“Lebih Baik Banjir Air Masih Aman, Daripada Banjir Korupsi Utang Luar Negeri”
Oleh: M. Rizal Fadillah, (*)
Lapan6online.com : ADA video aksi emak-emak entah dimana yang pasti di Jakarta karena tema spanduk atau tulisan serta ungkapannya menggambarkan pembelaan kepada Gubernur Anies Baswedan.
Diantaranya tertulis dan dibacakannya adalah “Lebih Baik Anies daripada Presiden Hasil Sindikat” lalu “Tangkap Bandit Bandit Istana Yg Terlibat Jiwasraya Daripada Ngurusin Anies” dan lainnya.
Yang menarik ada dua tulisan yaitu “Yang Urgent Dilengserin Bukan Gubernur Tetapi Presiden Loe” dan “Loe Lengserin Anies Kita Lengserin Presiden Loe”.
Ada rasa bagian dari anak bangsa yang tidak merasa “memiliki” Presiden yang ada sehingga harus dengan menyebut “Presiden Loe”.
Emak-emak “militan” menjadi fenomena menarik sejak saat Pilpres dan aksi-aksi pasca Pilpres. Sebenarnya sejak Aksi 212 pun telah muncul komunitas barisan emak-emak militan tersebut. Cair tanpa organisasi.
Militansinya ditunjukkan dengan berbicara apa adanya dan berani. Seperti kasus di atas yang menyatakan bahwa Presiden yang sekarang bukan Presiden “kita” tapi Presiden “Loe”.
Baru saat kepemimpinan Presiden Jokowi muncul garis tebal demarkasi seperi ini. Mungkin karena ada indikasi kecurangan dari kedudukan yang didapatnya sehingga “sense of belonging” menyeluruh menjadi tidak terbentuk. Atau karena kualifikasi dalam praktek memimpin pemerintahan yang tidak mumpuni sehingga emak emak itu enggan untuk mengakui Jokowi sebagai Presiden.
Presiden Loe bukan Presiden kita. Buat emak-emak itu mungkin Anies-lah Gubernur yang “rasa” Presiden. Penyerangan kubu si “Loe” terhadap Anies dianggap sebagai berlebihan akibatnya emak-emak itu mereaksi. Ya ke sana-sini sampai urusan korupsi atau utang luar negeri seperti tulisan “Lebih Baik Banjir Air Masih Aman, Daripada Banjir Korupsi Utang Luar Negeri”.
Menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang menjadi Presiden agar dapat kiranya untuk melakukan sosialisasi diri atau internalisasi yang bisa menumbuhkan rasa kebersamaan dengan rakyatnya. Apalagi menghadapi tantangan berat musibah apakah banjir atau wabah.
Keterpisahan tentu membuat diskrepansi bagi penyelesaian setiap persoalan. Yang ada bukan simpati, integrasi, atau “sehidup semati”, melainkan berlepas diri, memaki, bahkan bisa mengutuk atau menyumpahi.
Kasus Amerika bisa dilihat. Tingkat penerimaan dan kesukaan rakyat yang rendah pada Presiden Trump membuat sikap demonstratif orang membuat patung karet Donald Trump dalam berbagai bentuk, lalu patung itu diludahi, ditendang, atau dibanting banting.
Inilah wujud kekecewaan dan kebencian. Mereka seolah-olah sama dengan emak-emak militan di atas menyatakan bahwa Trump adalah “Presiden Loe”.
Memang sebenarnya tragis kalau seseorang hanya bisa menjadi “Presiden Loe” dan tidak menjadi “Presiden Kita”. Memilukan. (*)