahkan hadir bagaikan hantu tak berbentuk, bertemu dengan predator dalam negeri yang tak kalah ganas.
Kadang para predator itu menggunakan wajah negara, kadang berganti wajah hadir dengan wajah lembaga keuangan international, dan sangat sering datang dengan wajah korporasi (MNC) yang sering beroperasi tanpa bentuk untuk memudahkannya memangsa.
Jika di era kolonialisme bentuk lama (nekolim), rakyat dapat merasakan secara langsung pedihnya dijajah dan dapat dengan mudah mengenali musuh yang menjajah memperbudak dirinya.
Maka, di era pasar bebas, tak gampang mengenali para penjajah dengan sepuluh wajah dan kadang hadir tanpa bentuk. Bahkan mindset penyelenggara negara dan sebagian besar intelektual kita menganggap penjajahan bentuk baru tersebut sebagai sebuah kemajuan zaman dan harus diterima tanpa syarat.
Terjadi pergeseran spektrum pertarungan, dari pertarungan penguasaan wilayah era kolonialisme imperialisme dengan tentara sebagai instrumen utama, lalu bergeser menjadi pertarungan memperluas pengaruh ideologi di era perang dingin dengan aparatur intelijen dan partai politik sebagai instrumennya.
Dan, sekarang kita sedang menghadapi spektrum petarungan di alam pasar bebas antara berbagai predator kapitalisme global, baik kapitalisme dengan wajah korporasi (MNC) yang datang dari barat maupun kapitalisme dengan wajah negara yang datang dari China, dalam perluasan dan perebutan pasar infrastruktur, manufaktur, pasar keuangan, perebutan SDA, yang kadang hadir tanpa bentuk.
Dengan sistem negara yang kokoh dan kepemimpinan nasional yang kuat saja belum tentu kita mampu menghadapi spektrum ancaman bentuk baru tersebut.
Apalagi dengan sistem negara yang kacau, kepemimpinan nasional yang lemah dan mengabdi kepada kepentingan kapitalisme global, serta rusaknya akhlak elite politik kita yang gampang disogok. Rakyat, bangsa dan negara kita pasti babak belur adalah nasib yang harus kita terima. (*)
*Penulis adalah Aktivis Petisi 28 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik – PPNP. (RMOL.ID)